"Lulu, apa yang kau katakan!" seruku.
Zain berdiri di depan kami dengan mata merah. Ia mencari ke sana ke mari uminya. Namun, Lulu justru membuatnya semakin panas.
"Apa yang aku katakan? Aku hanya berkata sesuai fakta, Bang. Uminya pergi meninggalkan rumah karena memang tak patuh padamu," Lulu dengan santai menjawab ucapanku tanpa memikirkan perasaan Zain.
Setelah Zain berkeliling rumah ia langsung pergi begitu saja. Aku tak tahu lagi apa yang telah Lulu katakan tadi hingga membuat Zain begitu mengabaikanku.
Aku mengejarnya, kupegang lengannya dengan cepat. Namun, ia dengan sigap menghempaskan peganganku.
"Zain, dengarkan Abi," ucapku memohon.
"Apa yang ingin Abi katakan? Inikah sebabnya Abi tak pernah membiarkan Zain menggunakan telepon asrama selama di Kairo?"
"Bukan begitu, Zain. Abi dan umi—"
Belum selesai aku menjelaskan semuanya kepada Zain, ia sudah memotong ucapanku.
"Apapun yang ingin Abi katakan, Zain hanya melihat Abi sekarang begitu berubah, Zain benar-benar kecewa dengan Abi."
Zain berlari meninggalkanku, ia bahkan tak membawa kopernya.
Hari ini ia kembali ke Indonesia seharusnya pagi tadi aku menjemputnya di bandara, tetapi aku lupa karena Lulu memintaku memenuhi undangan sekolah Raihan.
"Zain, tunggu, Nak?"
Aku berusaha mengejar Zain. Namun, ia berlari begitu kencang. Hatiku hancur bahkan anakku membenci diriku.
"Sudahlah Bang! Ia akan ke rumah neneknya."
Lulu datang menghampiriku.
Aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa perasaan yang dulu mulai tumbuh terhadap Lulu tidak ada dalam hatiku.
Setelah Lulu resmi menjadi satu-satunya istriku, sikapnya begitu sangat berubah. Ia begitu posesif, aku bahkan tak di ijinkan untuk sekedar bertanya tentang Zafran atau memberikan sedikit biaya untuk Zafran.
Hari itu setelah tiga tahun kepulangan Zain aku tak lagi mendapatkan kabarnya, aku berpikir mungkin ia telah bertemu dan bersama Kinan. Aku bertengkar hebat dengan Lulu karena aku diam-diam mulai mencari keberadaan Kinan. Bagaimanapun dzolimnya aku terhadap Kinan, aku tetap harus membuang rasa maluku untuk bertemu anak-anak. Aku bahkan tak pernah sedikitpun mengenal Zafran.
"Jiak Abang masih terus diam-diam menemui Kinan, aku akan meninggalkan Abang!" seru Lulu tepat di depan ibu dan Mbak Zahra.
Ibu dan Mbak Zahra ikut tinggal bersama kami. Mbak Zahra bercerai dengan Mas David karena Mas David memiliki istri lain dan sebuah keluarga yang utuh dengan seorang putri kecil. Alasan utamanya adalah Mbak Zahra tak dapat mengandung. Padahal aku jelas tahu Mas David malu akibat kabar berita tentangku sudah menyebar di penjuru dunia.
"Abang hanya melihat Zafran!"
aku kembali membentak Lulu. Seperti biasa ia akan menangis di pundak ibu dan membuat ibu menyuruhku mengikuti semua keinginannya.
"Bohong! Jika benar hanya melihat Zafran kenapa Abang berbohong kepadaku untuk menemui Kinan!" seru Lulu membuatku tak habis pikir bahkan dia sendiri sudah mendengar penjelasan dari Kinan.
Lulu tak pernah mau mendengarkan ucapanku, ia selalu berbuat sesuka hatinya. Aku pikir setelah aku menceraikan dirinya saat pertama kali, ia berubah. Lulu benar berubah, tetapi saat hendak mendapatkan simpatiku saja.
Jika bukan karena Ana dan adik-adiknya aku sudah meninggalkan Lulu.
"Terserah kamu, Dik."
Aku memilih meninggalkan Lulu daripada terus berdebat dengannya.
Berbeda sekali dengan Kinan. Ia selalu mengerti dan percaya kepadaku selama menjadi istriku.
Aku terus menyalahkan diri sendiri karena telah membuang berlian dalam hidupku. Andai saat ini aku masih bersama Kinan akankah hidupku tak seperti ini? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Nasi sudah menjadi bubur aku hanya bisa memakan segala sebab akibat yang Allah berikan atas perbuatan dan kedzolimanku dulu. Allah benar-benar maha adil.