Usaha Rohis dan KSEI untuk menggolkan Faisal menjadi Ketua KSEI yang baru telah sukses. Dengan amat mengejutkan, Nelly tersingkir di babak pertama. Kandidat yang tersisa hanya dua orang, Faisal dan seorang lagi dari organisasi liberal. Faisal menang tipis dari hasil perolehan suara, tapi itu sudah cukup membuat para aktivis Rohis sujud syukur. KSEI dapat mereka pertahankan dan tidak jatuh ke tangan orang-orang yang hanya ingin menghancurkannya dari dalam.
Di luar ruangan, Nelly menghampiri Nazma dan Aisyah yang juga baru keluar dari ruang suksesi. Wajah keduanya menampakkan sinar kebahagiaan, karena jagoan mereka berhasil memenangkan pertandingan.
“Aku sudah yakin kalau dia keluar menjadi pemenang….” Kata Nelly, dengan sedikit sinis. “Aku juga tidak berharap untuk menang. Ini bukan tempatku.”
“Lalu, kenapa kamu ikut pemilihan?” tanya Aisyah. Wajahnya juga menampakkan ketidaksenangan, sementara Nazma masih bersikap biasa saja. Baginya yang penting Faisal telah berhasil menjadi Ketua KSEI.
“Hanya ingin coba-coba. Jika menang, aku akan bangga sekali karena berhasil mengalahkan Ketua KSEI kalian yang sekarang.”
Nazma menyadari satu hal. Nelly tidak pernah menyebut nama Faisal. Apakah memang ada kebencian yang terpendam? Nazma tak mau memikirkannya lebih jauh, karena itu hanya menggoreskan kecemburuan yang aneh. Faisal bukan miliknya atau Nelly, mengapa ia harus cemburu.
“Asal kekalahanmu tidak membuat pertemanan kita berakhir, ya? Di kelas, kita tetap solid, kan?” wajah Aisyah mengendur. Toh, mereka sering berada dalam kelompok tugas kuliah. Aisyah dan Nazma juga pernah beberapa kali mengunjungi kos-an Nelly. Mereka sering berbincang-bincang akrab yang tidak ada hubungannya dengan organisasi, meski kadang-kadang Nelly berusaha memasukkan paham kekiriannya. Aisyah dan Nazma biasanya menanggapi dengan pura-pura bodoh dan tidak mengerti. Mendebat Nelly hanya membuang-buang waktu. Nelly sangat pandai berdebat dan tidak mau kalah. Jika ia kalah dalam perdebatan dengan Faisal, itu karena sebuah perasaan yang memang kerapkali dapat membuat seorang yang cerdas, menjadi bodoh. Perasaan… cinta.
“Oke, deh… aku duluan, ya….” Nelly berangsur pergi meninggal kedua gadis itu dalam kebisuan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, terlebih pikiran mereka masih dipenuhi kegembiraan atas kemenangan Faisal.
Tugas baru menunggu. Tak perlu waktu lama untuk bergembira, karena tugas berat menanti. Ini baru tahun kedua KSEI. Jika diibaratkan anak-anak, maka KSEI bisa dikatakan masih kecil dan masih sering terjatuh. Pekan berikutnya, Faisal mengumpulkan para aktivis KSEI terdahulu. Yang senior diangkat menjadi dewan penasihat, sedangkan yang yunior semacam Nazma dan Aisyah, dimasukkan ke dalam pengurus inti. Bahkan, Nazma tidak lagi hanya menjadi penggembira di Divisi Publikasi Informasi, melainkan diangkat menjadi Sekretaris.
“Bagaimana, Ukhti Nazma? Bersedia menjadi Sekretaris?” tanya Faisal dengan memandang Nazma sekilas. Itu sudah cukup membuat jantung Nazma berdebar-debar, tubuhnya menegang dan terasa dingin.
“Ssst… Nazma!” Aisyah menyikut Nazma yang terbengong-bengong.
“Eh… iya!” Nazma berseru cepat.
“Jadi, anti setuju ya? Alhamdulillah….”
“Eh, bukan….” Nazma mengibaskan tangan, “maksud saya… mengapa harus saya?”
“Ini berdasarkan penilaian ana. Selama kepengurusan tahun lalu di Divisi Pub Info, anti terlihat rajin mencatat dan disiplin menghadiri syuro serta kegiatan KSEI lainnya,” Faisal menjelaskan.
Nazma ingin sekali menyembunyikan wajahnya dari pandangan Faisal dan seluruh pengurus KSEI yang hadir dalam rapat pembentukan pengurus hari itu. Pasti wajahnya terlihat merah dan malu-malu. Baru saja Faisal memuji kinerjanya. Itu berarti selama ini Faisal memperhatikannya, meski hanya sebatas tugasnya di KSEI.
“Nazma… terima aja lah…. Kenapa, sih?” Aisyah bertanya dengan berbisik.
Jantungnya masih berdebar kencang. Semoga saja Aisyah tak mendengarnya. Menjadi sekretaris Faisal berarti memungkinkannya untuk sering berdekatan dengan lelaki yang telah mengambil hatinya itu. Hasrat hatinya begitu ingin menyambut tawaran itu. Kerinduannya kepada Faisal kelak tidak perlu lagi ditahan-tahan. Mereka akan punya banyak waktu untuk bertemu. Namun, Nazma menyadari pentingnya menjaga hati dari perangkap setan.
“Saya… saya merasa tidak sanggup,” ujarnya, pelan.
“Mengapa?” Faisal bertanya lagi sambil menatap Nazma, lalu melepaskan kembali pandangannya tanpa arah.
“Saya khawatir tidak dapat menjalankan amanah dengan baik. Tugas sekretaris tentu akan lebih banyak daripada tugas saya di Divisi Pub Info kemarin. Saya takut mengecewakan.”
“Kita semua di sini dalam rangka belajar. Jika boleh memilih, ana juga tidak mau menjadi Ketua KSEI. Ini semua demi dakwah. Anti nanti akan mendapatkan banyak bantuan, termasuk dari Ukhti Aisyah. Anti dan Ukhti Aisyah masih dapat terus bersama-sama, karena Ukhti Aisyah ana angkat menjadi bendahara.” Ucapan Faisal itu menandakan bahwa Nazma tidak dapat menolak.
Nazma hanya tertunduk. Sesungguhnya, tentu saja ia ingin sekali menerima tawaran itu. Ia bahkan berpikir apakah ini jawaban dari Allah atas doa-doanya dalam setiap salat istikharahnya? Apakah ini berarti Faisal adalah jodohnya, sehingga Allah makin mendekatkannya dengan laki-laki itu?
“Ukhti Nazma siap berjihad bersama kami?” Faisal bertanya.
Nazma mengangguk perlahan. Ya Allah, jika memang benar ini jihad, jagalah aku… gumamnya, pelan.
“Kenapa sih tadi kamu sempat menolak tawaran itu? Kan bagus, Ma?” tanya Aisyah, sambil memilih-milih buku di perpustakaan fakultas.
Nazma tidak langsung menjawab, karena pikirannya tidak fokus. Ia masih tidak percaya dengan kejadian di rapat penentuan pengurus tadi. Ia tidak percaya akan bekerja lebih dekat dengan Faisal. Sebagai sekretaris, ia mesti mengikuti Faisal ke mana pun pergi.
“Kenapa bukan ikhwan saja yang jadi sekretaris?” Nazma malah balik bertanya.
“Ikhwan nggak becus diserahi tugas seperti itu,” jawab Aisyah.
“Tapi…”
“Apa kamu takut berdekatan sama Pak Faisal?” pertanyaan Aisyah membuat Nazma gugup.
Nazma berusaha menyembunyikan wajahnya yang pucat. Ia tak mau isi hatinya diketahui oleh Aisyah. Biar hanya Allah saja yang tahu.
“Apa itu nggak berbahaya buat kami?” Nazma bertanya, pelan.
Aisyah tertawa, “Nazma… Nazma… apa menurutmu kalian akan bekerja berdua saja? Kita akan bekerja bersama-sama dengan pengurus lain. Tenang saja….”
Nazma manggut-manggut. Aisyah melirik Nazma. Ia seperti baru saja mendapati sesuatu.
“Jangan-jangan… kamu takut jatuh cinta juga sama Pak Faisal….”
“Eh! Enggak, kok!” Nazma langsung menyambar.
“Wajar aja kok, Ma. Pak Faisal itu kan nyaris sempurna… tapi nggak usah khawatir. Sepertinya sekarang dia berubah banyak sejak dilantik menjadi Ketua KSEI. Dia jadi seperti ikhwan-ikhwan Rohis lainnya…. Sangat menjaga jarak.” Aisyah menenangkan.
“Iya.” Nazma menyadari kebodohannya. Perasaan ini… hanya ia saja yang merasakannya.
Sekalipun Aisyah sudah menenangkannya bahwa tidak mungkin terjadi apa-apa antara bos dan sekretaris, seperti yang biasa terjadi di berbagai perusahaan, Nazma tetap memikirkannya. Ia terus menerus menjadi tak tenang akan jabatan barunya. Benar seperti yang diperkirakan. Pertemuannya dengan Faisal semakin sering terjadi, meskipun tidak hanya berdua. Setidaknya, mereka menjadi lebih akrab dibandingkan setahun lalu saat Nazma hanya menjadi pengurus Divisi Pub Info. Sebagai Sekretaris, Nazma harus selalu hadir di dalam setiap rapat dan pertemuan pengurus inti. Nazma harus mencatat semua ide dan gagasan Faisal untuk KSEI. Nazma menjadi tangan kedua Faisal.
“Assalamu’alaikum…. Ukhti Nazma, proposal yang kemarin sudah difotokopi?” tanya Faisal tiba-tiba, ketika Nazma dan Aisyah sedang membaca mading (majalah dinding) Rohis yang dibuat oleh pengurus Rohis di bawah mereka. KSEI juga punya mading, yang dulu menjadi tugas Nazma.
Nazma menoleh, dan jantungnya langsung berdebar kencang. Jarak antara dirinya dengan Faisal begitu dekat. Ia tak mampu bergerak, untuk sekadar menjauhkan dirinya beberapa sentimeter dari lelaki yang memenuhi kepalanya setahun belakangan. Tak terasa lamanya waktu yang telah dilewatinya untuk mengagumi lelaki itu, dari semula tidak mengenal sama sekali, menjadi sedemikian dekat.
“Eh, iya, Pak….” Nazma menjawab, sebisa mungkin menghilangkan kegugupannya.
“Kok ‘Pak’? Ana kan belum punya anak, menikah saja belum.” Faisal bergurau. Itu kali pertama Faisal berbicara di luar kebiasaannya yang serius dan dingin.
“Iya, Akh. Masih ada di tukang fotokopi. Soalnya banyak yang harus difotokopi. Nanti kalau sudah jadi, saya serahkan ke antum.”
“Oke. Ana tunggu ya. Kalau sudah jadi, sms saja. Lagi baca apa, sih? Serius amat?”
“Majalah dinding-lah. Kan lagi berdiri di depan mading!” Aisyah yang menjawab.
“Oooh…. Ukhti Nazma kalau masih sempat menulis untuk mading KSEI juga diharapkan kontribusinya. Baiklah, assalamu’alaikum….” Faisal meninggalkan kedua gadis itu, dengan langkah panjang-panjang, sesuai dengan tinggi tubuhnya yang menjulang.
Nazma menelan ludah. Kalau sempat? Dengan jabatannya sebagai sekretaris KSEI saja, banyak waktunya yang tersita.
Short Message Service. Salah satu jasa layanan telekomunikasi itu juga menjadi jembatan antara Nazma dan Faisal untuk berinteraksi. Meski hanya sebatas tugas di KSEI, Nazma sudah merasa senang. Sms-sms Faisal tidak pernah dihapusnya. Tersimpan terus di dalam inbox hapenya. Supaya hapenya tidak penuh, sms kiriman orang lain, segera dihapusnya. Nazma bahkan rajin menulis ulang isi sms Faisal, padahal hanya seputar pekerjaan. Betapa cinta telah membuatnya terobsesi. Tidak ada yang salah dengan cinta, sebab cinta datang akan kehendak Yang Kuasa. Toh, Nazma berusaha agar cintanya tetap terkendali.
Lalu, interaksi yang semula masih terjaga, lama-lama melewati batas tanpa disadari. Ya, ketika Nazma terpaksa harus pulang agak malam karena rapat KSEI, sedangkan Aisyah tidak ikut karena suatu kepentingan. Di dalam KRL, Nazma bertemu dengan Faisal yang tadi juga bersamanya di dalam rapat. Seringnya interaksi di antara mereka, membuat percakapan keduanya tidak lagi canggung. Bahkan terkesan akrab. Nazma masih menyimpan perasaan terhadap Faisal, tapi jantungnya sudah dapat dikendalikan. Sikapnya bisa lebih tenang, ketimbang saat pertama kali berhadapan dengan Faisal. KRL di jadwal keberangkatan yang terakhir menuju Jakarta sudah sepi penumpang.
“Nazma… afwan ya… gara-gara rapat KSEI, anti jadi pulang malam.” Faisal duduk di depan Nazma. Untunglah kursi di KRL jaraknya cukup jauh.
“Sudah biasa, kok.” Nazma menjawab, enteng. Memang, sejak sibuk di KSEI, ia sudah biasa naik KRL terakhir. Tapi, itu bersama dengan Aisyah. Kadang-kadang Aisyah mengantarnya sampai ke rumah, lalu menginap di rumahnya, dan mereka berangkat ke kampus lagi keesokan harinya bersama-sama dari rumah Nazma.
“Tapi, anti tetap harus berhati-hati.”
“Insya Allah.”
Dialog mereka kemudian berkembang menjadi materi-materi ekonomi syariah. Faisal memang sangat menguasai topik itu, Nazma pun jadi semakin bersemangat sejak masuk ke dalam pengurus inti. Saking terpesonanya dengan pemaparan Faisal, Nazma lupa untuk menjaga pandangannya. Ah, sebenarnya sudah lama juga ia melewatkan yang satu itu. Terlalu seringnya berinteraksi dengan Faisal membuatnya lalai menjaga pandangannya. Matanya terfokus pada Faisal. Lucunya, Faisal pun demikian. Keduanya berdiskusi layaknya kawan akrab.
Deru kereta listrik, angin malam yang berembus dari kaca jendela yang terbuka, dan suara penumpang lain yang juga asyik mengobrol, tak membuat pembicaraan mereka terpotong. Hingga tanpa sadar Nazma hampir melewatkan tempat pemberhentiannya.
“Eh, Nazma, ini stasiun anti, kan?” Faisal mengingatkan. Ia sudah tidak lagi memanggil Nazma dengan sebutan “Ukhti.” Entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin sejak hubungan mereka menjadi kian akrab. Untung saja bukan hanya kepada Nazma, Faisal bersikap demikian. Faisal juga sering memanggil Aisyah dengan nama kecilnya, “Ais.”
“Iya, benar. Nazma turun dulu, Mas. Assalamu’alaikum.” Dan entah sejak kapan, Nazma telah lupa, ia mengganti sebutan Faisal, dari “Akhi” menjadi “Mas.” Faisal yang asli Jawa Tengah, membuatnya mengakrabi panggilan itu dan menyematkannya kepada Faisal, tanpa ijin terlebih dahulu. Faisal pun tidak protes terhadap panggilan itu. Agaknya, lelaki itu pun menikmatinya.
Nazma cepat-cepat turun dari kereta, sebelum kereta itu berjalan lagi. Stasiun sudah cukup sepi, tapi Nazma sudah terbiasa dengan hal itu.
“Ana antar sampai rumah, ya!” sebuah suara mengejutkan Nazma, terlebih setelah menengok ke belakang dan melihat sang pemilik suara. Faisal!
“Lho, kok?!” Nazma terkejut bukan main.
“Ana selalu cemas setiap kali anti pulang malam-malam sendirian. Hati kecil ana berkata bahwa ana harus mengantar anti sampai ke rumah. Nggak apa-apa, kan?”
Nazma menggigit bibir. Hatinya senang, tentu saja, tapi juga cemas. Bukan cemas diganggu pemuda iseng atau penjahat, tapi oleh lelaki alim, tampan, dan cerdas yang mengikutinya di belakang. Dan ia berbunga-bunga mendengar Faisal mencemaskannya. Ya Allah… bagaimana ini? Sang Pengganggu itu semakin dekat dengannya. Apakah ia sanggup bertahan dari godaan?