Rencana

Toni tersenyum senang usai Rika masuk ke kamar dan tidak keluar lagi. Ia mengambil ponselnya dan mencari tempat aman untuk menelepon Anya, kekasihnya, wanita yang dibawanya ke acara pernikahan tadi.  


"Gimana, Ton, kamu sukses bujuk dia?" tanya Anya, cepat. 


"Dia masih marah, tapi aku nggak diusir kok. Berarti dia masih bisa dibujuk," bisik Toni. 


Anya tertawa kencang, "baguslah kalau begitu. Dasar istri bodoh!" 


"Huss! Kalau dia tidak bodoh, mana mungkin aku bisa mengelabuinya selama ini?" Toni bangga dengan keberhasilannya berpura-pura. 


"Aku nggak sabar kamu cepat pisah dengannya dan kita kembali lagi bersama. Lama banget sih, Ton…." Anya merajuk.


"Ya kalau kita mau mendapatkan hasilnya, kita harus sabar. Berat badannya sudah bertambah lagi, tinggal tunggu dia sakit." Toni merasa tak percuma telah mengeluarkan banyak uang untuk membeli asupan kalori pada Rika. Eit, uang itu juga uang Rika deh. 


"Ah, lama sekali Ton. Gimana kalau kita lakukan yang lebih ekstrim? Toh, nggak ada yang nyariin dia kalau dia meninggal. Orangtuanya juga udah nggak ada kan?" 


"Gila! Kalau ketauan polisi, gimana? Nanti kita malah masuk penjara." Toni terbelalak. Anya memang sering kali bicara tanpa dipikir.


"Cari jalan yang nggak akan membuat kita ketahuan polisi dong. Nanti kupikirkan dulu. Pokoknya kita harus cepat-cepat mengakhirinya." Anya tak sabar. 


Toni menutup telepon dari Anya, lalu ikut memikirkan rencana itu. Ia jadi ingat bagaimana pertemuannya dengan Rika dulu. Tentunya bukan tanpa sengaja. Pertemuan itu memang disengaja. Anya yang mengenalkan mereka. 


"Ton, kamu mau nggak pura-pura nikahin anak orang kaya?" Pertanyaan Anya dulu, teringat kembali. 


"Ngapain? Aku kan cuma cinta sama kamu. Buat apa aku nikahin perempuan lain?" Toni tersinggung. Ia dan Anya sudah lama berpacaran, tapi belum bisa menikah karena uangnya belum ada. 


Anya seorang pelayan kafe yang honornya kecil dan masih harus menafkahi adik-adiknya. Sedangkan Toni masih mencari pekerjaan. Toni gengsi melakukan pekerjaan dengan gaji kecil. Prinsipnya, lebih baik menganggur daripada jadi buruh. 


"Dia anak tunggal, Ton. Kalau kamu nikah sama dia, kekayaannya akan jatuh ke tanganmu semuanya." Anya mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri fotonya.


"Lalu bagaimana denganmu kalau aku menikah dengannya?" tanya Toni. 


"Ini dia fotonya!" Anya memperlihatkan foto seorang wanita gendut yang ada di galeri hapenya. Toni terlonjak kaget. 


"Gila kamu! Masa aku harus nikahin truk tronton?!" 


Anya tertawa terbahak-bahak. Tentu saja selera Toni adalah gadis bertubuh langsing seperti Anya yang beratnya hanya 45 kg. 


"Itu dia….orang segendut ini paling juga nggak berumur panjang. Kalau dia mati, semua hartanya akan jatuh ke tanganmu." Anya memandang Toni dengan yakin.


"Umur siapa yang tahu? Kalau dia matinya lama, gimana?" Toni tak menganggap serius usulan Anya. 


"Ton! Aku yakin kalo dia tambah gendut, dia akan cepat mati. Kemarin temanku waktu SMA, meninggal muda karena serangan jantung." Anya berusaha meyakinkan Toni.


"Ya itu kan karena serangan jantung…."


"Iya, tapi karena dia kelebihan berat badan juga. Akibatnya, lemaknya menimbun di area jantung dan mempersempit peredaran darah ke jantung." 


"Bahasamu kayak tahu soal medis saja!" Toni mencibir. 


"Eh, gini-gini juga aku dulu jurusan IPA. Hanya saja aku nggak punya biaya kuliah, jadi gini nasibku." 


Toni mengerti dulu Anya memang pintar. Makanya sekarang pun otaknya jalan, meskipun idenya aneh. Mengapa tidak?


"Kadang hidup itu nggak adil. Ada orang yang hidupnya enak banget sampai kelebihan berat badan," Anya mengembuskan napas.


"Hus! Orang gendut belum tentu makmur juga. Seharusnya malah perempuan ini bisa ikut program diet. Kan duitnya banyak." Toni menunjuk ke foto Rika. 


"Mungkin dia males. Ya udah jadinya gimana? Kamu mau nggak ikuti skenario kita?" Anya kembali bertanya.


"Okelah. Aku ikut saja. Ngomong-ngomong, gimana kamu bisa kenal dia?" Toni baru ingat kalau Anya tidak mungkin bergaul dengan orang kaya. 


"Dia sering makan di kafeku, terus ngobrol sama temannya. Aku nggak sengaja nguping. Dia lagi nyari jodoh, tapi gagal terus. Mana ada cowok yang mau dengan orang gendut seperti dia?" 


"Iya ya. Meskipun dia kaya, kalau nggak terpaksa kayak aku, pasti nggak ada yang mau sama dia," ucap Toni, merendahkan. 


Akhirnya, mereka mulai menjalankan rencana. Pertama, bagaimana agar Toni bisa berkenalan dengan Rika. Toni sering mampir ke kafe Anya. Ternyata benar. Rika sering makan di sana bersama Intan. Suatu ketika, Intan datang terlambat sehingga Toni ada kesempatan untuk mendekati Rika. Toni pura-pura menjatuhkan dompetnya di dekat kaki Rika.


"Eh, Mas, dompetnya jatuh!" seru Rika.


"Ah iya, terima kasih sudah memberi tahu." Toni memancarkan senyum mautnya. Wajah Toni memang cukup tampan, sehingga Rika langsung kepincut. 


"Sama-sama," jawab Rika, ramah.


"Mbaknya sendirian?" tanya Toni.


"Sebentar lagi teman saya datang," jawab Rika.


"Ooh… kenalkan, saya Toni. Saya kerja di dekat sini." Toni mulai melancarkan jurus mautnya. Ternyata tidak sulit mendekati Rika. Setelah beberapa kali pertemuan yang memang disengaja oleh Toni, lelaki itupun berhasil menguasai hati Rika sampai kemudian menikahinya. 


Rencana kedua, Toni berusaha agar tubuh Rika semakin gendut. Ia pikir akan mudah menyingkirkan Rika jika beratnya bertambah terus. Ternyata waktunya memang tidak sebentar. Anya pun tak sabar dan merencanakan ide gila. 


Di dalam kamarnya, Rika juga mendapatkan telepon dari Intan. 


"Kak, aku udah tau siapa perempuan itu," suara Intan terdengar. 


"Siapa dia?!" tanya Rika, antusias. Intan memang sekretaris yang dapat diandalkan. 


"Mereka pernah pacaran! Entah apakah sekarang sudah jadi mantan atau masih pacaran." 


Rika terkejut setengah mati. "Mantan pacar?!" 


"Hati-hati ya Kak, aku khawatir mereka merencanakan sesuatu di belakang Kakak. Mulai hari ini, Kakak harus waspada." 


"Oke, sudah pasti aku akan waspada." Rika menutup telepon. Matanya memicing.


"Kamu pikir aku wanita bodoh yang akan diam saja saat dikhianati? Kamu sudah lupa dengan perjanjian kita," gumamnya, pelan. 



*Jangan lupa subscribe supaya author semangat menulis bab selanjutnya yaaa.