Kenangan
Luna tertegun sejenak. “O-oh, iya,” ucap Luna kemudian. Ia memutar kunci pintu dan mempersilakan Aaditya untuk masuk. “Maaf, berantakan.” Luna memunguti kertas yang terserak di meja ruang santai merangkap ruang tamu.

Aaditya sempat memungut beberapa lembar kertas. Ia tersenyum saat melihat gambar rancangan gaun dan tas. “Kamu yang buat?”

“Hanya iseng di waktu luang,” sahut Luna dari arah pantry. Ia kembali ke ruang santai dengan dua kaleng softdrink.

“Sejak kapan suka membuat rancangan begitu?” Aaditya bertanya sambil membuka kaleng softdrink.

Luna meringis. “Sejak ... bekerja di butik Bu Dewi,” jawab Luna.

Tidak ada kursi lain selain sofa panjang bernuansa soft pink dengan sebuah meja kaca. Jadi, mau tidak mau Luna harus duduk bersisian dengan Aaditya yang tampak tenang menikmati minuman dingin dan mengamati setiap sisi rumah Luna.

“Maaf, rumahku tak begitu besar. Jadi ....”

“Ada obeng tidak?”

Luna tertegun. “Ya?”

Aaditya tidak langsung menjawab, ia beringsut dari sofa dan berjalan menuju jendela di samping sofa. 

“Kamu tinggal sama siapa di rumah ini?” tanyanya sembari menggoyang pengait kunci jendela yang hampir lepas.

“Oh, sendirian,” sahut Luna dengan alis berkerut.

“Ambilkan aku obeng,” pinta Aaditya.

Bibir Luna membulat saat memahami maksud Aaditya yang berniat membetulkan pengait kunci jendela. Ia bergegas ke dapur dan mengambil sebuah obeng dari laci dapur. 

Beberapa menit Aaditya sibuk mengencangkan baut pengait kunci yang hampir lepas itu. Luna sesekali menatap Aaditya.

Bagi Luna, Aaditya masih sama seperti yang dulu. Selalu perhatian dengan hal sepele di rumah. Bahkan tak ada perubahan dalam hal fisik. Alis mata yang tegas, bulu mata lentik yang mempertegas manik mata hitam, namun terlihat kecokelatan saat tertimpa sinar terang. Bibir yang selalu mengulum senyum ramah berpadu dengan deretan gigi yang rapi seputih mutiara. Dan satu lagi yang Luna suka. Wangi parfum beraroma lemon yang menyegarkan.

Luna tersenyum memperhatikan kesemuanya. Belum lagi bahu lebar Aaditya di mana dulu Luna sering bermanja-manja di sana. Menyurukkan wajah di punggung laki-laki berparas Asia tersebut meski sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan sekarang, Luna tak bisa lagi bermanja-manja padanya.

“Sudah beres,” celetuk Aaditya membuyarkan lamunan Luna.

Luna tersadar dari kesibukan pikiran sendiri akan Aaditya. “Terima kasih,” gumam Luna pelan.

“Bayar,” gurau Aaditya sembari menahan senyum.

Kedua alis Luna terangkat tak paham.

“Kamu harus membayarku karena telah membenarkan kunci jendelamu,” terang Aaditya lebih jelas.

Luna terkekeh saat menyadari gurauan Aaditya.

“Aku serius,” imbuh Aaditya lagi.

Luna melipat kedua tangan di depan dada, berpura-pura memikirkan bayaran yang pantas. “Aku sedang berhemat, tidak ada uang banyak,” canda Luna. Meski dalam hati Luna membenarkan bahwa ia memang sedang kekeringan keuangan.

“Aah, aku anggap kamu berhutang padaku. Bagaimana kalau secangkir kopi?” pinta Aaditya. “Besok? Secangkir kopi sebagai upah mereparasi jendelamu ini, bagaimana?”

Luna menggigit bibir kemudian menggeleng pelan.

“Ya Tuhan, ternyata tak semudah di awal pertemuan kita. Dulu kamu mengangguk saja saat aku ajak menemaniku minum kopi,” kelekar Aaditya.

“Aku tidak sanggup membelikan kopi terbaik di kafe elit, Ditya,” ucap Luna jujur. Meski demikian, ia tetap menunjukkan senyum terbaiknya.

“Aku tidak memintamu membelikan kopi terbaik di kafe, Luna. Aku mau kopi buatanmu,” timpal Aaditya. “Aku rasa belum pernah ada kopi seenak buatanmu.”

Luna bergeming beberapa detik, namun ia tertawa kecil sembari menutup mulutnya agar tak lepas tawa geli yang ia tahan. “Astaga, aku bahkan pernah salah memasukkan garam ke dalam cangkir kopimu.”

Aaditya terkekeh. Ia masih ingat seberapa ceroboh Luna. Hanya saja tak bisa ia mungkiri bahwa kopi buatan mantan istrinya ini selalu nikmat. Dengan catatan Luna tak salah menuangkan garam.

Keduanya kembali terdiam saling menatap untuk beberapa detik, kemudian melempar pandangan ke luar jendela.

“Sudah berapa lama tinggal di sini?” Aaditya kembali membuka percakapan.

“Mmm, satu tahun,” sahut Luna.
Aaditya menoleh, menatap Luna tak percaya. Itu tandanya Luna memilih hengkang dari naungan keluarga Hardian semenjak mereka bercerai. 

“Kenapa?”

Luna menggeleng dan tersenyum. Ia tidak ingin menceritakan pada Aaditya bahwa ia kacau setelah bercerai darinya. Kekacauan yang teramat membuatnya terpuruk. Menyadari betapa bodohnya ia memilih kebebasan hedon daripada menuruti setiap perkataan suaminya. 

Luna berjanji akan mengubah gaya hidup dan memperbaiki kekacauan yang ia timbulkan sendiri. Ia harus sanggup meski tanpa Hardian maupun Aaditya; dua laki-laki yang pernah ia repotkan dan ia lukai secara bersamaan.

Dering ponsel Aaditya di saku celana chino yang ia kenakan terdengar nyaring. Ia segera mengangkat telepon.

“Iya, Ma?”

“....”

“Iya, aku tahu. Sebentar lagi aku pulang,” sahut Aaditya sebelum akhirnya ia mengakhiri panggilan telepon.

Luna sempat menangkap Aaditya yang menghela napas pelan. 
“Mama?”

Aaditya tersenyum dan mengagguk. “Aku pulang dulu, ya? Jangan lupa dengan kopinya. Besok aku menghubungimu lagi,” katanya sebelum pulang.

Luna mengangguk, mengantar Aaditya hingga teras rumah. Ia masih menatap lurus ke depan sampai sosok Aaditya itu masuk ke dalam mobil dan pergi. Helaan napas ia embuskan perlahan guna membuang rasa tak nyaman. Luna tahu, Tiara, mama Aaditya yang tak begitu suka dengan dirinya. Apalagi semenjak Luna bercerai dari putra sulung Tiara. Wanita paruh baya itu semakin tak bersimpati dengan Luna.

Luna menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, Luna! Ini hanya masa lalu yang lewat. Harus yakin semua akan tetap berjalan apa adanya dan tidak akan kembali ke masa yang dulu. Titik.

~o0o~

Ada yang belum bisa move on, kalau masih cinta, kenapa harus berpisah? 

Tinggalkan like dan komen ya. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!