ARISAN SERATUS RIBU SEMINGGU 6
"Apa? Kamu mau beli motor? Ya ampun, lihat, Pak. Menantumu si penjual sayur ini ingin beli motor. Dalam mimpi, ya?" Ibu tertawa mendengar ucapanku.
"Makanya jangan memilih pekerjaan yang sulit tetapi hasilnya sedikit! Mimpi, kan jadinya," timpal Mbak Venny ikut tertawa hingga air matanya berderai.
Tertawalah Mbak, Bu. Akan aku bungkam mulut kalian dengan caraku sebdiri. Ya, saat aku bisa beli motor nanti kalian pasti akan terdiam dengan sendirinya tanpa harus kubungkam dengan tanganku.
"Bu, kenapa kamu selalu menghina anak dan menantu seperti ini? Kamu juga, Ven, tidak usah membanding-bandingkan pekerjaan adikmu dengan suamimu. Yang penting pekerjaan Fadil ini halal dan cukup untuk menafkahi anak istri!" ucap Bapak dengan nada tinggi.
"Apa? Bapak bilang pekerjaan Mas Galih haram?" Mbak Venny melotot, bola matanya seakan mau lepas dari tempatnya.
"Bapak tidak bilang kalau pekerjaan suamimu itu haram, hanya bilang kalau pekerjaan Fadil ini halal."
"Ah, sudahlah, Pak. Dari dulu Bapak memang selalu membela anak dan menantu tukang sayur itu," ucap Mbak Venny sinis sambil berlalu.
"Fadil, sini bapak bantu untuk menaikkan kembali gerobak sayur itu agar kamu bisa jualan. Eman-eman sayur sebanyak itu kalau tidak dijual." Bapak sudah siap untuk mengangkat gerobak sayur.
"Tidak, Pak. Aku tidak mau jualan dalam keadaan seperti ini. Bapak tidak usah memikirkan masalah sayur yang belum laku itu. Mungkin memang belum rezeki," ucap Mas Fadil dengan tatapan nanar.
"Nah, sadar diri gitu, dong! Kalau memang nggak punya motor ya nggak usah jualan," ucap ibu sinis.
"Maafkan Bapak ya, Nak?" ucap Bapak dengan mata berkaca-kaca.
Ibu hanya memutar bola mata malas melihat keakraban antara suamiku dan bapaknya itu.
"Bu, kenapa tidak pernah menyayangi Fadil seperti menyayangi Venny, padahal keduanya sama-sama lahir dari rahimmu?" tanya Bapak lirih.
"Bapak mau tahu kenapa Ibu tidak pernah mau menganggap Fadil sebagai anakku sekarang? Ini semua karena Amira. Wanita ini yang sudah membuat ibu benci dengan anak sendiri," ucap ibu dengan muka merah padam.
Aku tertegun mendengarnya. Aku pikir ibu sudah berubah, tetapi ternyata sampai sekarang Ibu masih belum bisa menerimaku sebagai menantunya.
"Sudahlah, Bu. Mereka sudah hidup bahagia. Jangan ungkit-ungkit itu lagi. Kasihan Amira," ucap bapak.
"Bahagia dari mananya, Pak? Hidup sebagai tukang sayur kok dibilang bahagia? Coba dia dulu mau menuruti omongan Ibu untuk menikahi Tiara, pasti hidupnya sudah enak sekarang," ucap ibu sinis.
"Bu, yang namanya bahagia tidak selalu diukur dengan materi."
"Bapak mau bilang kalau uang bukan segalanya? Iya? Sudah basi, Pak. Pada kenyataannya semua orang butuh uang, apalagi sudah punya anak. Sudahlah aku capek ngomong sama kalian." Ibu berbalik dengan wajah bersungut-sungut.
"Sini kuncinya, kalau tidak aku bawa pulang nanti kamu bawa." Ibu berbalik dan mengambil kunci yang masih tergantung di tempatnya.
"Maafkan ibu yang tidak pernah berubah, Nak?" Bapak mengusap lembut bahu Mas Fadil.
"Iya, Pak. Jika kita sabar suatu saat nanti Ibu pasti akan berubah dan menyayangiku serta dapat menerima Amira sebagai menantu." jawab ayah Dio itu berusaha tersenyum meski aku tahu hatinya tercabik-cabik seperti diriku karena ucapan ibu.
"Terus sayuran ini bagaimana?" Bapak mengambil sayuran yang masih berada di atas gerobak.
"Untuk cabai, terong, buncis dan kacang panjang dan sejenisnya tidak apa-apa, Pak kalau dijual besok, tetapi kalau sayur bayam dan brokoli tidak bisa, nanti bisa kita bagikan ke tetangga dari pada mubazir."
"Kalian yang sabar ya, biarpun sedikit insyaAllah berkah."
"Mari masuk, Pak. Biar Amira bikinin kopi." Mas Fadil menggandeng tangan bapak.
"Nanti sore saja, Bapak mau mencangkul di sawah dulu."
"Jangan terlalu dipaksakan, Pak. Bapak ini sudah tua lho,"
"Iya, dengan bekerja di sawah malah membuat Bapak merasa lebih sehat, dari pada duduk saja di rumah malah badan rasanya lemas."
Bapak mertua memang masih terlihat gagah meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
"Mas aku izin membagikan sayuran ini untuk para tetangga, ya? Sayur sebanyak ini kalau hanya mengandalkan pembeli di rumah juga tidak akan habis. Dari pada ngasihnya nanti sore keburu layu, lebih baik sekarang mumpung masih terlihat segar, pasti yang diberi juga akan senang."
"Iya, Dek. Aku setuju."
Aku mengambil beberapa ikat sayur bayam dan memasukkan ke dalam tas keranjang plastik kemudian membagikannya kepada para tetangga.
Aku bahagia saat melihat reaksi para tetangga yang kuberi sayuran itu. Kebanyakan dari mereka mengucapkan terima kasih dan mendo'akan agar rezeki keluargaku lancar. Amiin.
"Ya ampun, sudah seperti sultan saja pakai bagi-bagi ke tetangga, padahal dibagi juga karena sayurnya tidak laku. Bagaimana mau untung kalau sayuran yang dibeli dengan uang dibagi cuma-cuma seperti itu?" Suara khas Mbak Venny membuat panas telingaku.
Dengan cepat aku memasuki rumah dan menutup pintu rapat-rapat agar tidak perlu meladeni ocehan wanita yang selalu tampil modis itu.
Aku mengurut dada perlahan untuk meredam amarah yang sudah bergejolak dalam dada.
Sekarang ada pekerjaan baru yaitu mengemas dan menyortir kembali sayuran yang masih bisa dijual untuk esok hari. Semangat!
"Mir, aku juga mau bayamnya katanya geratis?" Tiba-tiba Mbak Venny sudah berdiri di depan pintu.
"Bayammya sudah habis kubagikan ke para tetangga,"
"Loh, kok aku enggak kebagian?" tanya wanita berambut sebahu itu dengan nada tinggi.
"Mau tahu kenapa aku tidak memberi bayam padamu Mbak? Itu karena Mbak Venny bukan tetanggaku, puas?" ucapku lantang dengan tangan sibuk membuka satu per satu bungkusan plastik dan menggantinya dengan plastik yang baru.
---
Jangan bilang pendek bab-nya, ya, Kak. Ini sudah standar untuk bab 1--7 memang 800 an kata dan ini sudah lebih. Nanti mulai panjang pada bab 8.