Nazma merasakan perutnya berteriak minta diisi. Setelah mengikuti kuliah sampai jam 12 siang tanpa jeda, plus kajian Ekonomi Islam, ia belum sempat memakan apa-apa.
Aisyah pun demikian. Ditariknya tangan Nazma menuju ke luar kampus. Di pinggir jalan (masih di atas trotoar), berjajar para pedagang makanan beraneka ragam.
“Nazma, aku mau makan ketoprak, ah. Yuk… laper banget, nih….” kata Aisyah, tak menunggu waktu lama untuk mendaratkan tubuhnya di atas kursi yang telah disediakan oleh pedagang ketoprak.
“Iya, aku juga ah. Apa aja-lah, kalo laper mah….” Nazma tak sabar menunggu ketoprak dibuatkan.
“Yang pedes ya, Mang!” Aisyah memesan.
“Iya, samaa!” Nazma tak mau kalah.
Ketoprak pun siap, dan keduanya makan dengan lahap. Masya Allah! Benar-benar pedas. Nazma dan Aisyah langsung meminta es teh manis.
“Mang, cabenya banyak banget, sih? Huaah… huaah….” Aisyah mengipas-ipas mulutnya.
“Tadi katanya minta pedas. Itu cabe rawit semua. Masing-masing lima,” jawab si Mamang, sambil tertawa.
“Masya Allah….!” Aisyah geleng-geleng kepala. Reaksi Nazma juga kurang lebih sama dengan Aisyah, hanya saja ia lebih kalem. Tidak enak diperhatikan dan disenyumi diam-diam oleh pengunjung lain.
Ketoprak, campuran ketupat, tauge, soun, tahu, dan siraman sambal kacang itu memang sedap di lidah. Salah satu makanan lezat yang banyak dijual di Bogor.
Harganya terjangkau oleh kantung mahasiswa menengah ke bawah seperti Nazma dan Aisyah. Kadang-kadang keduanya ingin juga makan di restoran fast food seberang kampus, atau di kafe-kafe yang elit sedikit, tapi lebih baik uangnya untuk memfotokopi materi kuliah daripada buat isi perut yang belum tentu kenyang. Maklum, harga mahal, isi sedikit.
“Ke FO aja,” jawab Aisyah. Maksudnya, Factory Outlet, yang banyak tersebar di Kota Bogor. Bogor memang sedikit mirip Bandung. Toko-toko pakaian menyerupai butik, yang bisa disebut FO, menjamur di sisi jalan raya.
“Duuh… nggak punya uang…..” Nazma menggeleng.
“Yeee… namanya juga jalan-jalan. Ya, liat-liat aja….”
“Mana enak liat-liat? Kalo pengen, gimana? Mending ke toko buku aja, yuk. Bisa numpang baca.”
“Dua-duanya juga boleh. Yuk, ah!”
Aisyah dan Nazma langsung menembus jalan-jalan di Bogor, memasuki beberapa FO yang letaknya berdekatan. Memandangi deretan baju-baju keren dengan harga lumayan, lalu berbalik pergi sambil gigit jari.
Kala perut keroncongan lagi, mereka mampir ke toko roti Unyil, toko roti yang terkenal di Bogor. Sampai-sampai banyak yang membuat duplikatnya. Harganya murah terjangkau, tapi dimakannya sekali lahap.
Ukurannya memang kecil, tidak sampai sekepalan tangan. Topping dan isinya bervariasi, unik-unik dan mengundang selera. Nazma menyukai topping keju, sedangkan Aisyah memilih yang serba cokelat.
“Eh, tadi Pak Faisal pinter banget ya jelasin materinya?” kata Aisyah, sembari mengunyah roti unyilnya.
Nazma tersenyum samar, “Ya, memang dia itu pinter, kan?”
Nazma meminum airnya pelan-pelan. “Enggak, kok…. Kamu tahu dari mana soal itu?” tanyanya.
“Soal apa?”
“Itu… yang mengagumi Pak Faisal….”
“Oooh…. Kamu tahu kan Nelly? Itu lho… aktivis BEM yang alirannya agak-agak kiri? Dia kan pernah ikut beberapa kali kuliah ekonomi Islam. Katanya, dia terkesan sama Pak Faisal. Pinter banget….” Aisyah bercerita tanpa mengindahkan wajah Nazma yang memucat.
Rupanya bukan aku saja yang mengagumi kecerdasannya, batin Nazma.
“Terkesan nggak berarti naksir, kan?” tanya Nazma.
“Ya, nggak tau juga sih. Tapi, naksir selalu diawali dari rasa terkesan….” Aisyah tersenyum. Nazma merasa tersindir.
Sebenarnya ia ingin membagi rahasia hatinya kepada Aisyah, karena perasaannya itu amat menekannya. Andai saja rasa malu tidak membelenggunya…. Syukurlah, ia masih punya rasa malu.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Usai menunaikan salat Ashar di masjid yang dilewati, keduanya bersegera menuju stasiun, berharap ada kereta yang langsung jalan setibanya di sana. Hari yang melelahkan….
Tengah malam, Nazma merasa tubuhnya memanas dan menggigil. Dua keadaan yang bertolak belakang. Susah payah diraihnya selimut dan membungkus tubuhnya rapat-rapat.
Aneh, rasa dingin yang menjalari tubuhnya tidak juga hilang. Ia memegang dahinya sendiri, panas minta ampun. Penyakit apa yang tengah menjangkitinya? Mengapa datang tiba-tiba?
Esok paginya, Nazma tidak bisa bangun dari tempat tidur. Tubuhnya lemas bukan kepalang. Ummi yang khawatir, memberinya obat penurun panas. Hari itu, Nazma tidak bisa berangkat kuliah.
Ia meringkuk saja di dalam kamar, dengan suhu tubuh yang naik turun. Ummi melayaninya dalam segala hal. Syukurlah masih ada ibu. Betapa luas kasih sayang ibu, terlebih saat anaknya sedang sakit. Di tengah pekerjaan rumah tangga yang menggunung, Ummi masih berupaya melayani Nazma sebaik-baiknya.
Ketika rasa sakitnya di ubun-ubun, Nazma tidak dapat menahan tangisnya. Ummi memeluk tubuhnya dan membelai rambutnya. Berusaha menenangkan anak gadis kesayangannya.
Beberapa kali Aisyah melihat ke pintu ruang kelas yang sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi mahasiswa yang masuk ke dalam kelas, sejak dosen mata kuliah Ekonomi Pertanian memasuki kelas.
Sementara dosen itu mengajar dengan membaca buku teks (sampai-sampai Aisyah berpikir, kalau cara mengajarnya seperti itu, dia juga bisa jadi dosen), Aisyah menggerakkan jemarinya di atas ponselnya. Mengirim sms.
Kamu gak kuliah ya, Ma? Kenapa?
Tidak lama, sms telah masuk ke dalam ponsel Nazma. Nazma yang sedang meringkuk di atas tempat tidur, hanya memandangi ponselnya yang berbunyi sms masuk. Ia tidak punya tenaga untuk meraihnya. Ah… ia tahu, pasti Aisyah yang mengirim sms.
Aisyah menunggu, bahkan sampai kuliah Ekonomi Pertanian usai. Belum ada jawaban dari Nazma.
Jantungnya berdebar-debar. Ada apa dengan Nazma? Semoga saja tidak terjadi apa-apa yang membahayakan. Saat jeda kuliah, ia memutuskan untuk menelepon Nazma.
“Nazma lagi sakit, Ais….” jawab ibunda Nazma, di telepon.
“Sakit apa, Mi?” tanya Aisyah, bergegas.
“Panas dingin gitu, deh… Udeh minum obat, tapi belum sembuh. Mungkin kecapean ye… Pan semester eni sibuk banget….”
Aisyah mengembuskan. Duh, kasihan Nazma. Apalagi kemarin mereka super lelah. Mungkin kondisi fisik Nazma sedang tidak fit, jadinya drop.
“Ya udah, Mi. Salam aja buat Nazma. Kalo sempet, nanti dijenguk. Assalamu’alaikum,” Aisyah menutup teleponnya.
Sayangnya, hari itu jadwalnya padat. Ia tidak sempat menjenguk Nazma, karena sampai di rumah pun sudah malam.
Mudah-mudahan saja esok Nazma sudah bisa ke kampus. Aisyah pun tidak kalah letihnya dengan Nazma. Tubuhnya pegal-pegal. Dalam kondisi tidak fit, penyakit apa pun mudah menyerang.
Aisyah bersin. Tuh, kan. Tanda-tanda mau influenza. Kalau hanya flu, mengapa Nazma sampai membolos kuliah? Pasti penyakit Nazma cukup parah.
Padahal, hari ini ada rapat KSEI lagi. KSEI akan mengadakan seminar satu hari. Nazma mendapat tugas sesuai jabatannya, Publikasi Informasi. Jabatan itu hanya diisi oleh tiga orang, yang dua lagi tidak bisa hadir, salah satunya Nazma.
“Publikasi Informasi hanya satu orang yang hadir?” Sofyan mengedarkan pandangan. Aisyah unjuk tangan.
“Sepertinya Nazma sakit, Pak!” serunya.
“Oh ya? Sakit apa? Sejak kapan?”
“Kata ibunya, mungkin kecapaian.”
“Hmm… kalau besok belum masuk kuliah juga, kita jenguk saja, bagaimana?”
“Usul yang bagus. Bukankah sesama muslim bersaudara? Jadi, kalau ada yang sakit, sudah jadi kewajiban kita untuk menjenguk,” Faisal menyahut.
“Oke, kabari saja besok ya, Is. Kalau Nazma belum masuk kuliah juga, kita jenguk bersama-sama.” Sofyan mengarahkan pandangannya kepada Aisyah, tapi hanya sebentar. “Jadi, bagaimana Pub-Info?” ia mengalihkannya kepada satu-satunya anggota Pub-Info yang hadir.
“Kami sudah mempersiapkan brosur, tiket, selebaran-selebaran… yah, sejauh ini baru itu saja. Seperti biasa,” jawab seorang anggota Pub-Info yang hadir itu.
“Oke. Btw, Mading (majalah dinding) yang kalian buat itu menarik dan kreatif,” Sofyan memuji.
“Itu ide Nazma. Dia memang punya bakat jadi redaktur, sepertinya….”
“Bagus, lah. Siapa pun yang punya potensi bagus, harus kita berdayakan. Oke, seksi lainnya, bagaimana?” Sofyan mengedarkan pandangannya lagi.
“Kalau tugas saya, bagaimana, Pak?” Aisyah unjuk tangan lagi.
Sofyan tersenyum, “untuk kedua kalinya, Ukhti memanggil ana dengan sebutan ‘Pak.’ Maaf saja, ana keberatan karena belum menjadi Bapak.”
Ups! Aisyah tercekat. “Bukankah itu memang sudah lazim untuk memanggil aktivis Rohis ikhwan (laki-laki)?”
“Iya, memang. Entah kenapa begitu. Padahal, kalau akhwat (perempuan)-nya dipanggil, ‘Teteh.” Itu kan tidak adil….”
“Ya, saya juga keberatan… Rasanya saya jadi bertahun-tahun lebih tua….” Faisal mengulum senyum. Senyum yang amat jarang terjadi, karena wajahnya superserius.
Seandainya bisa menggaruk kepalanya, Aisyah sangat ingin melakukannya. Sayang, kepalanya tertutup jilbab, jadi agak susah menggaruk kepala.
Seorang akhwat KSEI tertawa, “sebenarnya… itu karena panggilan ‘Aa’ atau ‘Kang’ terdengar terlalu manis, manja, dan romantis, gitu deh…. Bagaimana kalau kita setujui saja untuk memanggil ‘Akhi’ kepada ikhwan-ikhwan di sini?”
Aisyah mengangguk-angguk. Batinnya berkata, ah, begitu saja jadi masalah….
Diam-diam, Faisal menyimpan nama Nazma dalam benaknya, karena hari ini nama itu disebut-sebut terus.
***
Nazma masih terbaring di atas tempat tidurnya. Ia hanya bisa bangun untuk buang air kecil dan besar. Tubuhnya masih lemas, meskipun Ummi sudah memberikan obat-obatan dari dokter plus obat herbal, seperti Habbatussauda, sari kurma, dan madu.
Ternyata pertahanan tubuhnya lemah. Mungkin karena ia sering terlambat makan dan terlalu banyak beraktivitas. Apalagi sekarang sedang musim pancaroba. Orang-orang jadi lebih mudah sakit, termasuk dirinya.
“Ah, KRL memang sarang penyakit….” Nazma menerawang, membayangkan dirinya berdesak-desakan di kereta. Pernah, Nazma melihat seorang lelaki yang mengidap penyakit kulit berdiri di dekatnya. Tubuhnya belang-belang.
Nazma bergidik melihatnya, dan berusaha menjauhi lelaki itu meskipun sulit. Ruangan yang sempit karena banyaknya orang, membuatnya sulit berpindah tempat. Sampai di rumah, Nazma langsung mandi sebersih-bersihnya agar penyakit kulit lelaki itu tidak menular kepadanya.
Terlebih lagi influenza dan segala macam penyakit yang disebabkan oleh virus. Begitu mudah menyebar di dalam ruangan sempit dan sesak itu.
Hanya oleh sentuhan tangan dan udara. Ah, Nazma jadi mual memikirkannya. Ia sudah tertulari oleh siapa, ya? Entahlah. Ia hanya sudah merindukan kampus. Tepatnya, ia merindukan Faisal. Astaghfirullahaladzim… perasaan itu benar-benar sukar dikendalikan.
Ia ingin tidak memikirkan Faisal sehari saja, tapi sulit. Pertemuan terakhir mereka berputar terus di kepalanya. Seperti kepingan DVD yang diputar ulang. Adegan-adegan film yang terlalu bagus, sehingga penonton ingin melihatnya terus.
“Ya Allah… tolong enyahkan dia dari hatiku, jika itu membuatku tidak sehat….” Bibir Nazma bergerak-gerak lirih.
“Ma, yuk makan dulu. Ummi suapin lagi, ye…?” Ummi datang membawakan nampan berisi satu piring bubur ayam dan jus kurma. Orang sakit memang dianjurkan makan bubur ayam, karena mudah dicerna.
“Bibir Nazma pahit, Mi….” Nazma mengeluh.
“Iye, emang begitu orang sakit mah… kagak nape-nape. Ummi suapin, ye… Yuk, bangun dulu….” Ummi membantu Nazma bangun dan menyandarkan anak gadisnya di sandaran ranjang. Ummi mengukur suhu tubuh Nazma.
Ummi tertawa kecil. Nazma gemas. Sejak dulu, Ummi memang sulit dibohongi. Nazma ingat ketika SMP, ia pernah membohongi Ummi bahwa ia sudah melaksanakan salat Zuhur, padahal belum. Eh, Ummi berkata,
“Ati-ati aje ye, Ma. Kalo boong, ntar masuk nerake. Ummi nggak bisa nolongin….”
Nazma jadi takut dan terpaksa mengakui kekhilafannya. Ummi tidak marah, tapi Nazma tidak boleh mengulang kesalahannya lagi.
Ponsel Nazma bordering. Dari Aisyah. Nazma bergegas menerimanya. Sekarang ia sudah bisa menerima telepon.
“Assalamu’alaikum… Ma, hari ini nggak kuliah lagi, ya?” tanya Aisyah.
“Wa’alaikumsalam… enggak, Is. Masih pusing, nih….”
“Kami mau jenguk, nih. Nggak ganggu, kan?”
“Kami, siapa?”
“Anak-anak Rohis.”
“Oh, ya udah kalo kalian ada waktu.”
“Insya Allah, ada. Kan wajib hukumnya jenguk orang sakit, apalagi yang kita kenal dekat….”
Aisyah menutup telepon, setelah mengabarkan perihal rencana kedatangannya bersama kawan-kawan Rohis ke rumah Nazma. Nazma sama sekali tidak berpikir bahwa “kami” yang dimaksud Aisyah itu berarti juga Faisal….
***
“Syafakillah, Ukhti….”
Ah… suara itu membawa Nazma terbang ke langit…. Betapa merdu terdengar di telinganya, meski pancaran mata Faisal biasa saja. Faisal mengucapkannya saat akan berpamitan pulang.
Hanya setengah jam mereka menjenguk Nazma. Mengobrol-ngobrol sebentar mengenai sakit Nazma, tapi selama itu, hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Faisal. Itu pun setelah mereka akan pulang.
Tidak mengapa… itu sudah cukup mengembalikan lima puluh persen energi Nazma. Sepertinya Nazma berangsur membaik, hanya oleh dua kata dari Faisal. Ia sungguh tidak menyangka, Faisal ikut menjenguknya.
Mereka memang satu organisasi dan sering bertemu, tapi interaksi di antara keduanya hampir jarang terjadi. Nazma begitu malu menyapa Faisal, Faisal pun tidak pernah ada keperluan untuk menyapa Nazma. Mereka dekat, tapi seperti jauh.
Nazma jadi ingin segera kembali ke kampus. Bertemu dengan Faisal lagi, meski hanya bisa melihatnya dari jauh. Itu sudah cukup untuk mengobati hatinya yang sedang sakit.
Sekalipun di mata Faisal, ia bukan siapa-siapa. Tidak ada binar yang sama di bulatan cokelat itu. Sikap Faisal pun biasa-biasa saja, karena Nazma belum menjadi seseorang yang spesial untuknya.
Nazma hanya bisa menelan rindunya sendirian. Cinta ternyata tidak semudah yang ia kira. Pikirnya, dahaganya sudah terpuaskan dengan hanya melihat Faisal.
Kini, keinginannya justru bertambah. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk memiliki Faisal, meski itu mungkin hanya mimpi. Tidak mungkin ia menyatakan isi hatinya kepada Faisal. Ia malu pada jilbab dan gamis yang dikenakannya.
Buat apa pula ia menyatakannya, bila akhirnya ditolak? Faisal belum tentu memiliki rasa yang sama dengannya.
Nazma memejamkan mata.
Ya Allah… berikan aku kekuatan untuk menjaga hatiku ini….