Mendung menggelayut di atas langit Bogor, ketika Aisyah menjejakkan kakinya di stasiun Bogor. Sudah sejak dari Jakarta, cuaca tak bersahabat, pertanda akan hujan. Terlebih lagi di Bogor yang curah hujannya tinggi.
Apa daya, jadwal perkuliahan tetap harus dipenuhi. Aisyah merapatkan jaketnya dan sigap mengeluarkan payung yang belakangan ini sering dibawanya ke mana-mana, ketika awan mulai menitikkan air. Memang saat ini sudah musim penghujan, sehingga setiap hari selalu hujan.
Sesampainya di ruang kelas, tak didapatinya Nazma di tempat yang biasa mereka duduki. Di kereta pun mereka tak bertemu. Tak ada sms-sms janji untuk naik kereta jam berapa dan bertemu di gerbong mana, seperti ketika masih di semester awal.
Sebenarnya itu salah Aisyah juga, yang terlalu sibuk dengan bisnisnya. Belakangan, mereka jarang janjian lagi dan hampir tidak pernah bertemu di kereta yang sama. Dan biasanya, Nazma yang lebih dulu sampai di kampus. Tetapi, kali ini?
Aisyah mengeluarkan ponselnya, tergerak untuk mengirim sms kepada Nazma. Ia menyadari untuk mulai mendekatkan diri lagi kepada Nazma, agar kekosongannya tidak ditempati oleh orang lain, terlebih bila orang lain itu lawan jenis. Agak lama juga telepon itu diangkat.
"Assalamualaikum Ma, kamu di mana? Kok belum sampai?" tanya Aisyah, begitu telepon tersambung.
"Waalaikumsalam. Aku nggak kuliah, Is. Ijinin yaa." Nazma menjawab.
Lho, memangnya kenapa?
“Mas Faisal dirawat di rumah sakit, kena DBD." Nazma lalu menyebutkan rumah sakitnya. Aisyah terkejut mendengar cara Nazma memanggil Faisal. Sejak kapan, ataukah memang terlewat olehnya, Nazma memanggil Faisal dengan sebutan, Mas?
Nazma ada di sana, di samping ranjang Faisal, ketika lelaki itu terbaring lemah tak berdaya dengan jarum infus menancap di lengannya. Wajahnya berbintik-bintik merah, pertanda bahwa ia memang terkena DBD.
Nazma langsung berdiri dari duduknya, ketika utusan-utusan dari KSEI dan Rohis datang menjenguk. Ada Aisyah juga, yang memandang tak senang ke arah Nazma.
Susah payah Aisyah menyingkirkan wajah tak enaknya dari hadapan Nazma. Ia begitu terkejut melihat Nazma mendampingi Faisal di dalam kamar VIP, berdua saja.
Orang tua Pak Faisal sedang pulang dulu ke rumah mereka, jadi saya menggantikan sementara, Nazma menjelaskan alasan keberadaannya. Aisyah memicingkan mata. Lihatlah, di hadapan utusan Rohis dan KSEI, Nazma mengubah panggilan Mas-nya menjadi Pak.
Para utusan Rohis dan KSEI yang sebenarnya sudah mendengar kasak-kusuk kedekatan hubungan antara Nazma dan Faisal, juga berusaha menyembunyikan wajah tidak senang mereka.
Bagaimanapun, aneh rasanya aktivis dakwah kampus terlihat berdua saja di dalam kamar pribadi. Ya, kamar VIP yang dipilih oleh Faisal, hanya khusus satu pasien. Maklum, orang tua Faisal cukup berada.
Meskipun demikian, Faisal tetap berlaku sederhana ketika di kampus. Terbukti, ia menggunakan KRL Ekonomi untuk pulang-pergi. Selain karena jarak tempuh juga lebih cepat dibandingkan menggunakan mobil pribadi miliknya yang tersimpan rapi di garasi.
Faisal dirawat di rumah sakit selama seminggu, dan selama itu pula Nazma sering bolak-balik ke rumah sakit.
Hal itu pun telah diketahui oleh para aktivis KSEI dan Rohis, tapi mereka belum bertindak apa-apa, mengingat kondisi Faisal yang masih terbaring lemah. Aisyah bahkan pernah melihat dengan mata kepala sendiri, ketika Nazma menyuapi makanan ke mulut Faisal.
Ia tak jadi masuk ke dalam ruang perawatan karena tidak enak hati. Tubuhnya mendadak panas dan matanya basah. Pemandangan itu amat mengusiknya. Idealismenya. Dua orang aktivis dakwah, berpacaran?
Entahlah. Benarkah mereka berpacaran? Belum ada yang mengetahuinya dengan pasti. Tetapi, adegan itu Aisyah menggelengkan kepala. Ia tak jadi masuk ke kamar perawatan Faisal dan langsung melarikan kakinya cepat-cepat. Ini tidak boleh dibiarkan. Mereka harus ditegur.
Tidak apalah bila itu kelak mengorbankan persahabatannya dengan Nazma. Nazma sedang berada di tepian jurang, masa ia diam saja? Bukankah ia sahabat Nazma sejak mereka baru menginjakkan kaki di kampus hijau?
Dua minggu kemudian. Kondisi Faisal sudah lumayan bugar, siap menyambut tugas-tugas yang terlupakan untuk sementara. Sebenarnya tidak juga. Ia sudah mendelegasikannya kepada wakil KSEI dan Sekretaris. Terutama Nazma, sangat dapat diandalkan.
Setiap hari Nazma bahkan datang membesuknya, sambil melaporkan perkembangan KSEI yang sedang mempersiapkan kuliah formal ekonomi syariah, untuk satu bulan ke depan.
Faisal tidak tahu kapan dan di mana ia terkena DBD. Sepulang dari rumah Nazma, ia merasa badan lemas dan kepala sangat pusing. Esok harinya, penyakitnya bertambah parah. Suhu badannya naik turun. Semua ia tidak mau dibawa ke rumah sakit, tapi Ibu memaksa.
Di rumah sakit, Dokter menyatakan bahwa ia kemungkinan terkena Thypus atau DBD dan harus cek darah. Hasil cek darah belum keluar, bintik-bintik di wajah dan lengannya sudah muncul, menandakan bahwa ia terkena DBD. Syukurlah, ia cepat ke dokter sebelum fatal. DBD sudah banyak menelan korban jiwa.
Orang tua Faisal tidak dapat terus menerus menunggui di rumah sakit. Untuk hari-hari pertama ketika tubuhnya masih sangat lemas, Faisal membutuhkan bantuan orang lain untuk makan dan minum. Suster jaga tidak bisa sering-sering membantunya.
Ibu Faisal juga tidak selalu ada, karena harus bekerja. Kedua orang tua Faisal sangat sibuk. Ibu Faisal seorang wanita karier. Faisal hanya punya seorang kakak laki-laki yang juga sibuk. Keluarga Faisal agaknya tak begitu mengkhawatirkan Faisal.
Mereka mempercayakan perawatan Faisal sepenuhnya kepada rumah sakit, sementara mereka kembali ke aktivitas masing-masing. Toh, mereka sudah membayar mahal untuk kamar dan perawatan VIP. Paling-paling mereka baru bisa menjenguk saat sudah malam, dan saat itu Nazma sudah pulang.
Nazma belum pernah bertemu dengan satu pun anggota keluarga Faisal. Satu-satunya orang yang setia mendampingi Faisal adalah Nazma. Nazma bahkan rela bolos kuliah demi menemani Faisal.
“Assalamu’alaikum, Akhi. Gimana kabar antum?” tanya Jamal, saat kaki Faisal menginjak teras masjid. Pagi ini ada kajian di masjid, kajian pertama yang Faisal ikuti semenjak libur dari kuliah.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, sudah baikan.” Faisal menyambut uluran tangan Jamal. Persaudaraan islam di antara mereka begitu terasa ketika Jamal merangkul bahu Faisal.
“Selepas kajian, ane tunggu antum di ruang sekretariat rohis. Antum bisa, kan?” tanya petinggi rohis bertubuh kurus itu.
“Insya Allah. Kuliah ane masih lama.”
Jamal mengangguk-angguk. Faisal menangkap sesuatu yang berbeda dari wajah Jamal. Ia lupa menanyakan untuk apa dipanggil ke ruang sekretariat rohis. Langkahnya begitu ringan memasuki ruangan itu. Ruangan kecil di samping musala FE. Pintu ruangan itu tertutup.
Di depannya ada beberapa pasang sepatu, yang menandakan ruangan itu telah dimasuki oleh beberapa orang pengurus rohis. Sembari membuka pintu, Faisal mengucap salam. Jawaban salam terdengar dari dalam.
Wajah Jamal dan beberapa pengurus rohis menatapnya tanpa berkedip. Terlihat serius. Sungguh tidak biasanya. Jika mereka terlihat serius ketika sedang rapat, itu wajar.
Tetapi, di saat-saat biasa, mereka tak ubahnya mahasiswa lain yang gemar tertawa dan bercanda. Hanya sedikit lebih santun dan terjaga. Jamal langsung berdiri menyambut Faisal. Digamitnya lengan Faisal untuk mendekat.
“Mari sini, Akh Faisal,” ucapnya, lembut. Faisal merasa tidak enak hati. Agaknya pertemuan ini amat serius.
“Kita masih menunggu dua orang akhi lagi,” kata Ikhsan, pengurus rohis yang lain. Ada tiga orang di dalam ruangan yang sempit itu. Mereka duduk lesehan di atas karpet hijau yang dipinjam dari musala.
“Kalau boleh tahu, ada apa ane dipanggil ke sini? Kok kayaknya serius?” Faisal sudah tidak sabar ingin menghilangkan rasa penasarannya. Semua yang hadir saling bertatapan, tetapi tidak ada yang berani menatap Faisal.
“Sabar. Kita tunggu saja kedatangan mereka,” kata Jamal, sambil berdehem.
Belum sempat Faisal bertanya lagi, “mereka” yang ditunggu itu datang. Faisal ternganga. Dua orang mantan aktivis rohis yang telah lulus kuliah setahun lalu! Faisal mengenal betul mantan kakak tingkatnya itu. Mantan pengurus rohis yang sangat disegani.
Sesungguhnya hubungan antara sepasang manusia yang bukan mahram di dalam agama Islam itu diatur oleh rambu-rambu pergaulan islami. Sudah jelas aturannya seperti yang termaktub di dalam ayat suci Al Quran, “dan janganlah kamu mendekati zina….”
Rasulullah pun menjabarkan dalam ucapannya yang mulia, bahwa zina terbagi dalam beberapa kategori; mata, tangan, kaki, mulut, hati, dan kemaluan. Seseorang akan dikatakan “mendekati zina,” apabila telah berzina dengan mata, tangan, kaki, mulut, dan hatinya. Tetapi, baru dikatakan berzina yang sebenar-benarnya jika telah mengotori kemaluannya.
Aktivis rohis atau aktivis dakwah kampus adalah teladan bagi para mahasiswa lain, sebab lebih banyak mendalami agama. Agama tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga diamalkan. Segala yang dilakukan oleh aktivis rohis, menjadi perhatian mahasiswa lain. Termasuk dalam pergaulan.
Banyak yang telah mengetahui bahwa aktivis rohis sangat menjaga pergaulannya. Jangankan memiliki kekasih atau pacar, sekadar berduaan dengan lawan jenis pun sudah menjadi bahan pembicaraan.
Maka, alangkah mengherankannya bila ada sepasang aktivis rohis yang bukan mahram, berhubungan dekat layaknya sepasang kekasih. Terlebih bila keduanya sedang mengemban amanah dakwah yang berat, ketua dan sekretaris sebuah organisasi Islam bergengsi di kampus Fakultas Ekonomi.
Faisal tertunduk dalam, ketika semua fakta itu dijabarkan di hadapannya. Semua yang luput dari pikirannya. Entah ke mana ia tempatkan otak dan hatinya selama ini. Hingga tak menyadari bahwa hubungannya dengan Nazma sedang menjadi bahan gunjingan.
Sebuah hubungan yang tak pernah diniatkan untuk melanggar perintah Allah. Hubungan itu berjalan begitu saja, mengalir bagai air di sungai yang tak berbatu. Belum pernah ada orang yang menegurnya, apabila melihat kedekatannya dengan Nazma yang sudah melampaui batas toleransi aktivis rohis.
Mungkin mereka masih mengumpulkan keberanian dan bukti-bukti. Juga menunggu kesiapan sepasang “sejoli” itu untuk menerima sebuah nasihat.
Faisal memutarbalik ingatannya, saat-saat ketika ia begitu dekat dengan Nazma. Dipejamkannya mata, tatkala menyadari betapa jauhnya mereka melampaui batas. Ia sering mengantar Nazma sampai ke rumah, dengan alasan khawatir akan keselamatan Nazma apabila pulang sendiri malam-malam.
Mereka juga sering bersama-sama di kampus, dengan alasan ada urusan organisasi. Lalu, telepon-telepon dan sms yang tak mengenal waktu dan terkesan dibuat-buat. Faisal pun tak mengelak, jika hubungan itu membuat hatinya lebih terisi dan bahagia. Entah dengan Nazma.
Dan yang terakhir adalah saat ia dirawat di rumah sakit. Nazma hampir seharian menungguinya di rumah sakit, bahkan menyuapinya makan! Ia seperti dibutakan oleh sesuatu, tak mampu menolak semua perhatian gadis itu.
Apakah itu cinta? Apakah itu cinta, Akhi Faisal? Faisal tak mampu menjawab. Air mata merembesi kelopak matanya yang besar dan tertutup, karena malu menatap wajah saudara-saudara seiman yang menatapnya lekat-lekat. Jika bukan karena cinta, lalu apa yang membuatnya berani menerjang pintu fitnah?
“Kita semua sadar, bahwa usia kita sudah memasuki usia untuk menikah. Wajar, apabila ketertarikan kepada lawan jenis semakin menguat. Wajar, jika kita sudah sangat butuh diperhatikan oleh seorang muslimah. Maka, alangkah baiknya jika kita berani mengambil konsekuensi dari jatuh cinta.
Sebab, seperti namanya, jatuh itu sakit. Jatuh cinta pun sama sakitnya dengan jatuh biasa.” Ustaz Ridwan berkata dengan intonasi suaranya yang lembut, bagaikan angin sepoi-sepoi. Bersyukurlah Faisal dihadapkan oleh Ustaz yang seperti Ali bin Abi Thalib itu, dan bukannya seperti Umar bin Khattab.
“Jika antum bukan ketua KSEI, bukan anggota rohis, dan tidak mengetahui aturan pergaulan dalam Islam, mungkin masih bisa diterima apa yang telah antum lakukan dengan Ukhti Nazma. Sekarang keputusannya terserah antum. Antum sudah tahu, bukan? Apa konsekuensinya bagi aktivis rohis yang menjalin hubungan dengan lawan jenis di luar pernikahan?” Ustaz Ridwan meneruskan ucapannya.
Berat sekali bagi Faisal untuk menganggukkan kepalanya, meski tak urung dianggukkannya juga.
“Antum pilih mana? Menikahi Ukhti Nazma atau memutuskan hubungan dengan Ukhti Nazma?”
Pertanyaan Ustaz Ridwan membuat dada Faisal bergemuruh. Menikah? Memutuskan hubungan? Hubungan apa? Sungguh, di antara dia dan Nazma tidak ada hubungan yang kerap disebut “pacaran.” Mereka memang dekat, tapi….
Pernikahan dini bukanlah sesuatu yang menjadi tujuan Faisal. Benar, ia juga ingin menikah seperti orang lain, tapi bukan sekarang. Orang tuanya tidak akan merestui. Di dalam keluarga mereka, tidak ada yang menikah jika masih duduk di bangku kuliah strata satu.
Bahkan, bapaknya mensyaratkannya baru boleh menikah jika sudah mampu membeli rumah dan mobil. Memang, terkesan materialistis, tetapi maksudnya untuk menyemangati anak-anaknya agar secepat mungkin menyelesaikan kuliah dan sukses dalam pekerjaan.
“Ane memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Ukhti Nazma….”
Akhirnya, setelah lama tertahan, Faisal dapat mengungkapkan isi hatinya juga.
Lima orang yang hadir di dalam majelis itu, saling berpandangan. Jika tidak ada hubungan apa pun, mengapa interaksi di antara mereka begitu dekat?
“Ane minta maaf jika telah mencoreng nama baik rohis. Ane sungguh-sungguh tidak menyadari hal itu. Ane akan memperbaiki semua itu, jika masih diijinkan untuk mengemban amanah sebagai Ketua KSEI.” Faisal meneruskan ucapannya.
“Lalu, Ukhti Nazma?” Ustaz Ridwan bertanya.
“Ane akan menjaga jarak dengannya, karena ane belum siap menikah.”
Ruangan hening seketika. Semua tidak menyangka dengan ucapan Faisal yang terkesan ringan. Tidak biasanya orang yang sedang jatuh cinta, dapat memutuskan dengan begitu mudah.
“Antum dapat mempertanggungjawabkan hal itu?” Ustaz Ridwan menatap Faisal, dalam. Faisal membalas tatapan itu sebagai tanda bahwa ia serius dengan kata-katanya.
“Insya Allah. Ane akan sekuat mungkin menjaga jarak dengan Ukhti Nazma.”
Bagaikan diserang oleh terpaan angin dingin, Nazma merasa tubuhnya mengggigil seketika. Ucapan para akhwat senior di rohis tadi membuatnya membeku, tak sanggup berkata-kata. Mereka sedang menyidangnya! Ibarat seorang terdakwa di kursi pesakitan, itulah gambaran dirinya saat ini.
Persidangan anggota rohis yang bermasalah selama ini bagaikan hantu yang menakutkan di benak setiap anggota rohis. Hanya akhwat rohis senior yang mengetahuinya dengan pasti, itu pun tidak banyak.
Tentu saja, seperti organisasi lainnya, setiap anggota terikat pada peraturan, dan akan ada sanksi bagi yang melanggar. Entah di mana otaknya selama ini, hingga tak memikirkan konsekuensi dari hubungan dekatnya dengan Faisal.
Semua berjalan begitu saja…. Seperti air yang mengalir di sungai yang tak berbatu….
Nazma memutarbalik ingatannya. Aah… semestinya dulu ia bisa lebih tegas kepada Faisal, ketika lelaki itu menawarkan diri untuk mengantarkannya sampai ke rumah. Tetapi, arus cinta begitu kuat menariknya, tak ingin menolaknya sedikit pun.
Lalu, ia membiarkan semua berjalan seperti yang dikehendakinya juga. Meski tak pernah ada kata cinta terlontar… meski hubungan mereka tak terdefinisikan….
Nazma menikmatinya, entah Faisal. Ia melihat binar mata Faisal, setiap kali mereka bertatapan. Ia tak mau mengira-ngira, hanya ingin menunggu saja sambil menikmati semua yang telah terjadi. Dan nasihat akhwat senior terus memenuhi gendang telinganya.