3
TUNGGU PEMBALASANKU, MAS!
Part_3

Jahat? Tentu tidak. Ini tidak sebanding dengan luka yang sudah Mas Dion torehkan di hati ini. Aku sedikit bersyukur, masih belum dikaruniai seorang anak. Jadi, tidak ada korban atas perceraian ku dan Mas Dion. Aku juga bersyukur, Allah telah menunjukkan siapa Mas Dion sebenarnya. 

•••

Para karyawan menunduk hormat saat aku dan Papa masuk ke bangunan besar ini, tak lupa kami balas senyuman. Ini kali pertamanya aku masuk kesini setelah satu tahun lamanya sebab tak ingin Mas Dion tau siapa aku sebenarnya.

Aku segera masuk ke ruangan khusus pemula. Disini ada banyak juga yang sedang belajar. Cuman aku saja yang diajar langsung oleh Papa, yang lainnya diajar oleh senior kantor sini yang hampir usianya hampir kepala empat.

 Perlu digaris bawahi kalau kantor Papa itu beda dengan yang lainnya. Sebelum resmi menjadi karyawan sini, kita harus belajar terlebih dahulu di ruangan khusus pemula, disini juga ada senior yang siap membimbing. Bisa dikatakan trainee. Dan waktu untuk belajar adalah minimal 1 hari dan maksimal satu Minggu. Untuk jabatan tergantung dengan seberapa persen ilmu yang dipahami. Kalau nilai dibawah KKM maka siap-siap untuk angkat kaki dari sini.

Aku langsung duduk di kursi yang tersedia. Dengan telaten dan penuh kesabaran Papa mulai mengajariku tentang ilmu-ilmu perkantoran yang belum kutahu. Bisa dikatakan ilmu perkantoran ku hanya 50% dari ilmu perkantoran Papa.

Sebelum kenal dengan Mas Andre aku sempat belajar disini. Beruntung Papa tidak ada jadwal padat hari ini. Jadi, Papa bisa leluasa mengajariku.

Jam di dinding menunjukkan pukul 11.55 WIB, lumayan lama. 

"Wah anak Papa hebat. Baru dijelaskan aja udah nyantol," puji Papa.

"Iya dong, Althea gitu lho," sombongku dan disambut tawa oleh Papa.

"Ya udah kita makan siang dulu, yuk. Habis itu ke mall beli hadiah buat Mama," ajak Papa.

"Asiap." 

***

Kami singgah terlebih dahulu ke Restoran yang dekat dengan kantor Papa. Memesan makanan dan minuman.  Sembari menunggu pesanan datang, aku memilih bermain hp. Papa pamit sebentar ke toilet tadi.

Aku tersentak saat ada sebuah tangan yang menepuk pundak ku keras. Orang itu langsung duduk di kursi yang menjadi tempat duduk Papa. Hp kumasukkan kembali ke dalam tas.

"Wih, mau makan disini ya. Emang sanggup bayar?" tanya orang itu dengan nada mengejek.

Aku memutar bola malas mendengar pertanyaan tak berfaedah itu.

"Mau aku makan disini kek, disana kek, bukan urusan anda. Mending anda urusin tuh laki-laki yang sudah anda embat. DASAR PELA-KOR." Aku menekankan kata akhiran. 

Wajah Riana langsung merah padam menahan amarah. Pela-kor tapi tak terima disebut dengan pela-kor. Mata Riana mulai menelisik penampilanku, membuatku risih.

"Penampilan kamu sudah berubah, ya. Jadi simpanan siapa? Kenalin dong!"

Amarahku langsung memuncak tatkala Riana mengucapkan pertanyaan itu.

"Heh, kamu dengar baik-baik. Saya itu tak semurahan kamu, ya. Yang rela menggaet laki-laki lain demi uang. Saya masih punya harga diri. Dari tatapan mata kamu ke Mas Dion kemarin aja, saya tau lho kalau kamu itu hanya mengincar hartanya. Jadi, jangan samakan saya dengan kamu. Kita itu beda," tegasku.

Aku memang seperti ini. Jika amarah sudah mencapai ke ubun-ubun maka jangan salahkan aku kalau aku mengeluarkan kata-kata yang terdengar saat tidak enak, tapi salahkan mulutku ini. Aku sangat sensitif kalau ada yang membicarakan masalah harga diri dan menyangkut kedua orang tua ku.

Entah darimana mantan suamiku itu mendapatkan perempuan seperti yang ada di hadapanku ini

Tangan Riana terangkat hendak menamparku. Aku tak sempat mengelak. Hingga akhirnya ada sebuah tangan kekar yang menepis tangan perempuan yang membuat rumah tanggaku hancur itu.

"Jangan berani-berani main fisik dengan Althea!"

______

Komentar

Login untuk melihat komentar!