Bab 4

 BuGg...!!


Darah mengalir di pelipis Doni.


Begitu pun rasa simpati yang tiba-tiba mengalir di hati Nina.


Pak Doni kenapa ada disini? Dia mau melindungi aku?


Nina baru sadar kalau yang menarik tangannya tadi adalah Doni.


Nina memilih untuk tidak banyak bertanya ia ikutkan langkah kaki yang dituntun oleh Doni keluar dari kerumunan bringas itu. Doni berusaha tenang dan tidak peduli atas rasa sakit yang kini merayap di kepalanya. Nina mengambil napas lega begitu mereka berdua menjauh. Sadar tangannya masih menggandeng Nina, Doni pun langsung ‘menomat’ dan melepaskan genggam tangannya yang mencengkram kuat.


Doni berjalan sedikit lebih cepat di depan Nina. Ada air rintik-rintik kecil dari angkasa membasahi darah yang mengalir dari pelipisnya. Doni meringis.


“Pak, kita berteduh dulu. Hujan!” seru Nina. Ia berlari kecil mencari tempat aman.


Doni mengikutinya. Mereka kini berdiri berdua di teras depan toko roti yang kebetulan sedang tutup. Hening. Beberapa saat mereka tenggelam oleh pikiran masing-masing.


“Anu...Ng... maaf... maaf... bukan mau kurang ajar a..a..aku pegang-pegang tangan kamu,” suara Doni memecahkan sepi.


“Ya...” Nina tersenyum simpul, “dalam situasi seperti itu, jika tidak digandeng mungkin aku akan terbawa arus, bahkan terinjak-injak. Jadi aku mau mengucapkan terima kasih pada Bapak.” 


Doni menunduk. Tak lama terdengar sirine polisi menuju ke tempat lokasi, entah siapa yang melaporkan kejadian pemukulan tersebut. Tiba-tiba terdengar decitan rem mobil Chevrolet Doni yang berhenti di depan mereka.


“Wooii... jangan kelamaan berduaannya ntar dateng setan lho...” seru Rubi melongokkan kepala dari dalam mobil.


“Iya... setannya keren, datengnya bawa mobil,” ledek Nina setengah girang dijemput sohibnya. 


Doni memberi isyarat pada Nina untuk segera naik mobil walau dengan sedikit rasa sakit di pelipis. Diusirnya Amerta yang masih duduk di belakang setir..


Mr.Don, Mr’ berdarah...!? Ya ampun... biar Eta aja yang nyetir mobil. Mr’ di belakang aja sama Nina, Debi, dan Rubi,” cerocos cewek yang dandanannya always nyentrik dan berusaha untuk selalu Up To date and fashionable ini penuh kecemasan tulus.


Doni tak menggubris. Dengan sedikit menggerutu Amerta keluar dari mobil, dan pindah tempat duduk ke belakang.


Mr’ kalau nabrak tanggung biaya rumah sakit ye!!” ancamnya sengit sedikit khawatir melihat kondisi Doni, takut nabrak maksudnye.


Bujang tulen itu tak banyak menyahut. Ia memusatkan konsentrasinya pada arah jalan yang akan di tempuh dan pada senandung kecil yang keluar dari mulut Nina. Senandung itu bukan pertanda bahagia. Nina hanya mencoba menghafal, sebuah lirik yang kini begitu rekat terekam di hatinya. Bahkan kekuatan lirik itu mampu melumpuhkan hafalan-hafalan al-qur’an Nina dalam seketika.


“Saat aku melayang... saat aku menghilang... aku sadar... aku tak sendiri.”


Doni menatap Nina yang serius memandangi jalan melalui kaca spion. Diam-diam memorinya mencatat lirik lagu itu. Dalam menit-menit terakhir di dalam mobil nada-nada lagu itu tak berhenti dari senandung Nina.  


           Melihat Doni memperhatikannya, Nina jadi malu hati. Ia terdiam.


Duh aku  kok malah nyanyi sih? Pak Doni kan lagi kena musibah!


*                     *                     *


           Di ruang kesehatan kampus tempat Amerta, Rubi, Debi, dan Nina menimba ilmu perkuliahan.


Rubi yang dulu jagoan di ekskul PMR SMU-nya mulai ngompres-ngompres di dahi Doni dengan hati-hati bagaikan mengukir tulisan di atas kaca tipis. Doni mengaduh menahan perih.


           “Auuuw...” itulah komentar Doni tentang rasa sakit yang dideranya. Tanpa banyak bicara ia pun mengigiti pulpen yang sedari tadi tergeletak di meja.


           “Elo sih, Nin, pake acara bolos segala. Ngga biasanya! Bikin orang khawatir aja,” ujar Amerta ketus, “tuh liat, Mr.Don jadi berdarah! Untung aja lo bisa selamat. Kalo lo kebawa arus gebuk-gebukan itu gimana? Bisa mampus lo...!!”


           “Huss... jangan kasar gitu dong, Ta,” bela Rubi yang sedang menyiapkan perban untuk membalut luka yang didera Doni.


           “Maaf,” hanya itu kata yang terucap setelah sekian detik Nina terdiam memandang darah yang seolah tak mau berhenti menetes dari dahi Doni.


Oh... bagaimana nasib laki-laki tadi? Ingatan Nina tiba-tiba melayang pada laki-laki itu. Semoga polisi dapat menyelamatkan nyawanya.


Nina sedikit prihatin atas rasa kemanusiaan yang sudah luntur di benak masyarakat. Entah apa penyebabnya pemuda-pemuda itu menjadi buas dan menghantam laki-laki itu tanpa kompromi terlebih dahulu. Seolah hukum rimba lebih berlaku di negeri ini, himpitan ekonomikah? Atau hanya sekedar meluapkan nafsu amarah yang terpendam? Entahlah.


Nina hampir hendak menangis terharu jika tak disadarkan oleh suara cempreng Amerta kental dengan nuansa betawi tulen.


“Nin, jangan bengong aje. Proposal Kewirausahaan tugas dari Bu Tiwi mana?”


           “Proposal?” tanya Nina, kemudian langsung sumringah seolah-olah baru mengingat sesuatu. “Oh... iya, kemarin proposalnya aku titip ke Pak Doni. Aku udah bilang sama dia kalau hari ini aku berencana mau ngga masuk kuliah,” jelas Nina cepat yang langsung bikin mata Amerta dan Debi melotot berjamaah ke arah Doni.


           “Sengaja ya? Pura-pura ngga tahu biar bisa nyari-nyari Nina? Alasan ya biar bisa PeDeKaTe lebih jauh?” Amerta menuding-nuding Doni, cowok ini langsung terkesiap kaget.


“Apaan? Saya ngga tahu apa-apa kok,” bela Doni tanpa ada nada kesal pada Amerta.


Nina bangun dari duduknya.


“Kemarin kan proposalnya aku kasih ke Bapak? Coba diingat-ingat dulu.”


Doni berpikir sejenak, mengangguk-angguk.


“Duh... sori baru ingat,” ia menepuk dahinya tak lama kemudian suaranya meringkih kayak kuda. Lagian udah tahu luka malah ditepuk-tepuk. Rubi terkekeh he...he...he... Nina mesem-mesem menahan tawa.


“Terus sekarang proposalnya di mana?” tanya Amerta ngga sabaran.


Debi melirik jam tangan mickey mousenya, “Jam satu kurang sepuluh menit nih. Bentar lagi pelajaran Bu Tiwi dimulai,” ujar Debi setengah bergumam. Kakinya bergerak-gerak kecil tanda gelisah.


“Ada di mobil...di dekat tape... aduh... sakit...” Doni mengerang-erang, badannya sedikit terbungkuk-bungkuk.


Mendengar jawaban Doni dua sohib Nina ini pun langsung melesat menuju mobil setelah sebelumnya merebut kunci mobil dari genggaman tangan Doni.


Nina menatap mereka sambil weleh-weleh. Setelah kepergian mereka berdua, tak ada lagi suara-suara ocehan. Yang ada di ruang kesehatan itu kini hanya ada Rubi yang sudah selesai memakaikan perban ke kepala Doni. Ada Doni yang sibuk menahan sakit tapi diam-diam curi-curi pandang ke arah Nina. Gadis yang dicuri pandangnya pun diam-diam menyimpan simpati, Pro-xl, Mentari, dan IM3 kepada Doni.


Dia dosen yang baik, yang selalu sabar menghadapi mahasiswanya.


Doni pria yang punya sikap jantan meskipun terlihat feminis dengan gaya pakaian ala 80-annya. Walaupun sering dibilang banci sama anak cowok yang diajarnya tapi ternyata ia tak pernah bersikap seperti banci. Nina tahu Doni apa-adanya. Laki-laki yang tak pernah ingin sombong, selalu rendah hati, dan menyikapi masalah selalu dengan kepala dingin.


Wajar saja sikapnya Pak Doni dewasa sekali, dia, kan, sudah tiga puluh tahun, tapii... kok belum menikah ya? Jangan-jangan....? Tanya Nina pada diri sendiri. Dipandanginya Doni yang memang sedari tadi melihat ke wajahnya. Duuh... kok jadi ngga bisa jaga pandangan ya? Katanya sudah jadi anggota UKM Masjid? Kalau begini caranya sih bakalan susah jadi akhwat, Nina malu hati sendiri.


Hati Doni langsung kebat-kebit, nah lho... dia ngeliat ke saya? Ada apa ya? Apa dia baru sadar kalau selama ini saya ganteng?


“Pak,” tutur Nina yang segera membuat suasana jadi menghening.


Rubi ikut-ikutan diam melihat aksi lihat-lihatan di antara Nina dan Doni, ingin rasanya jadi penghalang kalo kelamaan kan bisa bahaya. Gitu-gitu juga Rubi getol ikut kajian di UKM Masjid karena sering diajak sama Nina, meskipun belum mau pakai jilbab.


“I... iya...?” jawab Doni penasaran.


“Bapak... Bapak... gay ya?” tembak Nina yang segera menimbulkan aksi reaksi tercengang dari mulut Doni. Belum sempat ia membela diri dua pengganggu kecil sohibnya Nina langsung grabak-grubuk masuk ruang kesehatan.


“Niiinnnaaa...!!! Masuk lo, pelajaran Bu Tiwi udah dimulai... lo musti presentasiin nih proposal,” Amerta menarik-narik tangan Nina. Didukung oleh Debi.


“Iya, Nin elo kan yang bikin proposalnya, harus lo juga yang presentasiin...”


“Iya...iya...” jawab Nina, “ta... tapi.. aku shalat dzuhur dulu ya?”


“Iihjh... kelamaan tauk!” bantah Amerta.


Nina melepaskan tangan Amerta pelan. “Terserah kalian. Aku mau shalat dulu baru masuk kelas, kalian mau ikutan ngga?” Tanpa banyak bicara lagi Nina keluar dari ruangan.


 Debi dan Amerta bersungut kesal mengikuti dari belakang. “Gue nungguin di kantin aja deh sama Debi,” putus Amerta dan disetujui oleh Debi.


Nina memang teman yang baik selalu membela pelajaran apapun judulnya. Karena emang otaknya rada-rada cemerlang so’ selalu jadi andalan dan tameng bagi Amerta dan Debi. Tapi Nina tak pernah mengeluh, ia nrimo, ikhlas, dan rajin menabung... (Ihh... ngga nyambung).


Tak lama mereka bertiga pun hilang di telan bumi tertiup angin hanya tersisa sepoi-sepoi kecil menggelitik jambulnya Pak Doni.


“Kayaknya saya juga harus masuk kelas nih, sekarang ada pelajaran komputer,” ujar Rubi memecahkan kebisuan di antara mereka berdua.


“Tapi, saya pikir kelas kamu bakalan diliburkan karena dahi dosennya sedang terluka karena tertimpuk batu,” balas Doni.


“Ooo...” jawab Rubi simpel. Setelah pamitan ia pun ngeloyor pergi meninggalkan Doni yang sibuk dengan seberkas tanda tanya di benaknya.


Kenapa tadi Nina bertanya seperti itu? Apa saya kurang terlihat macho?


*                     *                     *



Komentar

Login untuk melihat komentar!