Menjadi Anak Rohis

Hari Rabu pun tiba. Satu-satunya alasan Nazma mengikuti acara ramah-tamah itu adalah karena Aisyah juga mengikutinya. Mereka memang sering bertemu di kereta, dan persahabatan pun kian erat. Apalagi keduanya satu kelas di Fakultas Ekonomi.

Acara Rohis yang diadakan di salah satu ruang kuliah yang sedang tidak dipakai itu, dihadiri oleh para mahasiswa beragama Islam. Memang tidak semua mahasiswa muslim mengikutinya, sebab ada tarik menarik antara organisasi kiri dan kanan di kampus mereka. 

Organisasi kanan untuk menyebut Rohis dan teman-temannya, sedangkan organisasi kiri untuk menyebut beberapa organisasi sekuler yang ada di kampus. Para senior yang kemarin memegang OPSPEK, banyak bergabung di organisasi kiri.

Memasuki ruangan itu, Nazma semakin banyak menemukan mahasiswi berjilbab lebar dan bergamis. Setelah sering bolak-balik Bogor-Jakarta, Nazma memang mudah menemukan muslimah berpakaian sejenis. 

Mungkin itu gaya berpakaian yang lain. Nazma belum mengerti. Hanya saja Aisyah justru semakin bersemangat untuk berjilbab, setelah melihat deretan jilbab di depannya.

“Kayaknya aku akan benar-benar berjilbab,” gumam Aisyah. Sekarang ia hanya mengenakan kerudung yang dilampirkan di kepalanya. Tidak menutupi semua rambutnya.

“Orang tuamu, bagaimana?”

“Ya, harus dihadapi.” Aisyah mengerling jenaka.

“Pelan-pelan saja dihadapinya. Jangan memberontak.” Nazma mengingatkan.

“Iya, Bu Guru….” Aisyah kembali cengengesan.

Acara Rohis dibuka oleh seorang senior laki-laki. Seperti kebanyakan pengurus Rohis, lelaki itu juga berjenggot dan bercelana cingkrang.

“Perhatikan, nggak? Semua cowok Rohis berjenggot, ya?” Aisyah berbisik, pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang sedang menggelayuti benak Nazma.

“Iya….”

“Celana mereka juga ngatung. Perasaan nggak banjir, deh.” Aisyah mengerutkan kening, bingung.

Nazma menahan tawa, “Mungkin udah style mereka begitu, kali.”

“Nah, sekarang kita persilakan Pak Bahrul untuk memberikan sedikit sambutan. Tafadhol, Pak Bahrul.” Senior lelaki itu mempersilakan orang yang duduk di sampingnya untuk berbicara.

“Pak?” Aisyah kembali mengerutkan kening.

“Cowok itu juga masih mahasiswa, kan? Kok dipanggilnya, Pak?” Nazma menanyakan hal yang sama.

“Sudah, kita dengarkan saja.” Aisyah pasrah. Toh, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan mereka, kalau tidak diajukan kepada para senior di depan.

Akhirnya, Nazma dan Aisyah mengetahui bahwa panggilan “Pak” diperuntukkan bagi para senior Rohis yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan yang perempuan dipanggil “Teteh.” Maklum, mereka berada di Bogor yang mayoritas Sunda. Tapi, kenapa “Pak” dan bukannya “Aa” atau “Kang”?

Setelah Pak Bahrul, giliran Ketua Annisa Keputrian Rohis yang berbicara, khusus kepada para mahasiswi. Sebab, Annisa Rohis adalah divisi Rohis untuk muslimah.

“Sekarang saya minta Teteh-Teteh di sini untuk membimbing adik-adiknya, ya,” kata Teh Rika, usai berbicara.

“Dek, boleh minta nomor teleponnya?” tanya seseorang, tiba-tiba.

Nazma menoleh. Salah seorang senior Rohis mengajaknya berbicara.

“Boleh-boleh!” Aisyah langsung menyambar. Senior Rohis itu sigap mencatat nomor telepon Aisyah. Selanjutnya Nazma.

“Oh iya, kita belum kenalan. Kenalkan, saya Teh Iis,” senior Rohis itu mengulurkan tangan. Nazma dan Aisyah berebut membalasnya.

“Wah, Nazma, aku nggak sabar nih pakai jilbab. Di sini, aku seperti mendapatkan banyak dukungan.” Wajah Aisyah berseri-seri, usai mengikuti acara Rohis.

“Aku juga senang kalau kamu berjilbab.”

“Doakan aku ya, semoga aku bisa melunakkan hati orang tuaku!” Aisyah menggenggam tangan Nazma.

“Amiin. Bilang saja kamu ingin menjadi seperti Ibu Aisyah, istri Rasulullah. Bukankah itu maksud orang tuamu memberikan nama Aisyah?”

“Belum tentu. Bisa jadi orang tuaku hanya ikut-ikutan ngasih nama Aisyah….” Aisyah berkelakar.

“Hussy!” Nazma tertawa.

***

Ya, Rohis memberikan kesan yang cukup mendalam bagi Aisyah. Tidak lama setelah pertemuan pertama, Aisyah telah mengenakan jilbab. Orang tuanya masih keberatan, tapi Aisyah bersikeras. 

Persoalan jodoh itu masih lama. Toh, Aisyah masih ingin kuliah dulu. Kalau memang ia tidak bisa mendapatkan jodoh hanya gara-gara berjilbab, ia rela melepaskan jilbabnya. 

Tapi, ia yakin bisa mendapatkan jodoh justru karena berjilbab. Para senior laki-laki di Rohis tentu lebih suka calon istri yang berjilbab, bukan?

Nazma kagum dengan perkembangan Aisyah. Aisyah bukan hanya telah berjilbab, tapi pakaian yang dikenakannya pun sangat sopan. Tidak seperti Nazma. 

Meskipun belum bergamis seperti para senior perempuan di Rohis, Aisyah mengenakan blus dan rok yang lebar. Nazma jadi malu sendiri. Ia yang lebih dulu berjilbab, malah masih senang mengenakan pakaian ketat. Ia pun mengikuti Aisyah dengan kesadaran sendiri.

Ternyata menenteramkan juga memakai pakaian longgar. Tidak mengundang pandangan nakal lelaki. Dulu sewaktu masih memakai celana jeans dan atasan pas badan, masih ada laki-laki yang menggoda Nazma. 

Berhubung ia berjilbab, jenis godaannya terkesan santun. Misalnya, mengucapkan salam. Tapi, sambil tertawa-tawa nakal. Mau menjawab, nanti disangka senang juga. Tidak menjawab, berdosa. 

Nazma jadi serba salah. Bagaimanapun, itu tetap saja godaan. Setelah mengenakan baju longgar, godaan itu hampir tidak pernah datang lagi.

Nazma dan Aisyah bukan hanya menunjukkan perubahan dari segi pakaian, tapi juga sikap dan tingkah laku. Aisyah yang tadinya sedikit nakal dan suka tertawa lebar di mana pun dan kapan pun ketika hatinya sedang senang, kini mulai terlihat anggun. 

Mungkin karena ia pernah ditegur senior Rohis yang kebetulan melihatnya. Keduanya juga semakin aktif di Rohis, bahkan sejak di semester dua, mereka mendapat amanah sebagai pengurus Rohis.

Tiga semester telah terlewat dan kebersamaan keduanya belum pupus, bahkan makin akrab. Nazma seperti tidak hidup tanpa Aisyah, dan begitu juga sebaliknya. Meskipun agaknya Aisyah lebih tidak terikat daripada Nazma. 

Aisyah sangat supel, sehingga mempunyai banyak teman. Temannya bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Ia sering mendapatkan curahan hati dari teman-temannya, yang kadang dibaginya juga kepada Nazma. 

Tentu saja dengan persyaratan: jangan bilang-bilang sama siapa-siapa.

“Nazma! Bengong aja! Yuk, turun! Sudah sampai kita!” Aisyah menyenggol lengan Nazma. 

Nazma tergeragap. Kereta sudah sampai di Stasiun Bogor. Para penumpang berebutan ingin turun, padahal kereta tidak hendak pergi lagi cepat-cepat.

“Udah sarapan, Ma?” tanya Aisyah, sambil membenahi jilbabnya yang berantakan.

“Udah, dong. Biasa… nasi uduk….”

“Tiap hari nasi uduk… apa nggak bosen?”

“Ya nggak tiap hari. Kalau Ummi masak, ya makan masakan Ummi. Emangnya kamu belum sarapan?”

“Belum. Aku kan telat bangun. Lagian kuliah pagi beneeer….”

“Ya, udah, kalau mau sarapan dulu, aku temenin.”

“Nanti aja setelah kuliah pertama. Sekarang juga kita udah telat.” Aisyah memberhentikan angkot hijau, yang akan membawa mereka ke kampus hijau tercinta. 

Jalanan Bogor didominasi oleh angkot yang menjadi salah satu penyebab kemacetan. Angkot-angkot berwarna hijau seakan ingin memberitahu bahwa Bogor dinuansai warna hijau. Pepohonan besar nan teduh bersebaran di sisi jalan raya. Sebuah program penghijauan yang cukup berhasil, tapi sayang jalan kota terlihat semrawut dengan banyaknya angkot.

Sebentar lagi mereka akan kembali bergelut dengan materi kuliah Ekonomi yang sudah merasuki otak mereka sejak menginjakkan kaki di Kota Hujan dan Kota Angkot. 

Belum lagi ditambah rapat Rohis dan agenda-agenda lain yang membuat keduanya seperti manusia paling sibuk se-kampus. Ah, kapan lagi bisa begitu?

***

Kampus hijau Nazma dan Aisyah dirimbuni oleh deretan pohon besar yang menyumbangkan udara sejuk dan bermanfaat bagi kemanusiaan mereka. 

Sembari menunggu jadwal kuliah berikutnya, kedua gadis berusia 19 tahun itu duduk-duduk di bangku semen yang banyak terdapat di sisi jalan kampus. 

Sungguh beruntung kuliah di Bogor, tidak perlu berhadapan dengan cuaca panas dan terik matahari terus menerus. Sebaliknya, curah hujan cukup tinggi dan sering datang tiba-tiba. Mungkin hampir setiap hari terjadi hujan, meski tidak sepanjang hari. 

Aneh bin ajaib, padahal Kota Depok yang hanya lima belas menit naik KRL, hampir selalu diliputi awan panas. Berbanding terbalik dengan Bogor.


“Udah denger, belum? Masa si Irfan ikut Rohis cuma untuk pedekate sama Dania,” Aisyah memulai pembicaraan yang sebenarnya lebih menjurus ke gossip. 

Ia sudah tahu bahwa bergosip itu dilarang, tapi sulit sekali untuk tidak membicarakan sesuatu yang menarik dalam diri seseorang. Toh, ia hanya membicarakannya dengan Nazma.

“Eh, inget. Kata Fadia, kita enggak boleh ngomongin sesama saudara. Sesama muslim kan bersaudara….” Nazma mengingatkan. 

Fadia adalah salah seorang teman kuliah mereka juga, yang dianggap lebih senior di Rohis, karena pengetahuan agamanya lebih banyak.

“Kan ngomonginnya sama kamu aja, Ma. Habis, aku gemas. Irfan sendiri yang bilang ke aku.” Aisyah memanyunkan bibirnya yang cukup tebal.

“Irfan bilang sendiri ke kamu?!” Nazma terbelalak.

“Iya. Dia suka nelepon aku buat curhat.”

Nazma menggeleng-gelengkan kepala. Ya, tentu saja. Aisyah memang mudah dekat dengan orang, termasuk dengan lawan jenis. Tapi, semuanya hanya menjadikannya sebagai teman curhat. 

Irfan adalah teman sekelas mereka juga, yang belakangan ini terlihat aktif di Rohis. Dania juga teman sekelas mereka yang juga aktif di Rohis. Jilbabnya panjang dan pakaiannya sangat lebar.

“Kamu terima-terima telepon dari cowok gitu, kalo ketauan senior Rohis bisa disidang, lho….” Nazma menakut-nakuti.

“Makanya kamu jangan cerita-cerita, dong. Bagiku, mereka semua hanya teman, kok. Aku juga maunya pacaran setelah menikah.”

“Kalau itu benar, apa mungkin Dania mau sama Irfan?” Nazma terlihat pesimis. Sejak bergabung di Rohis, ia tahu bahwa anak-anak Rohis tidak boleh pacaran, karena pacaran lebih mendekati zina, dan zina adalah salah satu dosa besar. 

Pergaulan anak-anak Rohis diawasi dengan ketat oleh para senior. Dilarang berdua-duaan dengan sesama jenis, sekalipun hanya untuk membicarakan organisasi atau perkuliahan.

 Harus ada orang ketiga yang mendampingi. Juga diharuskan untuk menundukkan pandangan setiap kali berpapasan dengan lawan jenis. Aturan yang awalnya sangat mengekang bagi Nazma dan Aisyah. 

Tapi, berhubung teman-teman Rohis mereka juga menerapkannya, tanpa sadar mereka pun terbawa. Hanya saja… kadang-kadang Aisyah melanggar….

“Ah, ya sudah pasti enggak! Irfan kan baru masuk Rohis. Ilmu agamanya masih cetek. Lagian dia masuk Rohis juga karena Dania, bukan karena Allah. Mana mau Dania sama cowok begitu?” Aisyah mencibir.

Nazma manggut-manggut. “Iya, ya. Itu niat yang nggak bener.”

“Nggak cuma Irfan yang begitu. Si Purwo juga gitu. Masuk Rohis cuma untuk ngambil hati Dania. Mereka berdua udah ngetek Dania buat dijadiin istri, nanti kalau sudah siap.”

“Hah? Purwo juga?”

“Yah, wajarlah. Dania kan cantik. Tapi aku yakin, nggak ada satu pun dari mereka yang bisa ngambil hati Dania,” Aisyah tersenyum.

“Kamu dicurhatin sama cowok-cowok soal cewek lain, apa nggak cemburu?” Nazma menyelidik.

“Cemburu apa?”

“Ya, cemburu sama Dania karena banyak yang naksir.”

“Ah, enggaklah…. Aku juga nggak mau sama Irfan atau Purwo….”

Nazma terkikik geli. Tidak mau, tapi sepertinya Aisyah cemburu sekali.

“Assalamu’alaikum....” sesosok muslimah berjilbab panjang dan bergamis menghampiri Nazma dan Aisyah. Panjang umur! Ialah Dania, gadis yang sedari tadi menjadi bahan pembicaraan Nazma dan Aisyah. 

Tidak diragukan lagi jika banyak lelaki yang mengaguminya, karena Dania dikaruniai wajah cantik, kulit putih, dan hidung mancung. Belum lagi tinggi badannya yang jauh di atas rata-rata mahasiswi di kampus mereka.

Nazma dan Aisyah menjawab salam dengan kikuk. Semoga saja Dania tidak mendengar pembicaraan mereka tadi.

Dania duduk di sebelah Nazma. Lesung pipitnya terlihat jelas setiap kali tersenyum. Benar-benar gambaran wanita yang sempurna. Cantik, pintar, dan salihah. “Wah, asyik ya duduk-duduk di sini? Kuliah masih sepuluh menit lagi, ya?” tanyanya.

“Iya, nih. Pake ada jeda segala,” Aisyah mengeluh, lalu tanpa bisa dikontrol, ia menceritakan lagi apa yang tadi diceritakannya kepada Nazma. “Eh, Dan, tahu nggak, kamu kan ditaksir Arfan dan Purwo.”

Dania terperangah. Tidak menyangka telinganya akan mendengar informasi seperti itu. Ditaksir oleh dua mahasiswa yang baru saja bergabung dengan Rohis?

“Kamu ngomongin apa sih, Is?” dahinya berkerut bingung.

Nazma menyikut Aisyah. Ia juga kaget karena Aisyah langsung mengatakannya kepada Dania. 

Aisyah tak memedulikan sikutan lengan Nazma. Ia menceritakan apa yang dikatakan Irfan dan Purwo kepadanya.

“Nah, Dan, siapa yang mau kamu pilih jadi suamimu?” tanyanya, usai bercerita.

Dania tak langsung menjawab karena sibuk tertawa.

“Ye... kok malah ketawa?” Aisyah sebal.

“Sebentar-sebentar... jadi dari tadi kalian ngomongin ini?” Dania menahan tawa.

Aisyah dan Nazma mengangguk. Dania masih sibuk menutup mulutnya. Kalau sudah tertawa memang sulit dihentikan. Baginya, pertanyaan Aisyah tadi benar-benar lucu.

“Udah dong ketawanya. Aku tersinggung, nih,” Aisyah memasang wajah cemberut.

“Iya, iya. Maaf, tapi ini memang lucu.” Dania menepuk-nepuk bahu Aisyah. “Maaf, aku tidak memilih dua-duanya karena aku belum siap menikah.”

“Sepertinya mereka juga belum siap menikah,” cetus Nazma.

“Lho, jadi mau apa, dong? Apa mereka pikir bisa memacariku?” Dania tertawa lagi.

“Nggak juga. Mungkin cuma mau ngetek aja….” Aisyah mengira-ngira.

“Ngetek apa maksudnya?” Dania bingung.

“Ya, ngomong cintanya sekarang, tapi ngelamarnya nanti kalau udah siap nikah. Yang penting kamu sudah tahu bahwa mereka mau menjadikanmu istrimu….” Aisyah menjelaskan.

“Ya, tidak mungkin aku punya suami dua….” Dania geleng-geleng kepala.

“Nah, jadi kamu pilih yang mana di antara keduanya?” Aisyah mengulang pertanyaannya.

“Tidak dua-duanya. Aku kan nggak tau siapa jodohku kelak dan belum tentu umur kita bertahan sampai menikah. Jadi, ya lihat saja nanti kalau sudah sama-sama siap menikah. Nggak usah ngomong dari sekarang. Yang penting, nyari jodoh itu jangan ngutamain fisiknya, tapi agamanya.” Dania menjelaskan.

“Ooo….” Aisyah mengangguk-angguk mengerti.

“Kamu harus kasih tahu ke mereka, tuh!” Nazma menyikut lengan Aisyah lagi.

“Assalamu’alaikum….” Sebuah suara yang lain, kembali menyapa mereka. Kali ini Fadia. Kalau berbicara dengan Fadia, pasti akan serius.

“Aku baru saja ikut rapat Rohis, khusus untuk beberapa pengurus inti. Rencananya, Rohis kita akan ada Divisi baru. Kalian sudah siap bergabung?” tanya Fadia, setelah ucapan salamnya dijawab dengan serempak oleh ketiga rekannya.

Tuh, kan! Belum-belum tema pembicaraannya sudah rapat Rohis. Nazma dan Aisyah hanya berpandangan. Dania menyambut dengan semangat.

“Wah, Divisi apa itu?”

"Ekonomi Islam.”

***