Rika menatap semua perlengkapan ke gunung yang sudah dibeli oleh Toni seharian ini. Rika tak tahu apa saja perlengkapan yang dibutuhkan, jadi ia hanya memberikan uang kepada Toni dan suaminya yang berbelanja.
"Kita ke gunung yang terdekat aja. Gunung Gede," kata Toni. Rika hanya mengangguk-angguk. Terserah mau ke gunung mana. Ia menantikan apa rencana Toni untuknya.
Malam ini, mereka sama-sama tidak bisa tidur karena memikirkan perjalanan esok hari. Toni dengan rencana jahatnya dan Rika dengan rencana menghindari perbuatan jahat Toni.
Pagi hari, mereka bersiap berangkat ke gunung Gede. Selama dua jam perjalanan dari Jakarta, kepala mereka masing-masing dipenuhi rencana. Rika tak percaya suaminya sungguh-sungguh menjalankan misi dari Anya. Berarti benar Toni tidak pernah mencintainya. Toni hanya menginginkan hartanya.
Rika menangis memikirkan nasib cintanya yang kansas. Bahkan ia akan dilenyapkan. Nasibnya buruk sekali. Setelah ditinggal orangtua, kini ia harus menyiapkan hati untuk berpisah dengan suaminya. Seseorang yang ia kira bisa menjadi tempatnya bersandar.
"Sayang, ada apa kok kamu menghadap ke jendela terus?" tanya Toni.
Rika buru-buru menghapus airmata dan menghadap ke arah Toni dengan senyum ceria yang dibuat-buat.
"Nggak apa-apa, kok," jawabnya.
"Tenang saja, sayang. Kamu nggak akan kenapa-kenapa. Aku akan jagain kamu di atas nanti. Kalau kamu capek, kita bisa langsung turun." Toni pura-pura menghibur.
Rika jadi ingin menangis lagi. Sandiwara suaminya sangat sempurna. Di belakang mobil mereka, ada mobil Intan bersama dua orang pegawai.
Sampailah mereka di Cibodas, kemudian menitipkan mobil dan mulai mendaki gunung. Ini pertama kalinya Rika mendaki gunung, demi mengikuti skenario Toni. Ia sudah memeriksakan kesehatannya. Kata Dokter, ia bisa ikut mendaki tapi tidak sampai atas. Begitu sudah lelah, ia harus turun lagi. Pada titik itulah nanti ia akan menjalankan rencananya. Siapa juga yang mau mati di gunung?
Toni menuntun tangan Rika. "Ayo sayang, kita pasti bisa melihat sunset di atas gunung," katanya, sok romantis. Membuat hati Rika bertambah sakit. Sunset apanya? Rika sudah tahu bahwa dia tidak bisa sampai ke atas gunung.
Mereka berjalan mengikuti jalur pendakian normal. Rika sudah payah membawa bobot tubuhnya melalui jalan menanjak. Memang tidak terlalu curam, tapi tetap saja jalannya menanjak. Udaranya dingin, untuk dia pakai jacket tebal. Biarpun berkeringat karena jalan menanjak, tapi tidak terasa panas.
"Kita harus sering-sering ke sini supaya bisa mengurangi berat badan," kata Toni sambil tertawa.
Rika memandang wajah suaminya, tak percaya. Sering? Bukankah Toni akan menyingkirkannya hari ini? Ini adalah pendakian pertama dan terakhir yang harus dijalani oleh Rika.
Rika mulai tidak kuat, padahal baru beberapa meter. Di bawah tadi banyak orang yang satu perjalanan, tetapi lambat laun keadaan di sekitar mereka terlihat sepi. Orang-orang sudah berpisah dan bergerak lebih dulu.
"Aku mau minum dulu, Ton…." Rika ngos-ngosan.
"Ya udah, sayang, kita istirahat dulu ya," Toni membimbing Rika untuk duduk di batang pohon yang sudah ditebang.
Rika mengambil air minumnya, lalu meminumnya. Kemudian matanya menatap ke arah jalur pendakian. Apa mungkin dia bisa naik ke atas?
Sementara itu, Toni memikirkan waktu yang tepat untuk menyingkirkan Rika. Ia cukup mendorong Rika ke jurang, tidak perlu mengotori tangannya. Atau meninggalkan Rika di tempat yang sepi dalam keadaan sudah sangat lemah. Semakin ke atas, udaranya semakin dingin. Banyak pendaki yang tewas karena hipotermia yaitu suhu tubuh yang sangat rendah.
"Maafkan aku, sayang. Ini semua demi masa depan yang lebih cerah bersama Anya," ucap Toni, dalam hati. Tentu saja ia tidak bisa mengucapkannya di depan Rika.
Sebenarnya kalau dilihat dengan seksama, Rika itu cukup cantik. Jika pipinya tirus, dagunya hanya satu, perutnya tidak bergelombang, pahanya tidak seperti gedebong pisang, dan betisnya ramping, pastilah Rika tidak kalah dengan Anya.
"Ayo, sayang, kita lanjutkan pendakian," kata Rika setelah tenaganya terkumpul kembali.
"Kamu yakin bisa naik lagi?" Toni pura-pura memastikan.
"Bisa dong! Ini baru berapa meter. Masa aku sudah nyerah. Aku juga ingin kurus untuk membahagiakan kamu." Rika tersenyum. Andai Toni mau menunggunya sampai kurus. Tidak. Tidak perlu kurus. Asal ia bisa menyingkirkan lemak yang bergelambir.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah bergerak beberapa meter dari tempat semula. Sudah jarang terlihat orang-orang yang ikut mendaki. Rasa-rasanya mereka hanya tinggal berdua.
Tiba-tiba, dalam kondisi tubuh sudah lelah, Rika terperosok ke dalam jalan yang menurun di samping kiri. Jalan itu memang sempit dan Rika sudah kepayahan memanggul bekalnya.
"Aaaa!" Rika berteriak, saat terjatuh ke samping kiri.
Toni yang berjalan di depannya, menoleh ke belakang dan melihat Rika sudah tidak ada. Toni terkejut, tapi sebentar kemudian dia tersenyum. Apakah ini saatnya?
Jika suami lain akan berlari dan bergegas menolong istrinya, Toni hanya berjalan pelan menghampiri tempat jatuhnya Rika. Ia melongok ke bawah dan melihat istrinya pingsan.
"Sayang! Apa kamu nggak apa-apa?!" Toni berteriak. Tidak ada jawaban. Bagaimana mengangkat Rika ke atas? Salah gerak sedikit, malah dia ikutan jatuh. Lagipula, buat apa dia menolong Rika? Bukankah dia memang mau meninggalkan Rika di sini.
Toni melihat ke kanan dan kiri, tidak ada seorang pun yang lewat. Sepertinya semesta mendukungnya. Ia bisa meninggalkan Rika di sini dan berharap tidak ada orang yang menolong. Semakin sore, udara akan semakin dingin. Jika Rika masih terus berada di bawah situ, Rika bisa tidak selamat karena tidak kuat dengan udara dingin.
"Sayang! Aku cari bantuan dulu ya! Aku tidak bisa sendiri!" teriak Toni. Setidaknya kalau Rika masih bisa mendengarnya, Rika akan tahu bahwa ia masih ingin menolong.
Sepanjang jalan turun, Toni tidak bisa menemukan orang lain. Toni tersenyum penuh kemenangan. Ia tinggal menunggu hari esok saat Rika ditemukan dan sudah menjadi mayat.
"Maaf, sayang, hidup memang kejam," gumamnya, pelan.