Riuh suara mahasiswa memenuhi ruangan tatkala Pak Doni, dosen mata kuliah management yang terkenal kiler mengakhiri kelas. Suasana tegang seketika mencair bersamaan dengan keluarnya dosen itu. Para mahasiswa merasa lega setelah 2 jam berhadapan dengan wajah sangar Pak Doni. Mereka seperti para terdakwa yang menunggu putusan jaksa. Tak terkecuali dengan Hanifah. Meski ia cerdas, namun tetap saja rasa takut menggelayut dirinya.
"Han, ikut jalan yuk! Teman-teman mau ngadain party di rumah Dian," ajak Alfira mengagetkan Hanifah.
Seperti biasa, Hanifah akan menolak dengan halus ajakan teman karibnya ini. Ia lebih memilih untuk ke perpus, apalagi hari ini adalah hari pertamanya bekerja menjadi penjaga perpus menggantikan Santi.
"Sory, Al. Aku gak bisa, hari ini hari pertamaku masuk kerja," sambil menunduk Hanifah berdiri menghadap Alfira.
Ada rasa tak enak karena harus menolak ajakan sahabatnya. Apalagi dia satu-satunya teman yang peduli dan perhatian dengannya. Namun bagi Hanifah, bekerja untuk saat ini jauh lebih penting karena dia butuh tambahan uang untuk membayar kos. Dia tidak ingin membuat pakde dan budenya susah karena harus bekerja keras membiayai hidupnya selama kuliah.
"Emang kamu dapat kerjaan? Dimana, sejak kapan? Kok kamu gak pernah bilang ma aku, Han?" cecar Alfira menuntut penjelasan. Dia merasa kecewa karena Hanifah tidak menceritakan soal ini.
"Baru kemaren. Mbak Sandra ngabari kalau Aku diterima kerja di perpus, dan rencananya hari ini Aku mau cerita sama Kamu," terlihat raut penyesalan di wajah Hanifah. Ia gak mau membuat sahabatnya kecewa karena merasa gak dihargai. Kalau ada apapun, biasanya Alfira adalah orang pertama yang akan diberi tahu.
"Kamu kan bisa telepon atau wa, Han ... ngapain nunggu ketemu?" sorot mata Alfira menyiratkan kekecewaan. Dadanya kembang kempis menahan marah.
Ia sudah menganggap Hanifah seperti saudaranya. Berharap Hanifah bisa percaya sepenuhnya padanya. Namun, mendengar Hanifah dapat pekerjaan tanpa sepengetahuan dirinya membuatnya sangat kecewa.
"Maaf …, aku kan tidak punya hp," lirihnya. Suaranya makin mengecil. Bukan karena takut di dengar yang lain, melainkan karena ia menyesal membuat sahabatnya kecewa. Andai kosnya dekat, ia akan pergi ke kost Alfira dan memberikan kabar gembira itu kemarin. Sayangnya kos mereka sangat jauh, dan tidak mungkin bisa dijangkau dengan jalan kaki.
Mendengar penuturan Hanifah, Alfira baru sadar jika sahabatnya memang berbeda dengan teman-teman lainnya. Sabahatnya ini tidak memiliki hp disaat semua temannya bisa berganti-ganti android model terbaru. Seketika Alfira menubruk Hanifah dan meminta maaf atas keegoisannya. Mereka saling berpelukan dan tertawa bersama.
Hanifah tersadar bahwa dia harus segera menuju ke perpus. Ia sudah terlambat 5 menit dari jadwal kerjanya. Setelah pamit dengan sahabatnya, segera bergegas menuju perpus. Ia tidak ke masjid dulu karena sudah sangat terlambat. Ia akan salat di perpus saja jika sudah sampai. Hanifah mempercepat langkahnya, sesekali berlari-lari kecil supaya cepat sampai.
"Aww..." Hanifah merasa keningnya terbentur seseorang.
"Kenapa Kamu hobi banget nabrak aku sih, kamu sengaja ya?" ejek seseorang yang ditabraknya.
Seketika Hanifah menoleh pada sumber suara. Mulutnya menganga, matanya melotot karena tidak menyangka akan bertemu dengan cowok galak ini dengan kondisi yang sama saat pertama kali bertemu dengannya.
Kali ini Hanifah tidak meminta maaf, namun ia segera berjalan menjauhi cowok tengil itu sebelum urusannya semakin panjang. Namun pada langkah kedua, tangan Hanifah serasa ditarik seseorang. Tak ayal Hanifah hampir terjengkang ke belakang.
"Mau kabur kemana kamu? Setelah menabrak bukannya minta maaf malah pergi begitu saja. Dasar cewek tidak sopan!" omel cowok itu semakin membuat Hanifah geram.
Rasa takutnya terhadap cowok ini sudah menguap entah kemana. Yang tersisa tinggal kekesalan. Hanifah berusaha melepas cekalan tangannya, namun cowok itu semakin erat menggenggamnya.
Login untuk melihat komentar!