Malam ini juga seperti malam-malam sebelumnya. Demi mendengar lagu itu, Nina rela berjam-jam mendengarkan saluran StarRadio. Nina setia duduk di depan radio kecil imut keluaran tahun 90-an warisan dari almarhumah neneknya. Radio itu kini berdiam di atas meja belajarnya yang penuh sesak oleh tumpukan buku-buku.
Nina adalah seorang penulis pemula so’ ia juga harus rajin dalam membaca. Otomatis hampir semua sudut kamarnya penuh tumpukan buku. Mau gimana lagi kamarnya sempit sih.
Setelah lelah ke sana - ke sini, nanya ke hampir semua orang yang dia kenal. Telepon sana... telepon sini nggak ada yang tahu siapa yang menyanyikan lirik lagu ‘Aku Tak Sendiri’ yang membuatnya sempat merasa melayang itu?
Akhirnya karena takut nongkrong tanpa hasil, malam ini ia putuskan untuk menelepon StarRadio demi mengetahui siapakah gerangan band penyanyi itu? Yakin kalo itu band? Bisa aja kan penyanyi sosro? Eh solo? Makanya harus dibuktikan malam ini juga.
Begitu penyiar membuka line telepon untuk request, Nina pun dengan sigap memencet-mencet nomor telepon. Kebetulan orang rumah lagi sibuk nonton TV, jadi telepon yang terletak di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang keluarga, nggak digubris alias dicuekin. Nina pun bebas mencet-mencet terus. Sayang ternyata tak cukup sekali nyambung, kalau nggak sibuk pasti tuh nomor telepon yang dituju selalu mailbox.
Berbekal rasa penasaran, energi kuat dan semangat membara Nina pun tak letih-letihnya menekan tombol, sementara lagu-lagu terus mengalun di spiker radio.
“Ayo... aku nggak mau nggak bisa tidur semaleman lagi nih gara-gara penasaran, masa kebawa mimpi terus sih? 021-5528982... ayo dong nyambungg....” Nina mulai geregetan setelah jari-jemarinya terasa pegal-pegal.
Nun jauh dari sana seorang dosen muda, tampan, namun sedikit lugu yang bernama Doni, juga sedang sibuk calling-calling ke rumah Nina. Tangannya pun sama pegelnya.
“Sibuk banget sih?” padahal aku butuh mengumpulkan seribu satu keberanian untuk bisa memutar nomor teleponnya malam ini. Doni membuang napas lesu.
Kembali ke Nina.
“Tut... Tuut...,” Nina menunggu dengan tak sabar.
Nyambung-nyambung tinggal diangkat aja nih.
“Halo...” sahut suara di seberang sana. Nina hampir saja melonjak kegirangan.
“Hai... aku Nina mau request lagu dong!”
“Hah...? Roti keju? Stoknya udah habis hah... haia...oei telat mesen, tadi balusan engkong Tao Cing ngebolong sepuluh loyang, balusan kita tlansaksi lewat telepon tuh olang nawalnya kelamaan makanya sibuk. Emangnya oei mau pesen belapa loyang hah?” cerocos kakek-kakek di ujung sana dengan logat cinanya yang kental. Muka Nina serta merta mengerucut.
“Aku kan mau request lagu bukan pesen roti keju. Emang ini apa sih?”
“Ya... ya.. terima kasih? Kamsia-kamsia...” kakek itu pun mengangguk kecil lalu menutup telepon. Nina membanting gagang telepon kesal.
“Sialan... malah nyasar! Pasti itu toko roti...!” ia menatap nomor telepon yang dia catat tadi 021-5528982. Sayup-sayup terdengar suara penyiar radio kembali berceloteh.
“Buat kamu-kamu yang mau kirim-kirim lagu silakan request ke 021-5528980.. buruan karena waktu portal Indonesia tinggal sepuluh menit lagi...”
Lutut Nina langsung lemas.
Ia pun beranjak ke tempat obat buat mencari plester, nih jari udah kapalan bin pesawatan ngkali eh malah salah sambung! Begitu ia kembali ke kamar didapatinya syair yang sedari tiga hari yang lalu ia damba-dambakan, mengudara di radio.
“Saat aku menghilang
Saat aku melayang
Aku tersadarkan
Bahwa aku tak sendiri... aku tak sendiri...”
“Kyaa..kyaa...” Nina teriak setengah histeris.
Sambil berdiri ia memejamkan mata dan meresapi alunan nada-nada yang sedikit menghentak dan lirik lagu yang membuainya dalam mimpi. Begitu sang penyiar hendak mengumumkan siapa penyanyi yang membawakan lagu itu, Nina langsung melek dan pasang telinga. Entah kenapa hatinya menjadi harap-harap cemas. Layaknya puteri hendak dilamar sang pangeran berkuda di jaman fosil.
“Yaa... tadi itulah sebuah lagu dari....”
Blestzz... tiba-tiba lampu padam dan suara sang penyiar pun hilang. Seisi orang rumah spontan ribut, terutama Nina.
“Hiaaaa....!!! Kenapa matiin listrik siiiihhh...?!!
Sebelsszzz...sebelszz....” ia pun meloncat-loncat kesal dalam kegelapan.
* * *
Keesokan harinya di kampus tempat Nina dan Amerta kuliah di bidang Business Administrasi.
Doni sedang sibuk kasak-kusuk dengan komputernya yang sudah jaman baheula banget. Di sudut-sudut ruangan bertengger komputer-komputer rusak yang berasal dari laboratorium kampus untuk diperbaiki oleh Doni.
Selain jadi dosen ia juga merangkap sebagai tukang servis penjaga kedamaian dan ketentraman komputer-komputer yang ada di kampus MNS ini.
Debi memasuki ruangan tanpa permisi, sejenak kedatangannya yang sama sekali tidak diharapkan mengganggu Doni dari konsentrasinya.
“Pak, lihat Nina?” tanya nya langsung membuat kepala Doni tengleng gara-gara kaget nama Nina di sebut-sebut. Memang kalau orang sedang jatuh cinta bawaannya sensitif melulu.
“Ng... tidak ada... belum lihat. Memang kenapa?”
“Nina hari ini ngga kuliah, padahal ini kan minggu pertama sehabis libur mid semester, tapi kok dia udah coba-coba bolos sih? Ngga biasanya.”
“Lalu?” Doni mengernyitkan dahi, “kenapa nanya ke saya?”
“Yee... Bapak kan yang naksir abiss sama dia otomatislah di mana pun Nina bersemayam di situlah Pak Doni bergumam-gumam,” Debi memain-mainkan permen karetnya sehingga membentuk gelembung balon kecil.
“Wadduh... gawat dong. Memang sih selama saya ngajar di sini saya belum pernah lihat dia absen mengikuti pelajaran. Kita cari saja yuk!” ajak Doni kemudian beranjak dari komputer tuanya yang sudah hampir tak berbentuk karena sedang dalam tahap perbaikan.
“Mr.Doon...! Hari ini Nina ngga masuk, kata orang rumahnya dia udah berangkat kuliah dari jam enam pagi. Mr’ tahu ngga doi kemana?” tembaknya langsung tanpa mengatur napasnya yang kepayahan.
Doni menggeleng-geleng nggak ngerti sekaligus terharu.
Mahasiswiku begitu baik dan solider sama teman.
Amerta mulai merajuk.
“Mr’ ayo cari Nina sekarang, tuh anak nangkring dimana lagi?”
“Betul... ayo Pak ikut kami, cari Nina. Demi cinta pak... demi cinta...” dukung Debi.
Lho? Jangan bawa-bawa cinta dong, malu nih... protes Doni dalam hati.
“Nyarinya naik apaan? Perginya ke mana?” tanya Doni tambah ling lung.
“Naik Chevrolet Bapak dong! Bapak punya mobil jangan dianggurin aja.”
“Iya Mr.Don, kita cari dia kalau perlu sampei ke pelosok baduy...!!”
“How nice U are... kalian baik banget sama teman, begitu khawatirnya.”
“Tentu dong...!!! Tapi kami lebih peduli sama makalah tugas kelompok yang dia bawa. Kita kan satu kelompok dan dua jam lagi makalah itu harus dipresentasikan...!!!” kali ini Amerta mulai histeria.
“Masa baru dua kali pertemuan udah disuruh bikin makalah dalam tenggang waktu dua hari,” lanjut Debi memberi penekanan.
Doni langsung menggangguk mengerti, (kirain....).
“Jadi makalah itu kalian bikin keroyokan?”
“Nggaa...” jawab Debi dan Amerta hampir berbarengan, “kita nyuruh Nina yang bikin sendiri, doi kan paling jago bikin makalah....”
“Ayoo buruan cari Nina...!!” Debi menarik lengan kemeja Doni kasar, sementara Amerta mendorongnya dari belakang.
“Eh...eh... sabar dulu... jangan sembarangan pegang-pegang bukan muhrim, kan” Doni menggapai-gapai meja kerjanya yang terletak di samping pintu masuk lalu mengambil kunci mobil. Debi melepaskan tarikannya, Amerta menjauhkan tangannya dari bahu Doni.
Sementara itu, Nina sekarang ini sedang asyik-asyiknya pusing karena semalaman memikirkan lagu ‘Aku tak Sendiri’ yang mampu membiusnya seolah terbang ke awang-awang.
Lagu yang membuatnya tak pernah konsentrasi lagi dalam melakukan berbagai hal. Bahkan dalam shalatnya pun lirik lagu itu masih terngiang-ngiang. Gawat kan? Ntar kalau Allah cemburu gimana?
Sedari pagi tadi, Nina bersama sohib kampusnya yang juga sohib Debi dan Amerta tapi beda fakultas, Rubi, keliling – keliling nyari tempat stasiun StarRadio. Barusan mereka mampir dari StarRadio. Berhubung sekarang yang lagi siaran Bapak-Bapak karena memang segmen acaranya sedang membahas masalah rumah tangga, jadi nggak tahu menahu dengan nada-nada lagu yang dilontarkan Nina.
“Nin, mau kemana lagi sih? Gue udah pegel nih...” keluh Rubi sambil berhenti sejenak dan memijat-mijat kakinya yang udah mulai kesemutan kebanyakan jalan.
“Ya udah deh balik ke kampus aja,” Nina mengambil napas letih dan menghentikan langkahnya yang semakin perlahan.
Ditatapnya udara Tangerang yang sudah kotor dan mulai menghitam karena pencemaran limbah pabrik yang semakin hari semakin parah.
“Nin, kenapa sih elo suka banget sama lagu itu?” tanya Rubi, “sampe penasaran.”
“Entahlah...” pandangan Nina tak beralih dari langit, “hanya saja, sepertinya mewakili rasa kesepian dan rasa hampa yang menghampiriku pada saat aku menerima kabar bahwa aku kalah dalam lomba menulis novel. Kamu kan tahu aku telah berkorban dan berharap banyak dari novel itu. Saat aku kalah siapa yang mau menghiburku? Tak ada, karena memang tak ada yang mau tahu kalau aku kalah...” mata Nina berair mengingat rasa sakit menerima sebuah kekalahan.
Rubi merangkul bahu sohibnya yang memang terkenal sebagai cewek romantis.
“Ya... maaf Nin. Gue ngga tahu kalau elo kalah. Dan gue emang belum tahu itu lagu siapa. Gue juga belum pernah denger nadanya sama sekali, but... maybe gue bisa bantuin elo. Nanti kalo gue ada waktu, gue bakalan nongkrongin MTV sampai tua deh! Sampai keriputan! Siapa tahu itu memang lagu baru yang belum begitu menjadi hits,” Nina menatap Rubi yang hiperbolis banget. Lekat-lekat lalu tersenyum.
“Kamu emang baik, Rub. Ngga salah aku ngajakin kamu bolos hari ini. Lagu itu sepertinya mengingatkan aku kalau yang kalah bukan cuma aku saja, kalau yang bersedih bukan hanya aku saja.”
“Ngomong-ngomong kalo ternyata yang nyanyinya ngga oke atau mukanya jelek gimana? Masih mau nge-fans gituh?”
“Iya dong...!! Aku kan jatuh cinta sama lagunya, bukan sama yang nyanyi atau bikin lagunya. Cuma penasaran aja ... kepengen tahu!” tukas Nina.
“Yang sumpeh lu...” canda Rubi mencubit pipi chubby Nina gemas.
Rubi tahu Nina bukan tipe cewek yang gampang banget bahkan belum pernah sama sekali nge-fans sama penyanyi atau grup band. Yang Rubi tahu sebagai teman SMP dan SMU nya Nina juga, Nina nggak pernah tergila-gila sama satu band, penyanyi, atau dengan artis sekalipun. Padahal masa-masa puber itu kan masa-masa di mana kita sedang getol-getol mencari-cari idola sampai-sampai kaos kaki pun bergambarkan artis idola kita.
Di kala anak-anak lain sibuk ngumpulin poster dan pin-up, Nina malahan asik membaca, menulis, mengarang, dan menggambar. She said, “ngumpulin pernak-pernik kaya gitu cuma buang-buang waktu aja, buang-buang duit, mending buat beli buku sehingga bisa nambah-nambah ilmu yang lebih bermanfaat.” Dan Rubi salut atas prinsipnya yang kuat seperti itu.
Mereka berdua kemudian berjalan di trotoar yang sepi dengan orang-orang. Radio yang mereka datangi tadi terletak di sebuah kawasan elite orang-orang kaya. Yang kalau mau hilir mudik selalu dengan mobil-mobil mewah, jarang sekali ditemukan pejalan kaki.
Setibanya di depan gerbang perumahan langsung deh mereka diserbu sama tukang jajanan kaki lima yang ngga boleh masuk ke daerah perumahan itu. Meskipun sudah beberapa kali kena gusur para PKL itu tetap aja ngotot. Alhasil daerah pintu gerbang perumahan selalu dilanda kemacetan.
Lagi asyik-asyiknya ketawa-ketiwi sambil berjalan menuju halte tempat angkutan umum biasa mangkal. Tiba-tiba seorang laki-laki kurus menyenggol bahu Nina pelan sembari mengalunkan nada-nada lagu ‘Aku Tak Sendiri’. Nina terpaku sejenak.
“Itu... itu tuh cowok itu nyanyiin lagu itu,” langkah Nina terhenti, begitu pun Rubi.
Sementara laki-laki yang dimaksud oleh Nina sudah berjalan menjauh ke arah gerbang keluar perumahan.
“Mungkin dia tahu siapa yang nyanyiin lagu itu, harus aku tanya nih,” putus Nina langsung balik badan dan mengambil ancang-ancang hendak mengejar laki-laki itu.
“Ampun deh, Nina...” gerutu Rubi geleng-geleng kepala tak habis pikir.
Nina melambai-lambaikan tangan menyuruh laki-laki itu berhenti sejenak dari langkahnya yang terburu-buru.
“Woooii... cowok... tunggu sebentar...!!” teriak Nina penuh semangat.
Laki-laki kurus, tinggi, hitam itu menengok ke arah Nina sejurus kemudian mulutnya bergumam kecil, “gawat...” langkah terburu-burunya pun menjadi lari-lari kecil.
Nina mendengus. “Yee... dipanggil malah lari... woi cowok tunggu...!!!” teriaknya sambil mengayunkan kaki berlari mengejar sang doi. Laki-laki itu menengok sekali lagi sambil mendekap kedua tangannya, hampir saja ia menabrak tiang. Kemudian ayunan larinya semakin melaju cepat. Melihat orang yang dipanggil lari kencang, Nina pun ngga mau kalah akhirnya terjadilah kejar-kejaran ala bollywood antara Nina dan laki-laki itu.
Rubi bengong, ling lung nengok kanan-kiri. “Idih... Nina seleranya sama penggaris patah begituan,” mau ngga mau Rubi pun ikut berlari mengejar Nina.
“Nin, ngapain sih elo ngejar-ngejar dia? Mendingan ngejer-ngejer Tora Sudiro! Tungguin gue dong... nyusahin aja. Gue jangan ditinggal sendirian nih!”
Sampai di suatu perempatan, laki-laki itu melintasi mobil Doni. Ia berusaha menghindari kerumunan pedagang-pedagang. Mobil Chevrolet yang berpenumpang Amerta, dan Debi itu langsung ngerem mendadak. Ckiiit... roda-rodanya langsung ngesot-ngesotan sama aspal hampir aja nyeruduk gerobak orang. Kepala Doni nongol dari balik jendela hitam mobilnya.
“Hati-hati dong!” selesai Doni mengucapkan kata-kata itu Nina melintas di depan mobilnya. Nina hanya melihat sekilas tapi tidak ngeh kalo itu Doni karena konsentrasinya hanya pada laki-laki itu.
“Cowok... berhenti dong! Aku cuma mau ngomong sebentar aja,” napasnya tersengal-sengal, tapi tak dihiraukannya.
Doni baru saja berniat membuka mulut hendak memanggil nama Nina. Tapi dia terlalu gugup untuk punya keberanian akhirnya ia cuma bisa bungkam. Amerta dan Debi turun dari mobil dengan kesal.
“Mr.Don... itu Nina, kenapa ngga dikejar?”
“Eh? Emangnya kenapa mesti dikejar?” tanyanya polos pada Amerta.
Gadis berpostur mungil itu merengut kesal.
“Mana Eta tahu... Mr’ yang naksir dia. Mr’ pikir aja pake logika kalau cewek ngejar-ngejar cowok apa artinya? Artinya Nina naksir sama cowok itu,” jawab Amerta asal.
“Hmm...” Doni garuk-garuk jambul.
Tahu-tahu Rubi nongol di depan mata sambil mengatur napasnya yang naik turun. Tangannya mengibas-ngibas di udara menunjuk-nunjuk ke arah Nina berlari.
“Itu Nina dikejar-kejar cowok eh... ngejar-ngejar cowok ngga dikenal... hosh..hosh.”
Doni langsung menangkap artinya, “maksud kamu, Nina dipaksa sama tuh cowok tapi malah dia yang ngejar-ngejar?”
Rubi menggeleng ngga ngerti, Debi geregetan.
“Udah buruan aja kejar Nina, nanti kalau terjadi apa-apa sama Nina, urusan presentasi kita bisa runyam....”
“Betul…betul kalo Nina ngga ada juga siapa yang nanti presentasiin tugas proposal kita?” dukung Amerta.
Doni mengangguk pasti. “Sebagai pejantan tangguh, aku akan selamatkan Nina...!!” ia pun langsung melesat setelah mengambil kuda-kuda lari marathon.
“Teuing akh... Lieur..” Rubi menghapus peluhnya yang segede-gede jempol. Sementara Nina masih berlari-lari sambil teriak-teriak ngalahin tarzan. Jilbabnya berkibar-kibar kayak sangsaka merah putih. Untung rambutnya ora kelihatan.
“Wooii... tungguin akuuu.....!!!”
Pemuda-pemuda sekitar yang emang ga’ ada kerjaan alias nganggur at home, langsung pasang kuping setel telinga demi mendengar suara jejeritan itu.
“Eh... ada cewek teriak-teriak sambil ngejar-ngejar cowok tuh.”
“Wah... gawat dicopet ngkali tuh,” timpal yang lain.
“Bantuin yuk! Kita tangkep copetnya kita gebugin rame-rame,” sulut yang lainnya. “Nyookk....!!!” jawab pemuda-pemuda lainnya serempak. Dalam sekejap mereka ikut berlari mengejar Doni yang sedang mengejar Nina. Dan Nina sedang mengejar laki-laki itu.
Setiap mereka melintasi warung-warung nongkrong pasti selalu ditanyain sama yang lagi pada bengong di sana.
“Ada apa? Ada apa?”
“Maling... copet... gebugin...!” komando para pemuda nganggur itu.
“Lumayan buat latihan otot gratis... tangan gue dah gatel nih.”
“Ikutan akh... daripada molor ga’ ada kerjaan, itung-itung olahraga.”
Alhasil hampir puluhan orang berlari menguntil di belakang Doni. Cowok sumatera tulen ini pun kelimpungan.
“Walah... kok rame-rame pada ngejar saya? Kapan saya jadi pemain sinetron? Tahu-tahu sudah dimintain tanda tangan, ngebut akh...” suasana pun ramai.
Laki-laki yang dikejar Nina tambah ketakutan. Lenggak-lenggok bingung mau kemana lagi, akhirnya ia masuk ke gang kecil, tapi ternyata buntu.
“Dindingnya tinggi banget lagi,” keluh laki-laki itu. Kakinya pun terpaku di tempat, bingung hendak berlari kemana lagi, udah mentok.
“Heiii... berhenti juga kamu hosh... hosh...” suara Nina membuat laki-laki itu tersentak.
Pasrah, laki-laki itu pun berbalik badan. Matanya spontan terbelalak melihat sekerumunan pemuda-pemuda nganggur yang bawa pentongan sampai bawa-bawa cobek plus penggorengan (mau masak mas?) ada di belakang Nina sambil berseringai seram-seram. Laki-laki itu ketakutan, keringat bau kencurnya bercucuran.
“Ampun, neng saya jangan diapa-apain,” rintihnya memohon sambil mengangkat tangan tanda menyerah, kalau ada bendera putih pake bendera putih deh.
“Ge-ER, siapa yang mau apa-apain kamu? Aku nih cewek baik-baik,” bela Nina sedikit tersinggung. Ia tidak mengetahui bahwa ada kerumunan yang siap menggebuki laki-laki itu tepat ada di belakangnya.
Nina pun berjalan mendekat, kerumunan orang dibelakangnya ikut-ikut mendekat. Laki-laki itu teriak histeris meluapkan gemuruh ketakutan yang langsung menghantuinya. Doni masih kebingungan campur ketakutan karena dibelakangnya berkumpul manusia dengan wajah-wajah sangar tapi baby face.
“Eh... kamu ngga usah teriak seperti itu dong, aku cuma mau nanya tadi kamu nyanyiin lagu siapa?” tanya Nina tanpa mau banyak basa-basi lagi.
“Ya... yang mana mbak?” tanya laki-laki itu separuh lega.
“Yang gini nih... na...na...na...na... aku tak sendiri gitu....”
“Tu...tu..tu lagu...yang nya…nyanyi band… ji...ji..ji-kha, mbak...”
“Jika? Nama band?”
“I...iya... Ji-Kha... band mbak, ampun... ampun,” laki-laki itu tak kuasa menahan getar gemeletuk atas rasa takutnya.
Lega yang tadi sempat dirasakan oleh laki-laki itu musnah sudah begitu merasakan aura nafsu mengeroyok massa di belakang Nina yang semakin merangsek ke depan. Dengan raut muka ngga sabaran mau ngabisin nyawa anak orang hiyy.... Laki-laki itu menyerahkan dompet cokelat panjang milik Nina yang tadi sempat ia sekap dalam kemeja bututnya.
“Am...ampun mbak jangan dikeroyok, nih saya balikin dompet mbak. Maaf mbak saya ngga bakal nyopet lagi deh...”
“Hah? Ini kan dompet aku? Yaaa ampun... kamu copet?” Nina mengernyitkan dahi heran.
“Udehhh... jangan nunggu kelamaan, langsung aja gebugin..!!!” seru seorang di antara kerumunan. Nina menengok ke belakang. Barulah ia mengerti kenapa laki-laki ini minta ampun begitu kerumunan itu semakin melangkahkan kaki ke arahnya penuh amarah durja yang asli ngga tahu apa sebab musababnya. Alat-alat pemukul pun secara spontan sudah siaga di udara.
“Heii... berhenti... jangan main hakim sendiri...!!!” Nina mencoba mengklarifikasi keadaan. Tapi massa yang banyak tak mampu dikendalikan hanya dengan suaranya yang cempreng.
Nina pun berbaur dalam aksi pengeroyokan itu. Dengan sigap Doni menarik tangannya berusaha melindungi Nina dari aksi pukul-pukulan yang tanpa pikiran rasional itu, tanpa tahu seluk beluk masalah. Doni mendorong Nina untuk mencoba keluar dari keributan kecil itu.
Nina meratapi kesalahannya. Andai tadi tidak aku kejar dia, pasti dia tidak akan dikeroyok, tapi dompet dan uangku pasti hilang.... Akh Nina apa artinya uang dengan sebuah nyawa milik laki-laki itu? Bagaimana kalau dia mati? Satu orang diserbu puluhan orang pasti sakit sekali. Hati Nina meringis pedih.
Tiba-tiba sebuah batu yang dilempar ke arah laki-laki itu melayang menuju ke kepala Nina. Dengan sigap Doni menjadi tamengnya dan ... BuGg...!!
Login untuk melihat komentar!