Suara azan berkumandang dari masjid kampus. Bersamaan dengan ini, materi terakhir telah usai. Hanifah membereskan alat tulisnya dan bergegas menuju ke perpus. Hari ini ia sedang halangan, sehingga tidak ke masjid. Sementara Alfira seperti biasa memilih untuk hang out.
Dalam perjalanannya menuju perpus, ia melihat ada segerombolan mahasiswi yang duduk melingkar membentuk majelis di lantai dekat tangga. Ada yang menarik Hanifah untuk duduk di dekat majelis itu. Samar-samar Hanifah mendengar ucapan salah seorang diantara mereka. Rupanya ini acara kajian.
"Bagi setiap muslim, aktivitas apapun bisa menjadi ibadah. Karena tujuan Allah menciptakan manusia tidak lain adalah untuk beribadah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat adz-dzariyat ayat 56 dikatakan: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku."
Makna menyembah disini adalah beribadah. Sedangkan ibadah dalam Islam tidak hanya salat, zakat, puasa, haji, saja. Namun semua aktivitas kita bisa bernilai ibadah."
Hanifah semakin tertarik dengan kajian itu. Tak sadar ia telah melupakan tujuan utamanya untuk ke perpus dan memilih mendengarkan kajian itu dari jarak yang bisa di dengarnya. Hanifah menajamkan pendengarannya. Lalu lalang mahasiswa sedikit mengganggu rungunya.
"Namun ada syarat agar semua aktivitas kita bisa bernilai ibadah. Yaitu niatnya harus lillahi ta'ala. Semata-mata hanya untuk mencapai ridla Allah. Dan syarat kedua harus sesuai dengan hukum syara'. Dan untuk mengetahui apakah perbuatan kita sudah sesuai dengan hukum syara' atau belum, maka kita harus banyak mengkaji Islam."
Penjelasan demi penjelasan yang di dengar Hanifah semakin membuatnya tertarik untuk ikut kajian Islam. Namun sayangnya ia tidak kenal dengan seorangpun yang ada di majelis itu. Akhirnya setelah cukup lama duduk di sana, dan kajian pun sudah bubar, Hanifah melanjutkan niatnya untuk ke perpus.
Suasana di perpus cukup ramai. Berbeda dengan hari-hari biasanya, hampir semua kursi terisi. Hanifah menuju rak buku yang dicari. Setelah ketemu ia duduk lesehan di bawah rak. Keasyikan membaca, Hanifah tidak menyadari jika hari sudah sore. Seorang penjaga perpus menghampirinya.
"Dek, maaf perpusnya sudah mau tutup," ucapnya mengangetkan Hanifah.
"Oh, iya mbak. Emang jam berapa kok cepet banget tutupnya?" tanya Hanifah penasaran. Ia merasa baru beberapa menit duduk di sini.
"Sekarang sudah jam 5, Dek. Kamunya aja yang keasyikan membaca sampai lupa waktu. Lihatlah, semua kursi sudah kosong!" sambil menunjuk deretan kursi-kursi, Sandra—penjaga perpus—kembali membereskan buku-buku yang berantakan. Hanifah beranjak dari duduknya dan membantu Sandra membereskan buku. Mereka sudah akrab. Karena seringnya Hanifah datang ke perpus, dan juga sifat ringan tangannya membuat Sandra semakin menyukai Hanifah.
"Alhamdulillah, sudah beres...," seru Hanifah girang. Sandra hanya tersenyum melihat tingkah Hanifah yang mirip seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru.
"Mbak Sandra, kok beberapa hari ini aku gak lihat mbak Santi? Lagi cuti ya?" Santi adalah penjaga perpus yang satunya lagi.
"Dia resign, habis menikah disuruh keluar sama suaminya."
"Benarkah? Kenapa harus resign, kan sayang sudah dapat kerjaan yang nyaman kok gak dipertahankan? Kalau aku jadi mbak Santi, aku akan tetap bekerja meski sudah menikah." Hanifah berpendapat seolah Santi ada di hadapannya.
"Bagi wanita, bekerja itu hukumnya mubah. Jika suami melarang untuk bekerja, maka ia harus menurut. Karena ridla suami adalah ridla Allah. Ketika sudah menikah, seorang wanita menjadi tanggung jawab suami. Segala kebutuhan akan dipenuhi oleh suaminya.
Lagipula menjadi istri dan ibu rumah tangga adalah mulia dalam Islam. Bahkan pahalanya adalah surga." Sandra menjelaskan panjang lebar. Hanifah mendengarkan dengan seksama. Pikirannya melayang pada siang tadi saat ia mencuri dengar di samping majelis. Semua perbuatan adalah ibadah.
“Berarti menjadi istri juga ibadah?” batinnya mengatakan.
Percakapan mereka terus berlanjut sambil merapikan buku-buku, hingga suara adzan maghrib terdengar. Segera mereka pulang ke kost-an masing-masing. Sepanjang jalan Hanifah terus berpikir untuk mempelajari ilmu Islam sebagai bekal hidupnya.
“Aku harus banyak bertanya kepada mbak Sandra, supaya hidupku di sini tidak monoton. Aku harus memanfaatkan waktuku di sini untuk mempelajari Islam lebih dalam,” batin Hanifah. Tak terasa langkah kakinya sudah membawanya ke depan kamar kost.