ADNAN PV
Hidupku kini hancur, aku harus menerima semua konsekuensinya. Aku kembali menjadi marbot masjid seperti dulu saat semua harta bendaku untuk membayar kebutuhan ibu dan Mbak Zahra juga gaya sosialita Lulu.

Aku mencoba tabah, karena hukuman akan selalu ada di saat keserakahan mulai merajai otak manusia.

Bagai berjalan di atas duri saat aku tahu Kinan dan Fatur menikah. Terlebih putraku Zafran, ia begitu dekat dengan Fatur. Zafran bahkan tak pernah mau menatap atau sekedar bersamaku.
 
Hubunganku dan Kinan serta anak-anak kembali membaik saat Zain menikahi anak angkatku Ana, anakku dengan Lulu yang telah tertukar saat ia masih bayi. Kinan mulai membuka hatinya untuk memaafkanku, begitu juga Zain.

Penderitaanku belum berakhir. Setelah aku dan Lulu mengetahui bahwa Ana bukan anak kandung kami, saat itu aku tahu bahwa Allah masih terus menghukumku.

Aku pantas mendapatkannya setelah apa yang aku perbuat kepada Kinan dan anak- anak kami. Lulu terus menangis setelah kami mendapat kabar bahwa kedua orang tua kandung Ana telah wafat dalam sebuah kebakaran. Hatiku kembali sakit, di mana anaku?

"Abang, di mana anak kita, Bang?"
Lulu bersimpuh di depan lahan dengan bekas bangunan yang rata, dan mulai di bangun kembali.

"Sudahlah, ayo kita pulang, Dik. Dimanapun berada semoga Allah melindunginya hingga mempertemukan kita."
Aku berusaha membujuk Lulu untuk meninggalkan tempat itu.
Sejak saat itu aku dan Lulu terus mencari jejak keberadaan putri kami.
....

Aku berusaha memperbaiki diri, mencoba mendekati anak-anak. Aku lebih sering mengunjungi Zafran di pesantren. Dia tumbuh dengan cepat. Anakku menjadi pemuda yang begitu tampan. Gelar hafidz muda bertengger di belakang namanya, tak ada yang lebih membanggakan dari itu.

Namun, dia selalu menyebut nama Fatur di setiap hal. Aku sadar, selama aku meninggalkannya dalam kepedihan Fatur orang yang selalu menemaninya. Orang-orang lebih mengira bahwa Zafran adalah anak biologis Fatur daripada aku ayah kandungnya.

Meskipun Zafran sudah mau menemuiku, tetapi tak jarang ia menolak saat aku menjenguknya. Aku hanya ingin menebus segala kesalahanku.

.....

Aku mencoba bersabar dengan sikap Lulu yang mulai tak peduli padaku saat aku kembali menjadi marbot masjid. Pagi itu aku hendak menjalankan tugasku. Namun, bukanya sarapan nasi justru aku harus makan hati.

"Dik, mana sarapan Abang?"
tanyaku pelan kepada Lulu yang masih bermain dengan Rania.
Lulu diam tak menjawab.

"Dik, Abang mau berangkat, mana sarapan dan bekalnya?" Aku mencoba tetap bicara lembut. Bahkan Kinan tak pernah lupa dengan makananku meskipun sedang marah.

"Memangnya, Abang ngasih uang? Uang kemarin hanya cukup untuk beli jajan Rania!" ungkapnya dengan ketus.

"Abang kasih dua ratus, Dik. Sedikit berhemat agar kita bisa menabung dan membangun usaha!" Aku mulai membentak Lulu, ia tak pandai mengatur keuangan seperti Kinan. Dulu aku hanya memberi Kinan di bawah seratus ribu, jika ia memberikan lebih banyak sebagian Kinan selalu tabung dan untuk sedekah.

"Suruh Mbak Zahra bekerja makannya, Bang! Jangan tahu makan enak saja! Abang kira uang dua ratus itu cukup untuk makan mewah sehari. Ibu dan Mbak Zahra selalu meminta makanan enak, bagaimana aku akan menabung!"

Aku terdiam melihat ibu yang baru datang membawa sekantung makanan bersama Mbak Zahra.

"Lulu kamu tidak ikhlas memberi Ibu?" tanya ibu penuh dengan emosi.

"Bukan aku tidak ikhlas, Bu! Anak ibu selalu menyalahkanku. Bukankah ibu yang lebih banyak menggunakan uangnya dibanding aku dan anak-anak?"

Kami semua terdiam, ini kali pertama aku melihat Lulu begitu  tertekan dan berkata dengan air mata berlinang, tetapi tidak dalam pelukan ibu. Wajahnya menyiratkan kekecewaan.

Apakah selama ini ibuku telah dzolim kepadanya tentang nafkah yang kuberikan? 
Kepalaku terasa sangat pusing sekali.

Lulu pergi meninggalkan kami yang masih mematung begitu saja. Ia berjalan cepat membawa Rania.

"Ada apa dengannya, Bu? Kenapa dia seperti itu?" tanya Mbak Zahra. Ia tetap berjalan santai membawa belanjaannya.

"Ibu, Mbak, cobalah mengerti keadaan kita. Kita sedang susah dan tak sebaik dulu. Cobalah berhemat dan makan seadanya," ucapku pelan supaya mereka tak sakit hati.

"Ini semua karena Kinan. Kalau dia tidak membuka semuanya, tak mungkin karirmu hancur, Nan." 
Ibu masih terus menyalahkan Kinan. padahal semua yang terjadi adalah sebab akibat keserakahan kami.

"Berhenti menyalahkan Kinan, Bu. Ia tak salah apa-apa. Semua adalah salah kita," ucapku lirih.

"Halah, terus saja bela. Memang itu kenyataannya. Terlebih suruhlah Lulu bantu kamu, dulu juga Kinan bantu kamu jualan."
Ibu tersenyum menatapku.

"Ibu! Apa ibu senang melihatku selalu dalam masalah? Ibu dan Mbak Zahra tak seperti dulu! Bukankah ibu yang memintaku meninggalkan Kinan dan kembali ke Lulu? Sekarang ibu baru merasakan bukan, bahwa lebih enak hidup saat aku bersama Kinan? Bahkan aku tak bisa melupakannya dari hatiku. Itu semua karena Ibu!" seruku panjang lebar berharap ibu yang paling aku cintai mengerti.

Aku tidak sadar Lulu sudah berada di belakang kami, mendengar semua ucapanku. Air matanya mengalir di pipi. Ia menangis tanpa suara.

"Lulu."
Ia berjalan mengambil sebotol susu untuk Rania dan berlalu begitu saja. Aku mengikutinya ke dalam kamar.

"Apa Abang masih begitu mencintai Kinan?" tanyanya lirih.

"Maafkan Abang, Dik. Abang benar-benar tak bisa melupakannya."

"Aku pernah berharap Abang mencintaiku dengan tulus setelah terlepas dari Kinan. Namun, sepertinya aku salah. Aku terlalu berharap lebih. Aku berusaha semampuku meraih dan menyenangkan Ibu dan Mbak Zahra supaya Abang melihat baktiku, tetapi sepertinya aku tetap tak lebih baik dari Kinan."
Lulu bicara begitu tenang, tetapi penuh dengan penekanan membuat aku merasa sedikit bersalah.
Apakah selama ini aku terlalu memperlihatkan keadaan hatiku yang tak bisa melupakan Kinan?

Aku menunduk tak mau menatap wajahnya.

Lulu meraih tanganku.
"Jika Abang tak dapat merasakan cintaku, aku akan mundur. Aku memang tak sebaik Kinan di mata Abang."

Lulu meninggalkanku begitu saja. Ia menghapus air matanya dan mematut diri di cermin entah mau ke mana. Sementara Rania sudah tidur dengan nyenyak.

Lulu pergi meninggalkan rumah. Aku berangkat menjalankan tugasku dengan bimbang. Aku tak ingin gagal kembali menjadi imam, tetapi sulit sekali rasanya mengontrol hatiku yang terus terpaku kepada Kinan. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!