Rika menikmati makan malamnya dengan tenang, sedangkan Toni terlihat gusar. Rasanya makanan yang dikunyahnya sulit ditelan. Gara-gara kepergok di acara nikahan kemarin, sekarang Rika jadi lebih waspada. Bahkan Rika mengingat kembali surat perjanjian yang dibuat sebelum menikah.
"Ada apa, Sayang? Kamu kok kelihatan pucat gitu?" tanya Rika.
"Nggak apa-apa kok. Serius kamu mau aku menghabiskan makanan-makanan ini?" Toni memandangi makanan yang tersaji. "Gimana kalau kita bagikan ke tetangga yang kelaparan?"
"Memangnya ada? Kita ini tinggal di perubahan elit. Mana ada tetangga yang kelaparan?" Rika balik bertanya.
Toni garuk-garuk kepala, "Oh iya ya…."
"Ayo makan yang banyak!"
Untunglah suara telepon tiba-tiba terdengar, seolah menyelamatkan Toni dari tuntutan Rika. Toni melihat nomor bertuliskan "bos" di layar.
"Bosku menelepon," Toni memperlihatkan layar ponselnya kepada Rika. Rika mengangguk, tanda mengizinkan Toni menerima telepon. Toni pun menyingkir, meninggalkan meja makan. Rika memicingkan mata.
"Menerima telepon dari bos saja sampai harus pindah ruangan. Beneran tuh dari bos?" gumam Rika.
Rika mengambil headset dan menghidupkan ponselnya. Diam-diam ia sudah menyadap ponsel Toni. Semua pembicaraan dan pesan yang dikirimkan dari dan ke ponsel Toni akan masuk juga ke ponselnya. Teknologi tinggi yang hanya bisa diperoleh oleh orang-orang berduit seperti dirinya.
"Gimana, Ton? Udah ngomong soal rencana naik gunung?" tanya Anya, di seberang sana.
"Ini sebentar lagi aku ngomong," jawab Toni, "sepertinya dia curiga. Dia ngungkit lagi soal perjanjian pernikahan dulu."
"Ah, gampang itu. Yang penting singkirkan dia dulu. Memangnya dia masih punya siapa? Keluarganya sudah nggak ada semua kan?"
Rika terbelalak mendengarkan percakapan itu. Disingkirkan? Dia akan disingkirkan?!
"Ya sudah, aku akan ngomong ke dia." Toni menutup teleponnya.
Rika melepas headsetnya dan kembali berpura-pura sedang makan, saat Toni masuk ke ruang makan.
"Penting sekali ya telepon dari bos? Sampai harus pindah ruangan," tanya Rika, dengan memasang wajah santai seolah tak tahu apa-apa.
"Iya, sayang, harus fokus kalau ngomong sama bos." Toni menjawab asal.
Bos? Bos apa? Setelah enam bulan dibohongi, akhirnya Rika tahu kalau suaminya sebenarnya tidak bekerja. Selama ini Toni hanya berpura-pura berangkat kerja. Rupanya dia dibantu oleh wanita itu supaya lancar bersandiwara.
Toni memang tak pernah memberikan gajinya, karena uang Rika sudah lebih dari cukup. Rika sendiri yang menolak diberikan gaji oleh Toni, melihat jumlahnya yang hanya recehan. Bagi Rika dulu, dicintai oleh Toni saja sudah cukup. Ah, ternyata Rika membuat suaminya semakin di atas awan.
"Sayang, kamu kapan libur?" tanya Toni, sambil mengiris steaknya.
"Aku bisa libur kapan saja. Aku kan bosnya," jawab Rika, tersenyum. Ia tahu, Toni pasti akan mengajaknya ke gunung.
"Kita naik gunung yuk!" ajak Toni.
"Naik gunung? Kok tumben kamu ngajak naik gunung?" Rika pura-pura heran.
"Aku itu sebenarnya suka naik gunung. Dulu tiap minggu pasti aku naik gunung. Hampir semua gunung di Jawa sudah kunaiki." Toni mulai bercerita. Cerita baru yang tidak pernah Rika dengar. Ya iyalah, dia baru mengarangnya bersama Anya.
"Oh, terus kenapa setelah nikah denganku kamu berhenti naik gunung?"
"Aku tidak yakin kamu mengizinkan atau mau ikut denganku."
"Karena aku gendut? Aku pasti nggak bisa naik gunung?"
Toni mengangguk. Dia sengaja tidak berkata manis, karena mau memancing Rika.
"Siapa bilang orang gendut nggak bisa naik gunung? Aku bisa kok! Ayo kalau kamu mau naik gunung! Besok juga bisa." Rika terlihat bersemangat.
"Serius kamu mau naik gunung?" Toni terkejut. Setahunya, Rika paling malas melakukan aktivitas fisik yang menguras tenaga. Alasannya karena tak mau berkeringat.
"Iya dong. Siapa tahu aku nanti jadi kurus." Rika berkata, sebelum menyesap minumannya. Kalau ia tidak tahu rencana Toni, pasti ia akan menolak ajakan suaminya. Yup, Rika memang tidak pernah berolahraga. Apalagi naik gunung yang sudah pasti akan menguras tenaga. Rika membayangkan beratnya naik gunung. Entah apakah ia bisa bertahan di sana.
Namun, tekad Rika jadi kuat karena ingin menjawab tantangan Toni sekaligus mewujudkan keinginan Toni yang bermaksud melenyapkannya. Tentu saja ia tidak akan diam saja.
"Baiklah, Sayang, kalau begitu malam ini kita siap-siap ya. Oya, kita belum punya perlengkapan naik gunungnya nih." Toni baru ingat. Kalau mau naik gunung ke puncak tertinggi, mereka harus punya perlengkapannya.
"Iya, lusa saja. Kalau besok terlalu cepat dan belum ada persiapan."
"Kita bisa lihat matahari terbit pertama kali dari atas gunung. Indah dan romantis. Aku jamin kamu pasti akan suka." Toni membual.
Rika hanya tersenyum, meskipun hatinya sakit. Inilah wajah suami yang sudah mendustakannya selama ini. Untung usia pernikahannya belum setahun. Ia beruntung karena bisa membongkar kebohongan suaminya dengan cepat. Sekaligus menyesal karena mengabaikan peringatan dari Intan dulu.
Ketika dilamar oleh Toni, Intan sempat menyarankan agar Rika menyelidiki soal Toni lebih dulu. Keluarga, pekerjaan, teman-teman, dan lain-lain. Tapi Rika menolaknya karena sudah percaya dengan Toni.
"Pernikahan kami tidak direstui oleh keluarga Toni, karena mereka nggak suka anaknya menikah dengan cewek gendut seperti aku," kata Rika, mengulang cerita Toni. Laki-laki memang tidak perlu izin keluarga untuk menikah. Sehingga bagi Rika tak masalah jika pernikahannya tidak dihadiri keluarga suaminya.
Begitu juga soal pekerjaan. Rika tak mau menyelidiki apa pekerjaan Toni, karena tak butuh gajinya.
"Hartaku sudah banyak. Aku tak butuh materi. Apa pun pekerjaannya, aku tak peduli," begitu kata Rika dulu.
Ah, Rika menyesal sudah terjebak cinta palsu. Ia harus mempersiapkan hatinya menghadapi perpisahan terburuk dengan Toni. Toni sedang bersiasat di belakangnya, dia pun sudah menyiapkan siasat untuk Toni. Tunggu saja nanti!