Terancam
“Bagaimana bisa dikatakan tidak adil? Sebelum kedatangan Islam, perempuan adalah makhluk yang tidak ada harganya. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan diinjak-injak.

Mereka dihina dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu birahi kaum lelaki. Bahkan, seorang istri dapat diwariskan kepada anak laki-lakinya.

Seorang suami boleh memiliki sebanyak mungkin istri. Namun, setelah diutusnya Rasulullah, dengan syariatnya, Allah mengangkat derajat kaum perempuan, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi, dan Allah memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah kewanitaan mereka.”

Suasana makin memanas. Hujan interupsi kembali terjadi. Nazma dan Aisyah hanya berpandangan.

Baru sekali ini mereka mengikuti acara suksesi yang begitu panas. Kabarnya, para anggota dewan yang duduk di DPR pun hampir mirip seperti ini kalau sedang mengadakan sidang paripurna.

Berjam-jam waktu dihabiskan hanya untuk membahas satu poin, yang ujung-ujungnya diputuskan melalui voting. Rasanya semua orang di ruangan itu hanya ingin berdebat. Tidak ada yang mau menerima pendapat orang lain. Semua bertahan pada pendapatnya masing-masing.

“Baiklah, Akh Jakfar. Uraian antum itu benar semua. Bahkan ane nggak bisa menyela sedikit pun, karena pemahaman ane jauh di bawah antum. Tapi, afwan, kita nggak bisa langsung menerapkannya di sini.

Selain itu, tidak semua orang di sini sama tingkat pemahamannya dengan antum, juga karena sejak awal konsep KSEI lebih umum daripada Rohis.

Bagaimana jika kita berikan saja kesempatan kepada Ukhti Nelly untuk membuktikan ketangguhannya di dalam pemilihan Ketua KSEI ini? Ane setuju jika poin gender itu dihapuskan. Perempuan boleh menjadi Ketua KSEI.” Jamal menenangkan.

“Ya, selain itu, di sini tidak semuanya muslim. Termasuk saya.” Richard memandang Jakfar, sinis. Jakfar tersenyum kalem. Ia hanya ingin menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya.

Keadaan menjadi sedikit tenang. Toh, akhirnya, kualitas Nelly diuji melalui debat calon Ketua KSEI.

Setiap calon Ketua KSEI memaparkan visi misinya. Hari sudah sore menjelang malam, ketika satu per satu calon ketua maju ke podium.

Nazma sudah merasa mengantuk dan letih. Ia membayangkan perjalanan pulang naik KRL di malam hari saat tubuhnya telah dicengkeram kelelahan. Sebenarnya ia kurang suka dengan acara itu. Ia hanya ingin memilih Faisal, lalu selesai. Baginya tidak penting dengan semua poin yang diperdebatkan, toh kriteria calon ketua KSEI sudah dimiliki oleh Faisal. Cukup Faisal.

Aneh, begitu Nelly maju ke podium, ia seperti singa betina yang kehilangan aumannya. Tidak seperti saat sidang, begitu berdiri di podium, Nelly tidak terlihat berapi-api.

Nelly memaparkan visi dan misinya yang kurang lebih ingin membuat KSEI lebih universal dan diterima oleh semua mahasiswa, tanpa memandang agama, suku, dan ras.

“Bukankah Ekonomi Islam adalah solusi dari krisis moneter? Sedangkan kita tahu krisis moneter tidak hanya dialami oleh penduduk muslim, tapi juga nonmuslim.

Saya ingin membuat Ekonomi Islam dapat diterima oleh kalangan mana pun. Cukup kita ambil prinsip-prinsip ekonominya, tanpa embel-embel “Islam.” Barangkali ke depannya kita tentukan nama yang paling pas untuk Ekonomi Islam…. Toh, tidak ada yang namanya ekonomi Kristen atau Budha….”

Sudah tentu pemaparan Nelly mendapatkan banyak serbuan, tapi kegarangan Nelly mulai menciut setelah ternyata ia tidak dapat menjawab semua pertanyaan yang muncul. Ia seperti tidak begitu menguasai konsep-konsep Ekonomi Islam.

Memang, baginya, Islam hanyalah ritual. Tidak benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, pemikirannya sudah teracuni oleh ide Karl Marx dan Hegel.

“Ekonomi Islam itu nama lainnya adalah Ekonomi Syariah. Mau dicarikan nama apa lagi? Tetap saja tidak lepas dari faktor-faktor pendukungnya, Al Quran dan Hadis. Ekonomi Islam bertujuan mengembalikan fungsi uang sebagaimana aslinya, yaitu sebagai alat pertukaran.

Sementara kaum kapitalis telah menjadikan uang sebagai alat spekulasi, menumbuhsuburkan riba, sehingga terjadilah krisis moneter. Semua itu tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Bahwa, Allah memperbolehkan jual beli, tapi melarang riba.”

Itu suara Faisal, yang membuat debar jantung Nazma tak karuan. Seperti biasa, Faisal bersuara tenang, tetapi tegas dan mantap. Tidak berapi-api dan emosional, tetapi mengenai hati.

“Jika selama ini kita bisa menerima konsep ekonomi konvensional, mengapa kita tidak bisa menerima ekonomi Islam? Mengapa tidak ada ekonomi Kristen? Karena sistem ekonomi konvensional itu juga bukan punya agama Kristen.

Di dalam agama Kristen dan Katolik pun diharamkan bunga atau riba. Sedangkan, ilmu ekonomi yang sedang kita pelajari ini, bersumber dari Al Quran dan Hadis, yang jelas-jelas pegangan umat Islam. Lalu, mengapa kita malu untuk menyebutnya sebagai sistem ekonomi Islam?”

Ucapan Faisal itu sudah tentu ditujukan untuk Nelly, meskipun lawan politiknya bukan hanya Nelly.

“Oooh… saya bukan kapitalis kok. Saya juga tidak setuju dengan sistem kapitalis. Saya penganut sistem ekonomi Sosialis, dan saya merasa bahwa Sosialis lebih dekat dengan Syariah. Ekonomi konvensional yang kita kenal sekarang ini lebih dekat dengan kapitalis. ” Nell menjawab.

“Baiklah. Mari kita sebut itu ekonomi Syariah.” Faisal berkata kepada Nelly, tapi tatapan matanya tidak mengarah kepada gadis itu.

Nelly terlihat mengerucut di bangkunya. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Faisal, tapi sikap duduknya sudah tidak lagi tegak. Ia hanya memandangi Faisal, dengan tangan kanan berada di depan bibirnya.

Ketika forum tanya jawab dibuka, Nelly beberapa kali melontarkan pertanyaan kepada Faisal, tapi selalu dapat dijawab dengan mudah. Nelly merasa kalah. Bukan oleh jawaban Faisal, melainkan lebih karena sikap Faisal yang sangat dingin.

“Hmmm…. Dia memang cocok menjadi Ketua KSEI. Dia sangat cerdas, tapi aku tidak suka dengan sikapnya. Dia sombong!” begitu kata Nelly, ketika acara di hari pertama itu selesai. Besok, baru pemilihan yang sesungguhnya.

Nazma dan Aisyah, yang menjadi tempat Nelly melontarkan uneg-unegnya, hanya saling berpandangan. Mereka memang satu angkatan dan satu kelas. Mereka bahkan sering berbincang-bincang, meski tidak pernah menyentuh ranah organisasi dan idealisme, karena berbeda 180 derajat. Tapi, di acara ini, mereka bagaikan terpisah jauh.

Melihat Nazma dan Aisyah tak bereaksi, Nelly pun meninggalkan keduanya dengan wajah masih menampakkan raut kekesalan.

Sepeninggalannya, barulah Nazma dan Aisyah berbicara. Di benak mereka, kekesalan Nelly hanya karena idealisme yang berbeda.

Padahal, bukan hanya itu. Nelly menyimpan sebuah cinta untuk Faisal. Berharap Faisal mau memandangnya sedikit saja, ketika ia menghujani lelaki itu dengan pertanyaan-pertanyaan.

Namun, pandangan Faisal kosong. Faisal seperti tidak menganggapnya. Itulah yang ia maksud dengan, sombong!

“Kita memang dekat dengan Nelly kalau di kelas, tapi kalau urusan organisasi… kita tetap harus ikuti hati nurani, kan?” tanya Nazma, sambil berjalan menuju stasiun yang mulai sepi.

Waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Syukurlah, Nazma punya teman pulang, meski tempat perhentian mereka berbeda.

“Sepertinya….” Aisyah mengerutkan kening, “sepertinya aku melihat ada yang beda dari kata-kata Nelly.”

“Maksudmu?”

“Hmm… sepertinya Nelly menyukai Pak Faisal…. Aku semakin yakin itu.”

Mulut Nazma membuka tanpa disadari. Ucapan itu menyentak jantungnya. Ia terus terbayangi oleh dugaan Aisyah yang dilontarkan kepadanya, bahkan sampai mereka duduk di kursi KRL yang keras.

Sepanjang sidang, rupanya Aisyah terus mengamati Nelly. Melihat pandangan mata Nelly yang tak lepas dari sosok Faisal. Kata-kata kekesalan Nelly, sesungguhnya diselipi pujian dan kekagumannya terhadap Faisal.

Tiba-tiba, Nazma menjadi takut. Nazma takut jika benar Nelly menyukai Faisal dan berniat menaklukkan laki-laki itu. Memang, Faisal aktivis Rohis juga.

Mungkin tidak tertarik kepada Nelly, yang jangankan aktivis Rohis, berjilbab pun tidak. Satu lagi, ideologi Nelly yang kekiri-kirian, sudah cukup memberikan batasan. Tapi, Nelly punya banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh perempuan lain.

Bukan kelebihan fisik. Secara penampilan, Nelly lumayan menarik, meskipun tidak bisa dikatakan cantik. Yang mengagumkan adalah prestasi akademis dan organisasinya.

Ah! Nazma bersigera melenyapkan kemungkinan itu. Tidak mungkin Faisal mau menerima Nelly dan menjalin hubungan cinta di luar pernikahan.

Duuh… ke mana akal sehatnya? Rupanya akalnya sudah dikuasai oleh perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya. Terlebih lagi, ia mencemburui laki-laki yang juga bukan miliknya. Astaghfirullahaladzim….

Nazma melampiaskan uneg-uneg di dalam tahajudnya. Meskipun berat, ia mengusahakan bangun di sepertiga malam. Tubuhnya telah seharian diforsir mengikuti acara suksesi KSEI yang padat dan melelahkan, tetapi tahajud adalah obatnya bagi hati yang sedang tercemari.

Ia nyaris tidak pernah melewatkan tahajud, sejak mengaji pada Mbak Saskia. Mulanya memang berat untuk konsisten bangun malam, lama-lama terbiasa. Godaan-godaan untuk tidak menunaikan tahajud, masih kerap menghampiri. Ia berusaha mengenyahkan, karena ingin mendapatkan posisi yang tertinggi di sisi Allah.

“Dan aku juga tidak ingin hatiku terus menerus memikirkan dia, ya Allah….” Ucap Nazma, dalam doa malamnya.

Dia yang terus membayanginya….

Menyapanya dalam mimpi…..

Menyentuhnya dalam angan….

Mendatanginya kala lengah….

Nazma melanjutkan tahajudnya dengan istikharah. Mengumandangkan sebaris doa yang berharap didengar oleh Sang Penguasa Hati….

“Ya Allah… jika dia memang baik untukku, maka dekatkanlah…. Jika tidak, maka jauhkanlah….”

***
Usaha Rohis dan KSEI untuk menggolkan Faisal menjadi Ketua KSEI yang baru telah sukses. Dengan amat mengejutkan, Nelly tersingkir di babak pertama. Kandidat yang tersisa hanya dua orang, Faisal dan seorang lagi dari organisasi liberal.

Faisal menang tipis dari hasil perolehan suara, tapi itu sudah cukup membuat para aktivis Rohis sujud syukur. KSEI dapat mereka pertahankan dan tidak jatuh ke tangan orang-orang yang hanya ingin menghancurkannya dari dalam.

Di luar ruangan, Nelly menghampiri Nazma dan Aisyah yang juga baru keluar dari ruang suksesi. Wajah keduanya menampakkan sinar kebahagiaan, karena jagoan mereka berhasil memenangkan pertandingan.

“Aku sudah yakin kalau dia keluar menjadi pemenang….” Kata Nelly, dengan sedikit sinis. “Aku juga tidak berharap untuk menang. Ini bukan tempatku.”

“Lalu, kenapa kamu ikut pemilihan?” tanya Aisyah. Wajahnya juga menampakkan ketidaksenangan, sementara Nazma masih bersikap biasa saja. Baginya yang penting Faisal telah berhasil menjadi Ketua KSEI.

“Hanya ingin coba-coba. Jika menang, aku akan bangga sekali karena berhasil mengalahkan Ketua KSEI kalian yang sekarang.”

Nazma menyadari satu hal. Nelly tidak pernah menyebut nama Faisal. Apakah memang ada kebencian yang terpendam? Nazma tak mau memikirkannya lebih jauh, karena itu hanya menggoreskan kecemburuan yang aneh. Faisal bukan miliknya atau Nelly, mengapa ia harus cemburu.

“Asal kekalahanmu tidak membuat pertemanan kita berakhir, ya? Di kelas, kita tetap solid, kan?” wajah Aisyah mengendur. Toh, mereka sering berada dalam kelompok tugas kuliah. Aisyah dan Nazma juga pernah beberapa kali mengunjungi kos-an Nelly. Mereka sering berbincang-bincang akrab yang tidak ada hubungannya dengan organisasi, meski kadang-kadang Nelly berusaha memasukkan paham kekiriannya.

Aisyah dan Nazma biasanya menanggapi dengan pura-pura bodoh dan tidak mengerti. Mendebat Nelly hanya membuang-buang waktu. Nelly sangat pandai berdebat dan tidak mau kalah.

Jika ia kalah dalam perdebatan dengan Faisal, itu karena sebuah perasaan yang memang kerapkali dapat membuat seorang yang cerdas, menjadi bodoh. Perasaan… cinta.

“Oke, deh… aku duluan, ya….” Nelly berangsur pergi meninggal kedua gadis itu dalam kebisuan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, terlebih pikiran mereka masih dipenuhi kegembiraan atas kemenangan Faisal.