Perpisahan dan Kehilangan
“Anti adalah panutan bagi adik-adik kita, yunior rohis. Bila mereka melihat anti berpacaran, itu bisa menjadi contoh yang tidak baik untuk mereka. Semua aturan menjadi bias," suara Winda yang lembut, terdengar bagaikan gemuruh ombak di telinga Nazma.

Ia memang sedang dinasihati panjang lebar, nasihat-nasihat yang menyadarkannya dari kekhilafan. Semestinya ia bersyukur, karena telah diselamatkan dari terkaman harimau. Akan tetapi, kalimat selanjutnya membuat dadanya sesak dan ingin menangis kencang. 

“Akhi Faisal telah menyepakati untuk menjauhkan diri dari Ukhti, karena dia belum siap untuk menikahi Ukhti. Maka, sudah semestinya Ukhti juga menjauhkan diri darinya." 

Tubuh Nazma seakan lemah tak berdaya, ketika menyeret kakinya menuju stasiun Bogor. Semua perasaan bercampur aduk. Malu, sedih, menyesal, juga merasa kesal mengapa semua itu harus terjadi kepadanya.

Memang benar ia telah jatuh cinta kepada Faisal, tetapi mengapa ia sampai tergoda jebakan setan? Mengapa ia tidak bisa mengendalikan diri?

Rasanya sudah tak mampu bertemu muka dengan teman-teman rohisnya, semua yang mengetahui hubungan diam-diamnya dengan Faisal. Ah, apakah Faisal pun merasa bahwa hubungan mereka selama ini salah? Atau, jangan-jangan Faisal menganggapnya biasa saja? 

Laju KRL yang cepat, semakin mempercepat sedu sedan Nazma yang tersembunyi di balik jilbabnya. Ia tak mau penumpang lain memperhatikannya curiga. Ia tak bisa menahan tangisnya untuk dilampiaskannya di rumah.

Berpisah dengan Faisal bukanlah hal yang mudah, setelah hubungan akrab yang terjalin selama ini. Beberapa sms terakhir dari Faisal, masih tersimpan di dalam memori hapenya.

Tak kuasa jemarinya untuk menghapus, karena sms-sms itu akan menjadi kenangan. Kelak, tak akan ada lagi sms dari Faisal, dan ia pun tak akan mengirim pesan apa pun kepada lelaki itu. 

Hubungan mereka telah berakhir, hingga takdir menyatukan keduanya kembali.

"Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah memberikanku peringatan, sebelum semuanya terlambat," isak Nazma dari balik jilbabnya, bersama deru angin yang mengiringi laju KRL Ekonomi yang dinaikinya. 

Nazma membiarkan tangisnya menghilang dicengkeram gemuruh kereta api. Ia ingin sesegera mungkin sampai di rumah dan menangis lagi sepuasnya di dalam kamar mungilnya.

Esok hatinya tidak akan lagi dipenuhi oleh bunga-bunga segar dan wangi, sebagaimana yang selalu hadir setiap kali melihat senyum Faisal. Kehangatan yang pasti ada saat bersama dengan Faisal, akan berganti dengan kebekuan, bersamaan dengan mengerasnya hati keduanya. Hubungan mereka kelak akan sedingin es, bersikap seolah tak pernah saling mengenal sebelumnya. 

*** 

Aisyah telah mendengar semuanya. Kasak-kusuk di antara aktivis rohis dan KSEI tak terelakkan. Mereka diam-diam membicarakan soal persidangan Faisal dan Nazma yang sebenarnya berupaya ditutup rapat. Aisyah ikut sedih dengan peristiwa yang menimpa Nazma, tetapi menurutnya itulah yang terbaik.

 Nazma tak menghubunginya sama sekali sejak peristiwan itu dan tidak terlihat di kampus seharian itu. Sepulang dari kampus, Aisyah membiarkan KRL membawanya sampai ke stasiun perhentian Nazma. Ya, Aisyah memang akan menyambangi rumah Nazma. 

"Aku sedih karena kamu tidak pernah menceritakan soal ini kepadaku," ucap Aisyah, setelah keduanya berpelukan dan menangis bersama-sama. Nazma memang tidak berangkat ke kampus, untuk menenangkan diri dahulu.
 
Pukulan itu teramat berat untuknya. Bukan hanya teguran para senior rohis mengenai hubungan diam-diamnya dengan Faisal, melainkan juga rasa malu yang harus ditanggungnya. 

"Aku terlalu malu untuk menceritakan soal itu, lagipula aku juga tidak paham mengenai hubungan itu. Semua berjalan begitu saja." Nazma menjawab dengan masih terisak.
 
"Terkadang kita perlu mendapatkan teguran, untuk mengetahui kesalahan kita." 

"Aku akan berhenti dari KSEI, Ais." 

Aisyah membelalakkan kedua matanya yang besar, terkejut. Tak menyangka sedemikian besar langkah Nazma dalam menyikapi kejadian kemarin. 

"Tapi para senior rohis dan KSEI tidak menyarankan hal itu, bukan?" 

"Memang tidak, tapi bagaimana aku bisa menghilangkan bayangannya jika aku masih menjadi sekretarisnya di KSEI?"
 
"Apa kamu sudah pikirkan ini baik-baik, Ma? Sebentar lagi KSEI mau ada even penting, masa kamu mau mundur?"

"Aku sudah tidak bisa lagi bertemu muka dengan dia, kecuali terpaksa, Ais. Aku sudah sangat malu. Kami tidak pernah menerjemahkan arti hubungan itu dengan kata-kata, lalu tiba-tiba senior rohis dan KSEI menyidang kami, menanyakan apakah kami berpacaran, dan memberikan pilihan-pilihan.

Tentu saja dia tidak memilih untuk menikahiku, karena dia mungkin memang tidak pernah mempunyai perasaan apa pun kepadaku!" Nazma berkata tanpa jeda sedikit pun, dan di setiap pembicaraannya tidak pernah lagi menyebut nama Faisal. Terlalu menyakitkan baginya untuk menyebut nama itu. 

Aisyah tak dapat berkata-kata. Nazma juga lama terdiam. Mereka hanyut dalam sepi dan kecamuk pikiran.

Apa yang diperkirakan Nazma, tidak semuanya benar. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, Faisal mulai menyadari arti kehilangan.

Ya, ia kehilangan Nazma. Sungguh tidak disangka! Selama ini ia tidak menganggap penting kehadiran gadis itu. Baginya, Nazma sama saja dengan muslimah lainnya, aktivis rohis dan KSEI di kampusnya. Kedekatan mereka hanya dalam urusan organisasi, dan sesekali kuliah. 

Faisal mulai merasakan kesepian itu. Rasa sepi yang menghunjam, tatkala mendapati hapenya kosong dari sms-sms Nazma. Juga senyum tipis Nazma yang seketika menghilang dari kampus, entah di mana Nazma berada.

 Sesekali ingin mengetahui keberadaan Nazma, tetapi janji yang telah diucapkan seakan mengikat kakinya. Ia memilih untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak salat sunah dan mengikuti kajian-kajian keagamaan.

Mulutnya menolak menyebut perasaannya terhadap Nazma sebagai cinta, tetapi hatinya berkata sebaliknya. Jangan-jangan selama ini ia memang sudah jatuh cinta kepada Nazma?

Jatuh cinta kepada perhatian dan sikap tulus gadis itu, yang tidak didapatkannya dari orang lain. Rumahnya terlalu sepi untuk mendapatkan perhatian dari seisi rumah. Orang tuanya sibuk bekerja, dan kakaknya hanya seorang. Laki-laki pula. Kakaknya amat jarang berkomunikasi akrab dengannya.

Kuliah di Fakultas Kedokteran membuat sang kakak lebih sibuk dibandingkan dirinya. Terlebih, kakaknya tipe orang yang sangat serius dan tidak suka menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak penting.

Meskipun serumah, Faisal malah teramat jarang bertemu dengan kakaknya. Hari-hari kakaknya banyak dihabiskan di kampus dan di masjid. 

Bahkan, ketika Faisal sakit, hanya Nazma yang setia mendampinginya. Ia tahu, di situlah letak kesalahannya.

Ia menyadari bahwa ia memang telah melampaui batas. Islam telah mengatur pergaulan antara lelaki dan perempuan. Ia mengerti rambu-rambu pergaulan dalam Islam, tetapi seakan melupakannya tatkala bersama dengan Nazma.

Mereka sering berbincang dan bersama-sama, seperti sepasang kekasih. Lupa kiranya bahwa iblis punya banyak cara untuk menjebak manusia. Juga berpasang-pasang mata yang memperhatikan kedekatan mereka.

Meskipun tak pernah ada persentuhan kulit, tetapi jarang yang hanya beberapa sentimeter telah memberikan informasi bahwa di antara keduanya telah terjadi ikatan hati yang kuat.

Faisal merasa malu.
Tetapi juga kehilangan.

Ia bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan salat Duha. Usai salat, ponselnya berbunyi.

Sebuah pesan masuk.

Ukhti Nazma mengundurkan diri dari KSEI.

Faisal tahu betul apa sebabnya. Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia belum siap untuk kehilangan lebih banyak.

Maka, ia meniatkan diri dalam hati, jika kelak sudah siap untuk menikah dan Allah mempertemukannya lagi dengan Nazma, ia akan meminang gadis itu menjadi istrinya.
 
*** 

Wajah cinta yang menyakitkan terpampang di hadapan Nazma dan Faisal. Setelah Nazma mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh ikhwan. Nazma tak peduli dengan kasak-kusuk di belakangnya, usai menghilangnya ia dari seluruh aktivitas KSEI. 

Itulah cinta, apabila belum tepat berada di tempatnya, akan mengacaukan seluruh keteraturan yang tercipta. Termasuk aktivitas dakwah, yang semula berjalan dengan baik, menjadi berantakan.

Nazma memilih untuk fokus di dakwah muslimah, di mana interaksi dengan laki-laki hampir amat jarang terjadi. Ia berusaha untuk menjauhkan diri dari Faisal. 

Apabila melihat Faisal dari jauh, ia akan mengambil jalan lain yang tidak berpapasan dengan lelaki itu. Sungguh menyakitkan. Tidak pernah hilang perasaan itu dari hatinya, meskipun telah jelas bahwa Faisal tidak berminat untuk meminangnya. 

Ya, tentu saja. Sejak awal ia sudah sadar, bahwa hanya ia yang mencintai Faisal. Ia tidak tahu bahwa Faisal memiliki perasaan yang sama, hanya belum mau mengakuinya. 

Faisal geram pada dirinya sendiri yang begitu pengecut dan berusaha membohongi hatinya. Andai saja ia bisa mengambil langkah pemberani seperti yang dilakukan oleh beberapa orang seniornya yang menikah dini, ketika masih kuliah.

Ah, tidak orang tuanya selalu mewanti-wanti agar anak-anaknya menjadi orang yang sukses dulu, lulus kuliah, bekerja, dan berpenghasilan mapan, baru kemudian melamar anak gadis orang. 

Ia berpegang teguh pada sikap yang telah diambilnya, memilih menjauhi dan melenyapkan Nazma dalam hatinya. Menyibukkan diri dengan banyak kegiatan, termasuk menjadi asisten dosen. 

Hingga hampir tidak pernah bersinggungan dengan Nazma, meski perasaan itu tidak pernah hilang dari hatinya. Wajah Nazma masih terpatri dalam benaknya, tersimpan rapi bersama kenangan-kenangan manis yang pernah terjalin. 

Sementara, Nazma diam-diam masih sering menangisi akhir kisahnya dengan Faisal. Berharap kejadian sebaliknya menimpa dirinya. Terkadang begitu mudah membiarkan angannya melambung jauh. 

Membayangkan Faisal memilih pilihan yang lain; meminangnya dan mengesahkan hubungan mereka dalam pernikahan. Akan tetapi, rasa pahitlah yang harus dikecapnya. Sungguh tidak mudah mengenyahkan rasa yang sudah tertelan. 

Rasa cinta yang manis, asam, sekaligus pahit. Ah, sudahlah. Toh, pilihan bukan ada di tangannya. Faisal-lah yang diberikan kesempatan untuk memilih, sementara ia hanya boleh menerima apa pun keputusannya. 

"Saat ini aku hanya dapat hidup bersama dengan kenangan-kenangan itu, tetapi aku berharap semoga kelak semua kenangan itu dapat kembali lagi menemui kita, "harapnya, dalam hati.

Dan, tibalah hari itu ketika semua harapan seakan tertutup. Ketika Faisal diwisuda dan bersiap meninggalkan kampus yang pernah menyatukan hati mereka. Kabar santer terdengar bahwa Faisal akan melanjutkan S2 ke Australia. 

Faisal mendapatkan beasiswa dari sebuah universitas bergengsi di Australia. Lelaki itu hanya akan kembali ke Indonesia apabila kuliahnya telah selesai. 

Nazma seperti melihat impiannya melayang jauh, pergi meninggalkannya begitu saja, seperti Faisal yang tak menatapnya sedikit pun ketika mereka berpapasan di hari wisuda Faisal. 
***