Ahmad Faisal

“Rohis itu kan wadah kita untuk memahami Islam secara universal. KSEI, adalah wadah kita untuk memahami Islam secara khusus dalam bidang ekonomi, bidang yang akrab dengan latar belakang akademis kita,” jelas Fadia, saat mempromosikan KSEI, Kelompok Studi Ekonomi Islam, divisi Rohis yang baru.

“Terus?” Aisyah menatap Fadia.

“Pendaftarannya dibuka besok. Rugi lho kalau nggak ikutan. Kita kan perlu benteng,” dan Fadia kembali menjelaskan panjang lebar.

Ilmu ekonomi yang mereka pelajari banyak mengupas mengenai kapitalisme dan sosialisme, dua sistem ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Memang, keduanya tetap punya sisi positif yang dapat mewarnai dunia lebih baik lagi. Tapi sisi negatifnya, juga bisa memorak-morandakan dunia.

Persaingan bebas yang dianut kapitalis, dapat memotivasi individu bahkan negara untuk berbuat yang terbaik demi memenangkan persaingan. Akan tetapi, jika persaingan itu sampai menghalalkan segala cara, yang terjadi adalah perpecahan darah.

Itulah yang diramalkan akan terjadi apabila dunia sudah mengglobal. Diprediksikan, negara-negara berkembang, sedang berkembang, dan miskin adalah negara-negara yang paling merasakan dampak negatifnya, karena kalah bersaing dengan negara maju.

Sosialisme, secara teori adalah sistem yang sempurna. Semua orang diramalkan akan hidup makmur, sejahtera, dan sentosa jika negaranya menganut sistem itu.

Buktinya? Tidak ada satu pun negara sosialis yang masuk kategori negara maju. Semua dalam keadaan terbelakang. RRC, yang dulu kental menganut sistem itu, sekarang perlahan menjadi kapitalis.

Membuka pintu sebesar-besarnya terhadap perdagangan bebas dan menebar cakram bisnisnya di seluruh penjuru dunia. Sosialisme, nyata-nyata tidak membawa perbaikan yang berarti. Hanya utopia.

Satu-satunya sistem ekonomi yang paling ideal dan sudah terbukti keberhasilannya adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang pernah diterapkan oleh Rasulullah pada masa pemerintahannya dahulu, bahkan diangkat oleh Adam Smith dalam bukunya, The Wealth of Nation. Negara Kesejahteraan.

Sistem ini mengharamkan riba, karena riba atau bunga hanya membawa kesengsaraan. Riba hanya menguntungkan pemilik modal. Dan jelas-jelas, Allah telah mengharamkan riba yang tersurat di dalam Al Quran.

“Wah, kayaknya seru juga. Aku ikutan, deh,” Aisyah langsung bersemangat usai mendengarkan uraian panjang Fadia.

Fadia ganti menatap Nazma. Nazma bergeming. Masih pikir-pikir. Kalau ia ikut divisi itu juga, bisa jadi hari-harinya semakin sibuk.

Aisyah menyikut Nazma.

“Eh, ya?” wajah naif Nazma, tampak.

“Kamu ikut juga nggak, Ma?” tanya Fadia.

“Apa?”

“Hu! KSEI!” Aisyah memonyongkan bibir.

“KSEI?” Nazma mengerutkan kening. “Em... nambah jadwal kegiatan lagi, dong! Di Rohis aja udah crowded!”

“Heh, dakwah itu harus sebanyak-banyaknya,” Aisyah mengingatkan.

“Kan sama aja. Sama-sama Rohis.”

“KSEI lebih khusus. Masa kita canggih dengan teori-teori kapitalisme dan sosialisme, tapi gagap di ekonomi Islam?” Aisyah terdengar lebih cerdas, hanya oleh pemaparan lima menit dari Fadia.

Nazma masih ragu-ragu, tapi tak urung dianggukkannya juga kepalanya.

***

Hari Sabtu yang damai, semestinya Nazma sedang meringkuk di ranjangnya yang empuk, menikmati hari liburnya yang langka. Tidak diganggu oleh aktivitas perkuliahan dan organisasi.

Sayangnya, hari ini adalah hari pembukaan Kelompok Studi Ekonomi Islam. Divisi Rohis yang baru, khusus untuk mendalami Ekonomi Islam.

Mata kuliah Ekonomi Islam memang belum ada di perkuliahannya, padahal mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan Bank Islam pun sudah dapat dijumpai dengan mudah. Mengapa?

Entahlah. Nazma belum mau ambil pusing, karena ia masih membiasakan diri dengan aktivitas barunya ini. Kelak, setiap hari Sabtu, ia harus datang ke kampus untuk mengikuti studi informal Ekonomi Islam.

Semua anak Rohis harus ikut dalam studi itu, dengan membayar sejumlah uang. Sebab, mereka akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh narasumber di luar dosen-dosen kampus mereka. Narasumber berbobot, di antaranya Direktur sebuah Bank Islam dan Konsultan Ekonomi Islam.

Itulah sebabnya kening Nazma sering berkerut-kerut bingung mendengarkan uraian para pembicara di depannya tentang Ekonomi Islam. Mungkin karena ia sendiri belum mempelajari ilmu ekonomi secara lengkap, maklum, baru semester tiga.

Udara dingin di ruangan seminar semakin membuatnya mengantuk. Bayangkan, kuliah berat di dalam ruangan ber-AC, pagi-pagi pula. Klop sudah.

Sebaliknya, Aisyah justru menunjukkan keseriusan yang tinggi. Memperhatikan pembicara dengan seksama dan mencatat hal-hal yang dianggapnya penting. Baru kali ini Aisyah terlihat serius, padahal kalau kuliah suka bercanda sendiri.

Sesi tanya jawab dimulai. Para peserta yang jumlahnya lumayan banyak (sungguh tidak disangka, padahal ini baru pembukaan KSEI), berebut mengacungkan jari. Mereka terlihat antusias dan haus akan ilmu.

Nazma dan Aisyah yang duduk di belakang, hanya memperhatikan. Tidak terpikir untuk bertanya, terlebih setelah mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul kritis-kritis dan cerdas-cerdas.

Lalu, pandangan Nazma terarah pada peserta paling depan, yang beberapa kali mengajukan pertanyaan, seakan tidak puas dengan jawaban yang diberikan.

Pertanyaannya sama cerdasnya dengan jawaban yang diberikan oleh pembicara. Seakan-akan penanya dan pembicara sama-sama cerdas.

“Ck, hebat ya dia… pinter banget….” Suara pujian keluar dari mulut Aisyah.

Jantung Nazma berdebar. Sebuah perasaan memasuki dirinya dengan halus dan tiba-tiba tanpa bisa dicegah. Lelaki di depannya itu berhasil memukaunya dengan kecerdasan yang mempesona. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan suaranya yang lantang, membuat Nazma tidak bisa mengalihkan diri dari memperhatikannya.

Ia tahu bahwa pandangan harus dijaga, karena pandangan adalah panah-panah setan. Tetapi, panah itu telah menancap sedemikian dalam. Perasaannya belumlah bisa dikatakan cinta, hanya simpati. Kagum akan kepiawaian lelaki itu dalam mengeluarkan isi otaknya.

Belakangan Nazma tahu, lelaki itu dua tingkat di atasnya, senior Rohisnya, yang sebenarnya sudah sering berkeliaran di sekitar Nazma, hanya saja Nazma baru menyadarinya sekarang.

Namanya, Ahmad Faisal.

***

Nazma merasakan perubahan itu. Kuliah informal Ekonomi Islam yang awalnya kurang diminati, kini bagaikan pertandingan sepak bola bagi Kaum Adam.

Ia selalu bersemangat untuk menjadi penonton paling depan, ikut mencatat materi-materi yang disampaikan, dan mengusahakan untuk datang paling pagi. Bahkan, ia bersedia menjadi penjaga karcis masuk, jika penjaga sebelumnya tidak hadir.

Ya, untuk dapat mengikuti kuliah itu, para peserta memang harus membayar biaya kuliahnya, terlepas dari biaya kuliah formal. Biayanya bisa dibayar sekaligus di awal, yang berarti mengikuti kuliah sampai selesai (selama tiga bulan, seminggu sekali), atau hanya sesekali ikut dan membayar untuk satu kali pertemuan saja.

Nazma merasakan hawa panas mengaliri tubuhnya setiap kali berpapasan atau melihat Faisal. Seniornya itu tidak pernah absen mengikuti kuliah informal Ekonomi Islam.

Nazma pun merasa aneh, mengapa selama tiga semester lalu, ia tidak pernah bertemu atau melihat Faisal? Ke mana saja lelaki itu? Ia ingin bertanya kepada Aisyah, tapi masih malu mengakui perasaannya.

Aisyah pasti bisa menebak apa yang sedang bergejolak di hatinya, kalau tiba-tiba ia banyak bertanya mengenai seorang laki-laki yang selama ini tidak pernah ditanyakannya. Nazma pun hanya mencari tahu mengenai Faisal sendiri saja.

***

Cinta memang tidak dapat dicegah datangnya. Kapan saja dan di mana saja. Tidak ada seorang manusia yang dapat mencegah dirinya untuk jatuh cinta, meskipun sudah berusaha membentengi dirinya sebaik mungkin.

Aktivis Rohis sudah dibekali bermacam-macam tameng plus aturan-aturan yang mengekang dalam pergaulan. Jangankan berduaan dengan lawan jenis, saling memandang saja sudah dilarang.

Tidak heran jika interaksi di antara aktivis Rohis yang berlainan jenis, terlihat kaku dan aneh. Masing-masing berbicara dengan menundukkan pandangan.

Ketika Aisyah masih jahil, di semester awal kuliah dan baru bergabung dengan Rohis, Aisyah suka mengerjai senior Rohis laki-laki yang melewatinya sambil menundukkan pandangan dan menjaga jarak.

Aisyah justru berpura-pura mendekat dan seperti hendak menyenggol senior itu, sampai-sampai sang senior hampir menabrak tiang. Toh, dengan penjagaan sedemikian rupa, masih saja ada cinta di antara sesama aktivis yang tumbuh diam-diam.

Seperti Ifran dan Purwo yang semakin giat mengikuti acara-acara Rohis, karena ada Dania. Kini, Nazma pun terkena virus merah jambu itu juga.

Mengapa namanya virus? Bukankah cinta itu indah? Cinta bisa menjadi virus atau obat, tergantung pada waktunya. Dan Nazma merasa cinta yang kini menghinggapinya tergolong virus, karena datang pada saat yang belum tepat.

Setelah ia merasakan jatuh cinta kepada Faisal, anehnya lelaki itu semakin sering melintasi hidupnya. Pertemuan mereka kerap terjadi di mana saja. Bahkan setelah kuliah informal Ekonomi Islam usai.

Nazma tak mengerti, apakah ini trik iblis untuk menggoda hatinya? Agar ia semakin terjerumus ke dalam jurang cinta? Agar ia tidak berkonsentrasi kuliah dan beribadah? Rasa simpatinya terhadap Faisal terus bertambah dari hari ke hari.

Pesona Faisal bukan saja ditampilkan oleh kecerdasan otaknya, tapi juga kesalihannya. Nazma pernah melihat wajah Faisal yang bercahaya setelah dibasuh air wudu, pada jam 9 pagi.

Lalu, dari balik tirai musala fakultas yang tersingkap angin, dilihatnya Faisal tengah menunaikan salat Duha.

Dan, ujian hati paling besar adalah saat Aisyah mengajaknya untuk mengikuti rapat internal calon pengurus KSEI.

“Pembukaan KSEI kemarin sangat sukses. Padahal, pengurus KSEI sendiri belum terbentuk. Besok mau ada rapat penentuan pengurus, paling nggak untuk setahun ini sampai KSEI bisa menyelenggarakan suksesi yang dapat diikuti oleh seluruh anggota. Kamu mau ikut rapatnya, nggak?” tanya Aisyah.

“Maksudnya, kita bakal jadi pengurus KSEI?” Nazma balik bertanya.

“Iya… insya Allah. Soalnya, pengurus Rohis lain sudah mendapatkan amanah yang berat-berat, waktu mereka sedikit kalau harus mengurusi KSEI juga. Kalau kita kan selama ini masih jadi simpatisan saja di Rohis.” Aisyah tertawa.

Memang benar mereka sering mengikuti aktivitas Rohis, tapi belum benar-benar menjadi pengurus inti.

“Hmmm… boleh.” Di balik anggukan kepalanya, Nazma berharap bisa bertemu Faisal di rapat internal itu.

Dan harapannya menjadi nyata. Bahkan terlampau indah untuk diwujudkan. Rapat itu tidak seperti rapat Rohis lainnya yang kaku.

Biasanya, rapat Rohis diadakan di musala atau rumah kontrakan aktivis Rohis yang memiliki tirai pemisah. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah, bahkan tidak bisa memandang wajah masing-masing karena terhalang oleh tirai.

Tetapi, di rapat KSEI ini, laki-laki dan perempuan duduk berdekatan dan saling berhadapan. Nazma hanya bertanya-tanya di dalam hati, mengapa bisa begitu? Sementara, ketua KSEI asyik berbicara mengenai program divisinya ke depan.

“Terima kasih atas kehadiran rekan-rekan semua. Seperti yang sudah rekan-rekan ketahui, saya terpilih sebagai Ketua KSEI periode pertama. Hanya saja, siapa yang akan membantu saya, belum ditentukan, karena kita belum ada waktu untuk suksesi. Untuk itulah, saya mengumpulkan rekan-rekan semua di sini.”

Demikian Sofyan menjelaskan alasan pengumpulan beberapa calon pengurus KSEI di dalam rapat internal itu. Mungkin karena barunya, tidak lebih dari sepuluh orang yang hadir di dalam rapat itu. Apakah pengurus KSEI kelak memang hanya sedikit?

“Jumlah kita sekarang memang belum banyak, karena kita masih baru. Untuk tahun ini, pengurus KSEI hanya dari beberapa anggota Rohis yang sudah lama bergabung. Insya Allah, kelak kita bisa menjaring orang-orang baru yang bukan pengurus Rohis.

Maaf, sebelum bicara lebih jauh, KSEI memang bagian dari Rohis, tapi tidak bergantung kepada Rohis. Agar tidak mengesankan KSEI itu eksklusif dan fanatik.

Banyak orang di luar sana yang ingin bergabung dengan KSEI, tapi tidak ingin bergabung dengan Rohis. Jadi, KSEI lebih moderat daripada Rohis.” Sofyan berbicara lagi.

Nazma mengangguk-angguk mengerti. Jadi, itu sebabnya rapat KSEI tidak seperti rapat Rohis yang kaku dan tertutup? Rapat KSEI lebih terbuka seperti rapat-rapat di dalam organisasi lain.

Terdengar suara derap langkah dari bawah tangga, sepertinya akan ada orang lagi yang bergabung dalam rapat mereka.

Sepasang mata Nazma membelalak ketika orang itu sudah dapat ditangkap oleh matanya dan ikut bergabung di dalam rapat mereka.

“Assalamu’alaikum… Afwan, telat….” kata orang itu, dengan suara yang tidak lantang sebagaimana yang pernah Nazma dengar di kuliah informal ekonomi Islam.

Faisal langsung duduk di kursi yang kosong di sebelah Sofyan. Tangannya menyalami Sofyan, dan kepada rekan-rekan lain, ia hanya menangkupkan kedua tangannya di dada. Salam jauh.

Debaran jantung Nazma mendadak kencang. Wajahnya terasa panas. Bahkan, seluruh tubuhnya juga panas. Ia berusaha mengendalikan dirinya yang gugup.

Ah, bagi Faisal, dirinya bukan siapa-siapa. Jadi, tenang saja. Nazma berusaha mencegah matanya agar tidak mencuri pandang ke arah Faisal. Bahaya…..

Sayangnya, sulit sekali menahan keinginan untuk meneliti dan menilai Faisal dari dekat. Selama ini, ia hanya melihat Faisal dari jarak yang cukup jauh. Tidak pernah sedekat sekarang, di mana ia dan Faisal hanya berjarak sekitar dua meter dan duduk berhadapan!

“Baiklah. Sekarang kita tentukan dulu susunan pengurusnya, ya,” kata Sofyan.

Aisyah terpilih sebagai Bendahara. Posisi yang cukup dekat dengan Ketua. Faisal, yang juga salah seorang penggagas KSEI, mendampingi Sofyan sebagai wakil ketua.

Nazma memilih menjadi seksi informasi dan komunikasi. Ia belum mau mengambil tugas berat. Keberadaannya di KSEI menjadi tanda tanya; ini ujian atau anugerah? Ke depan, mungkin ia akan semakin sering berinteraksi dengan Faisal.

“Ya Allah… jagalah hatiku….” Nazma berdoa di dalam hati. Inikah rasanya terkena virus merah jambu, ketika ia sedang berusaha istiqomah dengan hijrahnya?

Sungguh, hanya kecerdasan dan kesalihan Faisal yang telah menawannya. Secara fisik, lelaki itu biasa saja. Tidak terlalu tampan, tapi juga tidak jelek. Bukankah cinta tidak selalu datang dari ketertarikan fisik?

Nazma telah membuktikannya. Semakin ke sini, ia semakin tahu bahwa Faisal termasuk mahasiswa cerdas. Jika Nazma baru melihatnya belakangan ini, itu karena Faisal memang baru aktif di Rohis.

Dulu ia hanya tercatat sebagai anggota pasif. Tidak sering mengikuti kegiatan-kegiatan Rohis. Ia baru tertarik menjadi anggota aktif, setelah Rohis membentuk KSEI.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, jika ia membiarkan virus ini menggerogoti hatinya di tengah idealismenya mengikuti kegiatan di KSEI?