"Kamu harus tetap menikah dengan Adnan, malam ini ia datang melamar! Kakak tidak mungkin membatalkannya!" Leo terus menyecar untuk tidak menolak lamaran Adnan.
"Tapi Kak, bagaimana dengan Adnan? Jika dia tahu aku sudah tak lagi suci?" ucap Nauna sambil menangis. Kini ia bersandar di bahu sang kakak.
"Tenanglah, Nauna. Kakak akan berusaha untuk menjelaskan kepada Adnan! Tapi jika kamu memerlukan itu! Kamu harus berusaha menjelaskan padanya sendiri terlebih dulu!" seru Leo pada Nauna dan berusaha menyeka air mata adiknya itu.
"Maafkan Nauna, Kak. Tidak bisa menjaga kehormatan Nauna!" sahut Nauna menangis meraung-raung.
"Kamu tidak salah, Arip, lihat saja jika nanti bertemu!" ungkap Leo kesal. Tangannya kembali mengepal.
Hari sudah malam, bulan dan bintang sedang berdampingan. Orangtua dari Adnan datang membawa segerombolan orang, untuk melamar Nauna. Adnan yang mengenakan kemeja merah maroon terlihat tampan dan berwibawa. Batin Nauna makin meragukan. Apakah Adnan bisa menerima Nauna apa adanya?
"Aku takut, Kak."
"Sudahlah, kamu tenang saja! Nanti kalian ngobrol berdua di sebuah taman yang telah Kakak siapkan. Di sana sudah Kakak sewa, jadi tidak ada orang yang datang!" Leo berusaha memberikan tempat terbaik untuk mereka bicara.
"Do'akan aku Kak!" ucap Nauna sambil memeluk tubuh kakak satu-satunya.
"Sudah, lebih baik bukakan pintu calon mertuamu ya!" ungkap Leo menghapus air matanya. Ia sampai menitihkan air matanya.
Lalu mereka ke depan, membuka pintu dengan sopan. Dan mempersilahkan para tamu untuk masuk. Di rumah, sudah ada Tante Ayu dan Om Farhan yang mewakili sebagai orang tua mereka.
"Assalamualaikum," ucapan salam dari para tamu yang baru saja turun dari mobil.
"Wa'alaikumsalam," sahut Nauna dan Leo sambil berjabat tangan satu persatu.
"Wah ini toh yang namanya Nauna?" Ibunda Adnan menyapanya sambil mengelus dagu Nauna.
"Iya, Bu. Mari silahkan masuk!" Nauna mempersilahkan masuk para tamu termasuk Adnan.
"Adnan, Nauna, ini kunci motor Kakak. Kalian ngobrol di taman ya! Di sana sudah Kakak siapkan tempat yang romantis untuk kalian ngobrol. Agar lebih saling mengenal!" ungkap Leo sambil memberikan kunci motornya.
"Wah, terimakasih Leo, sudah mempersiapkan ini! Cepat sana ajak Nauna ke taman!" seru ibundanya Adnan antusias.
Mereka pun gegas pergi ke taman, mengendarai motor sang kakak. Jantung Nauna berdegup tak karuan. Khawatir ia akan mendapatkan jawaban dari Adnan yang tidak diinginkan.
"Mas Adnan!" Nauna mulai bicara.
"Ada apa, Nauna?"
"Ada yang mau aku ceritakan, tapi...."
"Tapi apa?"
"Boleh aku bertanya sebelumnya?"
"Ya, tanya saja!"
"Apa kamu sudah pernah berpacaran?"
"Sudah, tapi hanya sebulan dua bulan."
"Oh," Nauna bingung. Adnan sepertinya sangat dingin dengan wanita.
"Ada apa, Nauna? Apa yang akan kamu ceritakan?" tanya Adnan kini serius.
"Aku.... Aku.... Mas, aku sudah pernah dinodai oleh orang lain!" ucap Nauna menundukkan wajahnya. Ia malu pada Adnan.
"Hemm, kok bisa?" Nauna terkejut dengan jawaban Adnan. Karena ia hanya menanyakan penyebabnya. Tak menyalahkan Nauna.
"Jadi ceritanya 2 tahun lalu..." Tiba-tiba Nauna berhenti. Ia malah menangis di hadapan Adnan. Lalu laki-laki berparas tampan itu menyeka air mata Nauna.
"Sudahlah, jangan nangis. Kamu boleh tidak melanjutkan ceritanya, kalau ini membuatmu sakit!" Mendengar ucapan Adnan, Nauna jadi bersemangat untuk bercerita kembali.
"Saat itu, ada yang memberikan aku obat bius hingga hilang kesadaran, namanya Arip! Aku baru mengetahuinya saat merasakan sakit ketika buang air kecil. Lalu pergi periksa ke dokter!" Nauna bercerita dari awal ia merasakan sakit.
"Lalu gimana kata dokter?"
"Dokter bilang, aku sudah dinodai!"
"Yang melakukan itu Arip tadi?"
"Awalnya aku juga tidak ingat, tapi di jalan saat aku melamun. Aku berusaha mengingatnya!"
*******
"Siapa yang melakukan itu?" Nauna terus melamun sepanjang jalan arah pulang. Ia belum menyadari bahwa Arip lah yang merenggut semuanya.
Ia menepi di taman. Mengingat kejadian sebelum pulang kerja. Tiba-tiba ia memegang kepalanya. Lalu menutupnya. Menarik napas dalam-dalam dan mengebuskan pelan-pelan.
"Arip, kenapa kamu tega denganku? Aku ingat sekarang, semalam pulang diantar olehnya! Sebaiknya aku ke rumahnya!"
Dengan langkah kaki yang terburu-buru, kaki kanan dan kiri saling memburu. Ia pantang mundur menghadap ke rumah Arip. Ini semua harus dipertanggungjawabkan.
Air mata yang sejak tadi menetes tak henti. Diseka olehnya beberapa kali, hingga napasnya sampai tersengal-sengal disusul oleh suara helaan napasnya. Nauna rapuh, tapi tidak ingin memperlihatkan itu pada semua orang.
Tok...tok...tok....
Nauna tiba di rumah Arip. Ada orangtuanya di sana. Ia bicara pada mereka.
"Assalamualaikum, Bu! Ada Arip?" tanya Nauna dengan suara agak serak. Tangisannya membuat suara Nauna habis.
"Wa'alaikumsalam, oh Nauna. Masuk dulu sini!" ujar ibunda Arip senbari menggandeng tangan Nauna. Lalu mengajaknya duduk dan menawarkan minum
"Bu, ada Arip?"
"Duduk dulu, Ibu ambilkan minum ya!"
"Tak usah Bu, aku hanya ingin bertemu Arip!"
"Arip sudah berangkat ke luar kota, ia kerja ikut Bapaknya tadi malam selepas pulang kerja!"
Nauna bergeming, tak sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya. Ia amat terkejut mendengar ucapan ibunda Arip.
"Kapan pulang Bu?"
"Tidak tahu, nanti dikabari! Memang ia tidak bilang padamu, Nauna?" tanya ibunda Arip menyecar.
"Tidak, Arip tidak ngomong apapun!"
"Padahal, ini sudah direncanakan sejak seminggu lalu. Bapaknya sudah suruh untuk berhenti kerja sejak seminggu lalu!"
Seketika itu juga hati Nauna hancur. Satu minggu lalu? Ini kebetulan atau sudah direncanakan?
Next?