Diam-diam Cinta
“Makan es krim durian dulu, yuk….” ajak Aisyah, ketika langkah kaki mereka hampir mendekati Stasiun Bogor. Jam empat sore, mereka baru bisa meninggalkan kampus.

“Boleh. Aku juga butuh penyegaran, nih!” Nazma mengangguk. Buah durian adalah buah favoritnya, meski tidak bisa sering disantap karena harganya yang lumayan.

Di Bogor, es krim durian mudah ditemukan. Harganya juga lumayan mahal untuk kantong mahasiswa seperti mereka. Setara dengan rasanya. Melihat durian montong yang digantung di atas gerobak penjual es krim, Nazma menelan ludah.

Betapa menggiurkannya buah itu bagi para penggemarnya…. Baunya yang khas benar-benar memancing selera. Kecuali untuk bule-bule yang kabarnya tidak menyukai durian, justru karena baunya.

“Es-nya dua ya, Bang.” Aisyah memesan. Mereka duduk di bangku yang disediakan tukang es itu, di atas trotoar jalan.

Maklumlah, Bogor juga sama dengan kota-kota besar lain di Indonesia, di mana para pedagang menggelar lapaknya di trotoar jalan, merampas hak pejalan kaki. Tak lama, es krim pesanan mereka telah tersedia.

“Bismillah….” Nazma menyendok es-nya dan melumerkannya di dalam mulut. Dikulum-kulum sebentar oleh lidahnya, untuk merasai durian montong yang membuat air liurnya hampir menetes.

“Kira-kira duriannya asli nggak, yah?” Aisyah berbisik.

“Asli-lah. Itu durian montongnya digantung.” Nazma menunjuk durian montong yang tergantung di atas gerobak.

“Yaah… bisa jadi itu hanya aksesoris….”

“Ada-lah durennya, tapi cuma sepotong….” Nazma menyendok sepotong durian dari dasar gelas. Keduanya terkikik.

“Lumayan… kalau beli satu buahnya kan nggak terjangkau,” cetus Aisyah. Nazma mengangguk-angguk.

Lepas makan es krim durian, keduanya melanjutkan perjalanan menju Stasiun Bogor yang sudah di depan mata.

Berbagai macam oleh-oleh khas Bogor dijual di sepanjang jalan memasuki Stasiun Bogor. Ada tas, mainan anak-anak, talas, kue gemblong, makanan ringan, asinan Bogor, sampai kelinci.

Bogor memang salah satu kota tujuan wisata di Indonesia, karena ada beberapa obyek wisata yang dapat dikunjungi, misalnya Istana Negara dan Kebun Raya Bogor. Ada juga sentra tas Tajur yang sudah terkenal.

Sayangnya, Nazma belum pernah mampir ke Tajur. Belum sempat, dananya juga belum ada. Untuk Ummi, paling sering ia membawakan oleh-oleh asinan dan talas. Itu pun hanya pada awal-awal kuliah. Sekarang sudah jarang, karena sudah bosan.

“Waah… keretanya mau jalan, tuh! Buruan, Ma!” Aisyah berlari menuju kereta yang tengah bersiap jalan.

Nazma buru-buru membayar tiket dan berlari menyusul Aisyah. Menunggu kereta berikutnya, tentu akan lebih lama lagi.

Alhamdulillah… kereta masih kosong, kalau baru berangkat dari Stasiun Bogor. Mereka bisa mendapat tempat duduk.

“Bisa tidur nih, Ma. Capek banget, deh.” Aisyah mengembuskan napas.

“Iya, samaaa…..”

“Kayaknya kita bakal sering pulang sore terus kalau KSEI sudah aktif.” Aisyah teringat kembali hasil rapat tadi.

Nazma mengembuskan napas. Ya, program yang telah disusun lumayan padat. Setiap minggu, mereka harus mengikuti kajian Ekonomi Islam secara berkelompok.

Lalu, rencananya akan ada kuliah informal lagi beberapa bulan ke depan. Tentunya sebelum kuliah itu berjalan, mereka akan sering mengadakan rapat. Senyumnya tipis tersungging. Tidak mengapa… selama masih ada Faisal… Ups!

Siapa itu yang tengah berjalan menuju ke arah mereka? Faisal dan Sofyan!

“Assalamu’alaikum, Ukhti….” Sofyan memberi salam. Faisal hanya tersenyum di belakangnya. “Ukhti” adalah panggilan untuk saudari perempuan.

“Wa’alaikumsalam….” Aisyah menjawab dengan suara kencang, sementara Nazma hanya melirih.

Kedua lelaki itu tampaknya hendak mencari tempat duduk, tapi mereka berhenti sejenak di depan Nazma dan Aisyah.

“Turun di mana nanti?” tanya Sofyan, yang lebih luwes bergaul.

“Saya di UI, Nazma di Tebet.” Aisyah lagi yang menjawab. Nazma masih sibuk dengan hatinya yang tidak keruan, karena kehadiran Faisal. Hari ini lengkap sudah ujian bagi hatinya. Tadi mereka bertemu dalam rapat, dan sekarang bertemu lagi di kereta.

“Ane di Lenteng Agung. Faisal paling ujung, nih. Di Kota.” Sofyan tersenyum kepada Faisal. “Oke, deh. Kami cari tempat duduk dulu, ya. Assalamu’alaikum….”

Aisyah ternganga mendapatkan obrolan yang hangat dan cair dari Ketua KSEI, yang juga anggota Rohis, mengingat ketatnya pergaulan di antara sesama anak Rohis. Tapi tadi Sofyan berbicara dengan senyum di bibir dan mata menatap langsung ke mata Aisyah. Tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh para petinggi Rohis.

Tentu saja aturan yang mengadopsi tata cara bergaul dalam Islam, yang mereka baca di buku-buku panduan agama Islam.

“Faisal juga anak Jakarta?” hati Nazma berbisik.

“Apa anak KSEI begitu semua, ya?” Aisyah bertanya, usai Sofyan dan Faisal lepas dari pandangan.

“Makanya kamu diminta jadi anggota KSEI….” Nazma menyindir.

“Hei, bukannya kamu juga?!”

“Kalau aku mungkin dipilih karena selalu bersama-sama dengan kamu. Mereka pikir, kita harus selalu bersama-sama juga dalam organisasi.”

Aisyah manyun. Nazma tertawa.

“Maaf, deh…. Mungkin itu maksudnya KSEI didesain supaya tidak terlalu lekat dengan Rohis. Kan tadi katanya KSEI berniat untuk menjaring mahasiswa yang tidak tertarik dengan Rohis, tapi tertarik dengan KSEI? Jadi, pola interaksinya pun tidak terlalu ketat seperti di Rohis….” Nazma memprediksi.

Aisyah mengangguk-angguk. “Ya… ya… bisa jadi begitu… tapi, aku senang di KSEI. Aku bisa bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa cerdas seperti Pak Sofyan dan Pak Faisal.”

Nazma mengigit bibir. Jika memang maksudnya begitu, semoga saja Allah menjaga hati para anggota KSEI agar tidak terpukau pada bisikan iblis yang terkutuk.

Jangankan pola pergaulan yang hangat dan cair seperti tadi, yang kaku dan tertutup seperti anak Rohis pun masih bisa terjerat pada virus cinta. Aah, Nazma merasa hatinya telah kotor.

***

Benar saja apa yang telah diprediksikan oleh Nazma dan Aisyah. Keduanya terjerumus dalam kesibukan yang luar biasa. Jadwal perkuliahan semakin padat di semester empat ini, ditambah dengan aktivitas organisasi di Rohis dan KSEI.

Ya, meskipun mereka sudah bergabung di KSEI, tidak berarti aktivitas mereka di Rohis berhenti. Mereka masih mengikuti kegiatan-kegiatan Rohis yang banyak.

Kajian-kajian keagamaan, seminar, even-even untuk memeriahkan hari-hari besar Islam, penyambutan mahasiswa baru, dan sebagainya. Di KSEI pun demikian pula adanya. Nazma dan Aisyah semakin sering pulang malam dalam keadaan loyo dan capai.

“Ma, kok pulang malem terus, sih?” tanya Ummi, geleng-geleng kepala. Sementara Nazma sudah menggelosor di atas karpet yang digelar di ruang tengah rumahnya. Badannya seperti habis dipukul-pukul. Capai dan pegal-pegal. Apalagi kalau harus bergelantungan di kereta.

“Iya, Mi… namanya juga aktivis kampus….” jawab Nazma, sekadarnya.

“Utamain kulieh aje, nape? Ntar sakit lagi….”

“Kan buat nunjang IPK juga, Mi…. katanya sih begitu…. Percuma kalo IPK tinggi, tapi nggak pernah ikut organisasi apa-apa.”

Ummi hanya mengembuskan napas. Berhubung ia tidak pernah kuliah, jadi ia percaya saja apa kata Nazma. Yang penting pulangnya jangan terlalu malam, karena takut ada apa-apa di jalan.

Nazma pun tahu diri. Bila pulang kemalaman, di atas jam tujuh malam, ia memilih untuk menginap di rumah kos teman-temannya yang berasal dari luar Bogor dan Jakarta, serta dari luar pulau Jawa.

Kos-kosan itu tersebar di sekitar kampus. Tentu saja Nazma hanya menginap di rumah kos atau kontrakan teman yang sudah ia kenal baik.

Semula Abah tidak mengijinkan Nazma menginap. Khawatir merepotkan atau terjerumus kepada pergaulan yang tidak benar.

Tapi, melihat perubahan pada diri Nazma yang positif, apalagi setelah bertemu dengan Aisyah, Abah pun mengijinkan. Nazma jauh lebih salihah daripada sebelumnya.

Rajin puasa Senin-Kamis dan salat Tajahud. Abah sering memergoki Nazma tengah salat Tahajud pada jam 3.30 pagi, ketika Abah bangun dari tidurnya dan berniat untuk salat Subuh di Masjid. Subhanallah… Abah terharu melihatnya.

“Emang di kampus ikut kegiatan ape sih, Ma? Kok jadi banyak berubeh?” tanya Abah, di hari libur, ketika Nazma sedang ada di rumah. Belakangan ini menjadi hari yang langka, karena Nazma sering ke kampus juga meskipun hari libur.

“Macam-macam, Bah. Intinya sih, pengajian.”

“Pantesan anak Abah jadi alim gitu….”

“Yeee… dari dulu juga alim….” Nazma memanyunkan bibir.

“Alhamdulilleh… jadi pan ade nyang doain Ummi dan Abah kalo udeh meninggal ntar….”

“Insya Allah, Bah.” Nazma tersenyum.

Dan perasaan hati Nazma, masih sukar didamaikan. Manakala pandangan matanya menangkap siluet tubuh Faisal. Mereka semakin sering bertemu, meskipun hanya Nazma yang merasa berdebar-debar.

Kadang juga terlibat pembicaraan singkat, dan setiap kata yang keluar dari mulut Faisal, selalu terngiang terus di telinga Nazma. Sekalipun kata-kata itu hanya kata singkat dan biasa.

“Jazakillah, Ukhti….” Begitu kata Faisal, ketika Nazma menjaga bazaar Rohis, dan Faisal membeli buku dari stan Nazma.

Dua kata itu terdengar merdu di telinga Nazma. Sungguh aneh. Padahal, ia sering mendengarnya dari aktivis Rohis lain. Itu hanya sebuah kalimat ucapan terima kasih.

Memang berbeda jika yang mengucapkan orang tercinta. Nazma belum juga membuka isi hatinya kepada siapa pun, termasuk kepada Aisyah. Biar saja ia pendam rahasia itu sendiri.

Toh, tidak ada gunanya membuka rahasia itu. Apa yang bisa mereka perbuat setelah mengetahui isi hatinya?

Nazma juga tidak berharap banyak dari perasaannya kepada Faisal. Sejauh interaksinya dengan Faisal, tak terlihat ada perhatian yang lebih dari Faisal untuknya.

Faisal menganggapnya sama dengan anggota KSEI lainnya. Nazma hanya bisa mengagumi Faisal di dalam hati. Menikmati debaran-debaran jantung setiap kali berpapasan dengan Faisal.

Bahkan sekadar menatap Faisal dari jauh, telah membuat dahaganya terpuaskan. Ya, sehari saja tidak melihat Faisal, Nazma merasa kehausan. Seperti berada di padang pasir yang luas, tanpa sumber air sedikit pun.

Setiap hari Kamis, Faisal memberikan kajian Ekonomi Islam di Musala Fakultas Ekonomi. Berhubung Faisal menjadi pemberi materi, ia menampilkan sosoknya di hadapan anggota KSEI perempuan.

Tirai masih menjadi penghalang, tapi sosok Faisal terlihat jelas di depan whiteboard. Menuliskan teori-teori Ekonomi Islam yang telah dipelajarinya, dan membaginya kepada aktivis KSEI yang diampunya, salah satunya Nazma.

“Al Quran dan Sunah, melarang adanya riba atau bunga, karena kezalimannya. Silakan buka Al Quran Surat Al Muzzammil dan Al Baqarah, yang terkait dengan riba1. Seperti yang telah kita ketahui, riba adalah suatu tambahan modal yang dipinjam.

Jadi, seumpamanya kita pinjam uang Rp 50.000, dengan bunga 10%, berarti kita harus mengembalikan uangnya sebesar Rp 55.000. Tambahan Rp 5.000 itulah yang dilarang.” Faisal menjelaskan sambil mencoret-coret whiteboard-nya.

“Prinsip Perbankan dalam Islam adalah Shirkah atau mitra usaha. Prinsip ini bebas bunga. Keuntungannya menggunakan sistem bagi hasil, yang ketentuannya menurut kesepakatan pemilik modal dan peminjam. Misalnya, keuntungan dibagi 50:50, atau 60:40, dan sebagainya, tergantung kesepakatan.”

Jika saja bukan Faisal yang menyampaikan penjelasan-penjelasan di atas, mungkin Nazma sudah mengantuk. Beban kuliahnya saja sudah berat, ditambah dengan kajian Ekonomi Islam yang tidak bisa dipandang ringan.

Apalagi tidak ada nilai yang bisa mendongkrak IPK dari kajian yang ia ikuti ini. Semata-mata hanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan mengenai agamanya sendiri.

“Mari kita mulai menerapkan Perbankan Syariah dari diri kita sendiri. Dari hal yang kecil dulu, misalnya membuka rekening di Bank Islam atau Bank Syariah. Ada yang sudah?” Faisal mengedarkan pandangan.

Semua tertunduk malu-malu. No rekening wajib mahasiswa saja terdaftar di Bank Pemerintah yang masih memakai sistem bunga.

“Saya doakan semoga teman-teman segera menyusul saya,” Faisal mengulum senyum.

“Afwan, Akhi Faisal. Contoh yang antum sebutkan itu kan berlaku untuk pinjaman produktif, dari Bank atau Pemilik Modal kepada Pengusaha.

Pinjaman itu fungsinya untuk modal usaha, jadi jelas bila keuntungannya kelak menggunakan sistem bagi hasil. Bagaimana dengan pinjaman konsumtif?

Misalnya, untuk biaya makan sehari-hari, sekolah anak-anak, pernikahan, dan sebagainya?” seorang ikhwan bertanya.

“Ya, benar. Sistem bagi hasil tentu saja hanya berlaku untuk pinjaman yang digunakan sebagai modal usaha. Kalau kredit konsumtif, tidak ada keuntungan yang bisa dibagi.

Pinjaman semacam ini sebaiknya dilakukan oleh perkumpulan koperatif rakyat, atau yang kita sudah kenal sebagai koperasi. Atau, bisa juga oleh lembaga perbankan bentukan pemerintah. Dana pinjaman diperoleh dari pajak. Dan tentunya, pinjaman semacam ini tidak dikenai bunga.

Jadi, jumlah uang yang dipinjam sama dengan jumlah uang yang dikembalikan. Untuk mengurangi risiko uang pinjaman tidak kembali, maka peminjam harus menyerahkan agunan atau jaminan, yang nilainya setara dengan nilai pinjaman.

Yang menarik, di semua negara Islam yang menerapkan sistem ekonomi syariah, ada suatu pinjaman yang disebut Qard i-Hasanah, yaitu suatu pinjaman tanpa bunga.” Faisal menjelaskan jawabannya secara gamblang, seakan semua sudah tersimpan rapi di otaknya. Tidak perlu membuka buku teks lagi.

“Berarti tidak ada untungnya dong memberikan pinjaman konsumtif?” tanya ikhwan itu lagi.

“Keuntungannya tidak dapat dirasakan secara langsung. Pinjaman produktif ada pengaruhnya pada produktivitas masyarakat secara tidak langsung, yaitu mendorong produksi dan suplai.

Dengan adanya pinjaman konsumtif, maka konsumsi masyarakat meningkat, dan tentunya itu akan meningkatkan produksi barang. Contohnya, seseorang pinjam uang untuk beli mobil.

Dengan banyaknya orang yang membeli mobil secara kredit, produksi mobil meningkat, dan tentunya akan meningkatkan pendapatan nasional.” Faisal menjawab.

Semua manggut-manggut mengerti. Jawaban Faisal dapat dengan mudah diterima otak, daripada membaca langsung dari bukunya.