Kesaksian Aisyah
Tidak seperti Nazma yang gugup, sikap Faisal biasa saja. Ia malah mengajak Nazma berdiskusi lagi mengenai ekonomi syariah, kadang-kadang merembet ke hal lain. Tugas-tugas kuliah dan dosen-dosen di kampus.

“Semester depan, nggak usah beli buku kuliah. Pinjam bekas punya ana saja,” Faisal menawarkan. Itu membuat Nazma semakin bahagia.

Sebagai perempuan, ia dicekam rasa GR yang besar. Ia belum berani berpikiran bahwa Faisal juga punya rasa kepadanya. Oh, tidaaak…. Ia berusaha mengenyahkan pikiran itu. Jalan menuju rumahnya masih jauh.

“Sudah, Mas. Cuma tinggal naik angkot sekali saja, kok.” Nazma memberhentikan angkot yang lewat di depannya.

“Ya sudah. Hati-hati, ya….”

Nazma menaiki angkot, sambil terus menyimpan kalimat terakhir Faisal yang begitu berkesan. Itu hanya kalimat biasa, sebenarnya.

Aisyah pun sering mengucapkan kalimat itu kepadanya ketika mereka akan berpisah. Lalu? Yang berbeda adalah orang yang mengucapkannya. Faisal. Lelaki yang sudah setahun lebih membungakan hatinya.

Bisa mendengar suaramu saja, rasanya seperti hujan sehari di gurun pasir. Apalagi bisa berbincang dan berinteraksi lebih dekat denganmu.

Aku tahu ini tidak benar, dan tidak yakin apakah engkau pun menyadarinya. Mungkin saja engkau menganggap ini biasa saja, karena kau tidak merasakan hal yang sama denganku.

Aku ingin menghindari jerat nafsu ini, tapi pesonamu begitu kuat menancap di dalam hati dan pikirku. Entah apakah ini jalan yang dibukakan oleh Allah, atau sebuah perangkap syetan?

Aku semakin penasaran ingin mengetahui apa yang kaupikirkan mengenai diriku. Benarkah kau tidak memiliki rasa yang sama seperti yang kurasakan?

Engkau terus berputar-putar di sekitarku. Sosokmu semakin dekat dan tak berhenti menggodaku. Meski kutahu kau tak bermaksud begitu, hatiku telah semakin terperosok ke dalam pesonamu. Perhatianmu melambungkan anganku, berharap itu lebih dari sekadar terhadap teman.

Sekuat mungkin kubertahan dari godaanmu, tapi cinta begitu kuat mencengkeramku. Aku ingin lari, dia terus mengejar. Setiap pertemuan semakin membuatku mencintaimu.

Ya Allah… tolong bebaskan aku dari siksaan ini. Aku sungguh ingin menjauhinya, asal Kautahu itu, tapi mengapa dia terus mendekat kepadaku?

Nazma masih setia bersungkur di atas sajadahnya, pada sepertiga malam. Menanyakan rahasia dan skenario Allah yang tengah dilangsungkan terhadapnya. Semakin hari hubungannya dengan Faisal malah semakin dekat, dan ia semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya.

Ia begitu bahagia berada bersama Faisal. Ia tidak bisa melewatkan satu hari pun tanpa berinteraksi dengan Faisal. Jalannya semakin rumit dan berbelit, seakan memasuki sebuah labirin dan tidak bisa meloloskan diri. Ia sudah terperangkap.

***

Wajah Aisyah menampakkan rona tidak percaya mendengar tuduhan para seniornya di Rohis. Untung saja mereka melakukannya secara tertutup, sehingga tidak meluas ke banyak orang. Jika tuduhan itu tidak benar, itu adalah fitnah yang kejam. Jika itu benar, sebagai sahabat, Aisyah merasa kecolongan.

“Bagaimana, Ukhti? Apakah anti tahu soal itu juga?” tanya Winda, senior Rohis yang terkenal sangat ketat dalam pergaulan sesama aktivis Rohis.

Aisyah menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab! Sungguh keterlaluan. Padahal selama ini ia selalu bersama Nazma. Semua orang tahu itu.

Ia adalah sahabat Nazma sejak baru masuk kuliah. Mereka hampir-hampir tidak pernah berpisah sedikit pun selama berada di kampus. Bahkan ketika Nazma sedang ada urusan dengan Faisal….

“Tentu saja mereka sering bertemu. Mereka kan ketua dan sekretaris. Banyak urusan yang harus diselesaikan bersama. Aku sering juga bersama dengan mereka,” jawabnya.

“Kami bukan ingin mengghibah atau memfitnah Ukhti Nazma. Tujuan kami bertanya kepada anti adalah untuk mencari tahu, tabayyun. Anti kan lebih dekat dengan Nazma,” Rahma, rekan Winda, berkata.

Aisyah menundukkan kepala, tidak bisa membalas tatapan mata dua akhwat senior di hadapannya. Keduanya memiliki raut wajah tegas yang hampir mirip.

Pantaslah jika mereka mendapatkan tugas untuk menegur para aktivis rohis yang melampaui batas. Khusus untuk aktivis rohis perempuan. Aisyah memutar balik ingatannya. Ia menyadari satu hal, bahwa sudah lama ia sering tidak bersama dengan Nazma lagi.

Belakangan, Aisyah sibuk dengan bisnis barunya. Menjual gamis dan jilbab muslimah. Ia mengambil barang di Pasar Tanah Abang, lalu menjualnya kepada teman-teman muslimah di kampus. Lumayan bisa menambah uang saku kuliah.

Harga yang ditawarkannya pun tidak berbeda jauh dengan harga di Tanah Abang. Ia hanya mengambil sedikit keuntungan, sehingga teman-temannya banyak yang membeli. Bisnis kecil-kecilannya itu membuatnya jarang bersama-sama dengan Nazma lagi.

Jika ada rapat atau acara KSEI, ia memang bertemu dengan Nazma, tapi interaksi mereka tidak sebanyak dulu. Ia sering pamit lebih dulu dari acara KSEI, karena ingin kulakan ke Tanah Abang.

Di dalam kelas, ia masih sering duduk di dekat Nazma, tapi hanya sampai jam kuliah usai. Lepas kuliah, ia segera menghilang lagi. Nazma pernah memprotes kesibukannya, tapi toh mereka memang tidak bisa bersama-sama terus karena telah memiliki kesibukan yang berbeda.

“Apa yang membuat Teh Winda dan Teh Rahma menuduh Nazma dan Pak Faisal punya hubungan dekat?” akhirnya, Aisyah menanyakan hal itu.

“Jadi, Ukhti belum mengetahuinya juga?” Winda menatap Aisyah, tak percaya. Dua tanda seru muncul di keningnya, menyiratkan keheranan.

“Afwan….” Aisyah mengembuskan napas, tersimpan penyesalan di hatinya.

Lalu, mengalirlah cerita dari mulut Winda dan Rahma mengenai dugaan kedekatan Nazma dan Faisal. Memang benar, keduanya terikat hubungan organisasi, tapi toh tidak harus selalu terlihat bersama-sama.

Mereka sering terlihat bersama di perpustakaan kampus, kantin, bahkan saat menuju stasiun kereta api. Mereka terlihat berbincang dengan akrab, dekat, dan intim. Itu dilakukan tanpa canggung-canggung dan seakan tidak memedulikan puluhan pasang mata yang memandang.

Aisyah mendengarkan seakan tak percaya. Ia juga sering melihat Nazma dan Faisal berbincang akrab, tapi tidak ada prasangka di sana. Mungkin karena ia merasa sudah mengenal Nazma dengan baik. Jika memang ada kecurigaan terhadap sikap mereka, mengapa para senior tidak menegur keduanya?

Oh, rupanya para senior ingin mencari informasi lebih lanjut, itu sebabnya mereka bertanya kepadanya. Mereka tidak ingin menuduh tanpa bukti, meskipun banyak orang menjadi saksi.

Aisyah menggeleng lemah. Ia tidak dapat menguatkan dugaan mereka, karena ia sudah banyak tertinggal informasi mengenai teman dekatnya itu. Ia hanya bisa berharap semua dugaan para senior tidaklah benar.

Akhirnya, Winda dan Rahma hanya berpesan agar Aisyah menutup rapat-rapat mulutnya, sehingga masalah itu tidak tersebar lebih luas. Keputusan selanjutnya ada di tangan para senior.

Bagaimanapun, urusan itu harus segera diselesaikan, karena Faisal dan Nazma bukan orang sembarangan. Di kampus, mereka adalah teladan bagi adik-adik tingkat yang baru masuk Rohis, terlebih KSEI. Amanah dakwah yang mereka emban, menuntut perilaku sopan dan terjaga dari fitnah.

Tidak ada yang mengharapkan di antara keduanya telah terjalin hubungan yang spesial, sebuah hubungan yang terlarang di antara para aktivis dakwah, jika dilakukan di luar pernikahan.

Tetapi, harus ada yang mengingatkan keduanya agar lebih menjaga jarak, sekalipun mereka terikat hubungan organisasi yang kuat.

Aisyah hanya mengharapkan yang terbaik bagi Faisal dan Nazma, karena ia tahu apa yang kelak akan menimpa keduanya. Ia harus memikirkan bagaimana menasihati Nazma dengan baik.

Hari-hari berikutnya, Aisyah menyaksikan sendiri apa yang menjadi prasangka para seniornya, dan mungkin juga para aktivis rohis lain, senior maupun yunior, yang melihat kedekatan dan keakraban Faisal dan Nazma. Bak dua sejoli yang sedang memadu kasih, itulah yang terlihat oleh pandangan matanya, saat menyaksikan kebersamaan Nazma dan Faisal.

Entah apakah keduanya menyadari hal itu. Aisyah pun tidak bisa langsung menghakimi Nazma, karena belum berbicara dari hati ke hati dengan sahabatnya.

Tiba-tiba, ia merasa ada jarak yang teramat jauh antara dirinya dan Nazma. Bukankah mereka sudah lama bersahabat? Cerita apa yang mereka sembunyikan dari diri masing-masing? Hampir tidak ada.

Bahkan, ketika jiwa nakal masih ada di dalam diri mereka (meskipun sudah aktif mengikuti kegiatan rohis), keduanya pernah kompak saling menyontek sewaktu ujian semester. Untunglah, itu hanya terjadi dalam dua semester, selanjutnya mereka benar-benar insyaf.

Sudah tak terhitung Aisyah dan Nazma bergantian menginap di rumah masing-masing. Mereka saling mencurahkan isi hati, berbagi kesedihan dan kegembiraan.

Aisyah begitu ringannya menceritakan kisah jatuh cintanya kepada seorang kakak tingkat, yang bertepuk sebelah tangan. Bukan karena kakak tingkat itu menolaknya, tapi karena Aisyah tahu bahwa percuma saja kakak tingkat itu mengetahui isi hatinya, toh tidak ada yang bisa dilakukan lagi.

Pacaran? Itu tidak ada dalam kamus Aisyah. Menikah? Ia belum siap. Nazma juga pernah menceritakan ketertarikannya kepada seorang dosen, tapi sekali lagi, itu hanya sebuah cerita. Dosen itu sudah menikah dan punya seorang anak.

Namun, kali ini, Aisyah merasa kecolongan. Kesibukannya telah membuat Nazma menjauhinya, bahkan tidak mau bercerita apa-apa soal kedekatannya dengan Faisal. Benarkah kedekatan itu mempunyai arti lebih? Atau, hanya sekadar prasangka dari para senior? Hati Aisyah tersakiti, bila memang Nazma sudah tidak menganggapnya sebagai sahabat, sehingga menyembunyikan rahasia yang begitu penting ini.

Sikapnya menjadi kaku dan mulutnya sukar digerakkan, ketika sudah berhadapan dengan Nazma. Ia ingin menanyakan hal itu kepada Nazma, tapi jarak di antara mereka bagaikan Indonesia dan Australia. Walaupun sebenarnya kulit lengan mereka saling bersentuhan, karena duduk berdampingan pada jam kuliah.

Diperhatikannya wajah Nazma yang berseri-seri, seperti sedang amat bahagia. Sudah berapa lama ekspresi keceriaan itu ada? Apakah itu karena Faisal? Benarkah mereka sedang menjalin hubungan spesial yang amat terlarang di kerohanian Islam?

Benarkah mereka saling mencintai? Jika benar, ke mana saja ia selama ini hingga tak cepat menangkap isyarat itu? Begitu pintarnya Nazma menyembunyikan rahasia itu darinya.

Denyut jantung Aisyah berdetak cepat, hawa panas dan dingin melingkupinya. Seperti sedang berhadapan dengan seekor harimau. Sebuah pertanyaan yang tersimpan di benaknya, tak juga mampu dilontarkan. Ia dan Nazma sudah seperti orang asing.

Berhari-hari, pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam benaknya. Ia selalu ragu setiap kali ingin menanyakannya kepada Nazma. Ia takut tuduhan itu tidak benar, lalu Nazma sakit hati.

Para senior pun terlihat masih dalam taraf memantau. Belum ada panggilan terhadap Nazma dan Faisal, untuk menjelaskan perihal kedekatan mereka.

Tentu saja keduanya tidak akan memproklamirkan hubungan spesial itu, mengakuinya di hadapan banyak orang. Mereka punya tanggung jawab sosial yang besar.

Langit telah berwarna kemerahan, ketika rapat KSEI selesai. Aisyah menatap Nazma yang membereskan berkas-berkasnya dengan gerakan perlahan, lalu menatap Faisal yang telah berdiri dari bangkunya dan menghampiri mereka.

Sejak mengetahui rumor kedekatan mereka, Aisyah selalu merasa tegang setiap kali keduanya saling menyapa. Mengapa ia tidak bisa berkata dengan sindiran? Mengapa ia begitu takut melontarkan pertanyaan itu dengan nada bercanda kepada mereka? Aneh, jika mengingat gaya bicaranya yang terus terang. 

"Sudah selesai, Nazma? Mau pulang bareng lagi, nggak?" tanya Faisal, dengan nada yang jauh lebih akrab daripada saat mereka baru berkenalan pertama kali.

Tentu saja, terhadap Aisyah pun kini Faisal sudah jauh lebih akrab dan sering bercanda. Tidak ada lagi sebutan Akhi, Ukhti, dan sebagainya. 

"Iya, mau salat Ashar dulu." Nazma menjawab, sementara Aisyah masih diam membisu dengan mata yang terus mengamati.

"Oke, aku tunggu di depan masjid ya. Assalamualaikum." Faisal berlalu dari hadapan mereka, dengan langkah bergegas. 

"Yuk, Is." Nazma mengembalikan kesadaran Aisyah yang tengah melayang ke langit ketujuh. "Heeei melamun, yaa," ujarnya, ketika melihat Aisyah masih bergeming. 

"Eh, iya..." Aisyah buru-buru membereskan berkas-berkasnya, berisi pembukuan keuangan KSEI, mengingat ia bertugas sebagai bendahara. 

Sepanjang perjalanan menuju masjid, Aisyah masih tak mengerti. Mengapa Nazma dan Faisal bisa bersikap layaknya dua sejoli? Apakah mereka lupa akan ajaran guru mengaji masing-masing?

Apakah mereka lupa akan peringatan para senior rohis untuk selalu menjaga jarak di antara lelaki dan perempuan? Apakah mereka lupa bahwa Allah menyaksikan? 

"Mau pulang bareng Faisal, Ma?" akhirnya, ada juga kalimat yang keluar dari mulut Aisyah.

"Iya Kan searah." Nazma menjawab dengan ringan, seakan tidak ada yang salah dengan jawabannya. 

Aisyah mengingat lagi ke belakang. Ya, sebenarnya mereka memang sering pulang bersama-sama. Nazma, Aisyah, Faisal, dan Sofyan.

Sejak aktif di KSEI, mereka sering pulang bersama-sama. Bukan karena direncanakan, tapi kebetulan saja bertemu di stasiun dan naik kereta pada jadwal yang sama. Kemudian, perlahan Sofyan tidak lagi sering pulang bersama dengan mereka sejak memiliki kesibukan lain.

Aisyah, Nazma, dan Faisal sering pulang bertiga, tapi tetap masih dalam koridor. Yang Aisyah tidak tahu dan tidak berprasangka ke arah sana, apa yang kemudian dibincangkan oleh Nazma dan Faisal ketika mereka hanya tinggal berdua saja selama perjalanan menuju Jakarta?

Ya, bukankah Nazma dan Faisal turun belakangan? Kemungkinan untuk menjadi lebih dekat, terbuka lebar. Ah! Aisyah tidak pernah memikirkan kemungkinan itu, karena ia tidak pernah berprasangka buruk terhadap Nazma dan Faisal.

Nazma tidak pernah menceritakan sedikit pun kekagumannya kepada Faisal. Sikapnya terhadap Faisal terlihat biasa-biasa saja. Begitu juga dengan Faisal. Atau, memang ada yang luput dari penglihatan Aisyah selama ini? 

Lagi-lagi Aisyah tidak punya alasan untuk menuduh keduanya, karena sejak dulu mereka memang sering pulang bersama-sama kalau kebetulan bertemu. Tetapi, kali ini tidak lagi kebetulan.

Semua direncanakan. Faisal mengajak Nazma pulang bersama, lalu ia akan menunggu Nazma di depan Masjid. Ironis. Masjid menjadi tempat pertemuan dua insan yang belum terikat ijab Kabul. 

Namun, lagi-lagi Aisyah tidak mampu menyuarakan isi hatinya yang ingin bertanya, ada apa di antara keduanya? Ia hanya diam terpaku melihat keakraban mereka di atas kereta yang berjalan lambat dan sering berhenti lama di setiap stasiun.

Maklum, mereka menggunakan KRL Ekonomi, yang untungnya tidak terlalu padat penumpang, karena berangkat dari Bogor menuju Jakarta. Jika sebaliknya, sudah dapat dipastikan mereka tidak dapat berbincang dengan nyaman. 

Aisyah bagaikan kambing yang tak dapat mendengar, hanya diam membisu mendengarkan serunya perbincangan antara Nazma dan Faisal.

Melihat binar mata keduanya yang penuh cahaya. Pipi Nazma yang kemerah-merahan, dan senyum Faisal yang lepas. Ya Allah bukankah itu pertanda ada cinta di antara mereka? 

Kereta berhenti di stasiun tujuan Aisyah. Agak berat kakinya melangkah meninggalkan sepasang sejoli itu. Apa yang akan terjadi sepeninggalannya? Ah, mengapa prasangka begitu hebat menguasainya, sebelum jelas apa yang terjadi sebenarnya?

Bahkan, ketika Aisyah mengucap salam hendak turun lebih dulu, Nazma dan Faisal hanya menjawab selintas lalu. Ingin rasanya Aisyah mendampingi Nazma sampai ke rumahnya, tapi ia sudah terlambat memutuskan, karena kereta sudah berjalan lagi. Tidak lagi terlihat keakraban Nazma dan Faisal yang sudah dibawa laju kereta. 

Ya, Aisyah memang telah melewatkan banyak hal. Ia tidak tahu bahwa Faisal sering mengantar Nazma sampai ke rumahnya. Mampir sejenak, bahkan pernah lama. Berbincang dengan ayah dan ibu Nazma, berakrab-akrab, sampai sudah dikira pacar Nazma.

Tidak ada yang memergoki mereka sampai sejauh itu. Dan pacar? Entahlah. Tidak ada yang tahu apa arti hubungan kedekatan mereka, bahkan mereka sendiri tidak mengetahuinya. Itu masih menjadi rahasia dan tinggal menunggu waktu untuk terkuak. 

***