Lembayung Senja Kala Itu

Lembayung Senja, warna merah jingga cakrawala pada saat menjelang senja atau hampir terbenamnya matahari. Fase puncak dari pergerakan matahari dalam satu hari. Ketika lembayung berakhir, sang surya telah utuh terbenam di ufuk barat dan secara perlahan berganti dengan kegelapan. Terbenamnya matahari sering kali dimaknai sebagai fase penyempurnaan. Siapapun akan tersihir akan romantisme yang dipersembahkan alam.

Dua anak manusia menikmati keajaiban yang diciptakan Tuhan itu dalam sunyi, pesonanya membuat mereka larut. Tangan mereka saling bergenggaman, si wanita menempatkan kepalanya pada bahu lelakinya. Sempurna, bagai fase penyempurnaan Sang surya.

"Kenapa ya, ngelihat matahari terbenam bisa buat kita terpaku? Waktu seakan berhenti." Wanita itu berkata tanpa menoleh pada kekasihnya, ia terlalu mencintai pemandangan di hadapannya. Terbuai dan tenggelam dalam keindahan yang tak berlangsung lama.

Lelaki itu tersenyum, lalu mengecup puncak kepala kekasihnya. "Karna kita ngelihatnya bersama."

Wanita itu tersenyum mendengarkan perkataan Si pria. "Gombal banget."

Lelaki itu tergelak, lalu menangkup kedua wajah wanitanya, menatap ke dalam manik mata wanita itu penuh cinta. Aditya menempatkan tangan Dita pada jantungnya. "Rasakan debarannya saat bersamamu. Semua kata yang keluar dari mulutku keluar dari hati, Dita."

Kedua sudut bibir wanita itu terangkat. Hatinya menghangat dan rasa aneh membuat jantungnya berdegub kencang, sekumpulan kupu-kupu menari-nari di perutnya. Rasa yang akhir-akhir ini membuatnya tak mampu berjauhan dari lelaki itu.

"Kamu nggak akan pergi 'kan, Dit?" wanita itu meneliti sepasang mata di hadapannya, ketakutan tak pernah pergi meninggalkan hatinya. Bagaimana jika suatu saat nanti lelaki itu pergi? Akankah ia mampu bertahan di atas kepingan hati yang telah remuk?

Lelaki itu mempertipis jarak di antara wajah mereka. "Hanya kematian yang dapat memisahkan kita, Sayang. Sampai kita tua, sampai jadi debu. Percayalah!"

Lelaki itu seakan memiliki sihirnya sendiri, tiap kata yang terucap mampu menghapuskan ragu di hati Dita. Wanita itu seakan menemukan tempat aman dan ternyaman di dunia, yaitu di sisi lelakinya. Dita tersenyum bahagia, menangkup wajah lelaki itu dengan kedua tangannya, lalu mempertemukan bibir mereka. Bukan hanya mentari yang mampu menemukan titik kesempurnaannya, karna Dita telah merasa sempurna dengan kehadiran lelaki itu.

***


Mentari mengintip melalui celah jendela, mengusik tidurnya yang nyaman. Ia berusaha melindungi matanya dari sinar mentari, namun tangannya mendadak sakit karna gerakan yang dibuatnya. Padahal, ia tak menggunakan tenaga banyak untuk melakukan hal itu.

Sakit di sekujur tubuh memaksa kedua matanya terbuka. Dita meringis. Semakin hari tubuhnya semakin lemah, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menangisi sikap bodohnya. Wanita itu tersenyum saat menoleh ke samping dan tak menemukan siapapun di sisinya.

Pagi telah tiba, yang artinya, mimpi indahnya berakhir dan digantikan kengerian yang menyelimuti kesehariannya. Andai ia bisa memutar ulang waktu, ingin rasanya ia kembali ke masa di mana lembayung senja masih terlihat indah dan memikat. Sayang, waktu bukanlah gulungan film yang dapat kau putar berulang kali.

Getaran ponsel mengalihkan pandangannya. Nama Sandra tertera pada layar benda pipih itu. Dengan sisa tenaga, Dita meraih ponselnya.

"Nggak kerja lagi hari ini?"

Pertanyaan itu dilayangkan oleh sahabatnya sebelum Dita mengucapkan kata halo. Sudah hampir seminggu lamanya Dita tak bekerja. Bukan malas, namun lebam di tubuhnya belum kunjung sembuh. Bahkan pipinya kembali membiru karna perbuatan lelaki itu tadi malam. Jika terus seperti ini, Dita bisa saja kehilangan pekerjaannya.

"Masih sakit, San."

"Kamu sakit apaan sih, Dit? Dijenguk malah nggak boleh. Kamu beneran nggak pa-pa?"

Dita tersenyum tipis saat mendengar kekhawatiran sahabatnya. Sampai saat ini, ia memang belum berani menceritakan apa yang ia alami pada siapapun. Selain malu, ia merasa harus menjaga nama baik suaminya. Ia menghormati dan juga menrghargai lekaki itu, walau suaminya tak pernah lagi melakukan hal yang sama padanya.

"Besok aku masuk kerja, jadi nggak usah datang."

"Ada yang aneh sama kamu, Dit. Nggak biasanya kamu ambil cuti terus-terusan. Sehari nggak kerja rasanya rugi banget, tapi sekarang, kenapa begini?"

Dita menatap kosong ke hadapan. Ingin rasanya ia mengadu dan mencari punggung untuk bersandar karna ia mulai lelah dengan rumah tangga bak neraka yang tengah ia jalani. Akan tetapi, ia telah kehilangan semua keberanian yang ia miliki.

"Sandra ..." Dita menimbang, haruskah ia membagi sedikit kepiluannya?

"Kenapa sih, Dit?"

"Makasih atas semuanya."

"Ini beneran aneh deh. Kamu kenapa sih?"

"Sampai ketemu besok," ujar Dita, ia segera memutuskan panggilan.

Hatinya berteriak meminta pertolongan, namun ia sungguh tak tahu harus kemana. Hingga saat ini ia tak tahu apa yang mengubah hubungan di antara mereka. Semudah itukah cinta pergi?

Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan pandangan Dita. Mata mereka saling bertemu, sedetik kemudian lelaki itu membuang tatapannya dan berjalan menuju kamar mandi. Dita menunduk, ingin ia bertanya mengapa lelaki itu belum bekerja atau hal-hal santai lainnya, namun bibirnya kelu, kalah akan rasa takut yang menguasai hati.

Dita mengumpulkan tenaga dan hendak berjalan keluar kamar, namun langkahnya terhenti begitu melihat lelaki itu berdiri di ambang pintu kamar mandi. Lelaki itu berjalan mendekat, jantung Dita berjegub kencang, namun bukan seperti perasaan yang dulu begitu ia sukai.

Mereka berdiri berhadapan. Secara tiba-tiba lelaki itu membawanya ke dalam pelukan, tubuh Dita membeku. Hal ini memang biasa terjadi. Lelaki itu menyakitinya, namun keesokan harinya, lelaki itu akan memperlakukannya dengan baik. Membelikan berbagai hal yang Dita sukai, dan mengucapkan kata maaf. Sekali, dua kali, dan hal seperti itu terus berlanjut, hingga Dita tak mampu menghitungnya lagi.

"Kamu pasti capek denger kata maaf dariku 'kan Dita."

Tubuh Dita bergetar hebat. Sungguh ia tak mengerti hatinya sendiri, apalagi pria yang sudah dikenalnya selama sepuluh tahun. Pasti ada sebab dibalik prilaku yang diterimanya dari lelaki itu, namun Dita tak berani mencari tahu.

"Tapi aku nggak akan capek minta maaf darimu, Sayang."

Air mata Dita mengalir dan membasahi pipinya. Hatinya pedih. Ia******ke penjuru hati, namun tak menemukan apa pun di sana. Hampa. Bahkan panggilan sayang dari lelaki itu tak mampu menghidupkan hatinya yang telah mati.

Lelaki itu melepaskan pelukan mereka. "Aku nggak tahu apa yang salah sama aku, Dita. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini. Dita ... aku cinta sama kamu." Kini air mata lelaki itu mengalir deras, akan tetapi, Dita tak merasakan apa pun karna ia tahu semua ini tak 'kan berlangsung lama.

"Adit ..."

Aditya menangkup wajah Dita dengan kedua tangan dan menatapnya lembut. "Ya, Sayang. Kamu mau maafin aku 'kan? Kamu nggak akan pergi 'kan, Dita?"

Hanya Tuhanlah yang tahu apa yang hatinya rasakan saat ini. Pedih bukan main, tak berdaya, namun tak mampu pergi.

"Kita cerai aja ya, Adit. Aku nggak kuat lagi." Dita terisak.

Lelaki itu membuka lebar kedua matanya dan segera mendorong tubuh wanita itu, tak cukup melihat wanita itu jatuh, ia malah menendang perut Dita. Wanita itu meraung dan memohon ampun, akan tetapi Aditya seakan tuli.

"Kamu nggak waras, Dita. Kamu gila!"

"Ampun ... Adit ..." Dita tahu jika semua ini akan terjadi, lagi, dan lagi.

"Jangan pernah katakan cerai karna aku nggak akan pernah ngelepasin kamu. Ingat itu!"

Lelaki itu segera pergi, meninggalkan Dita yang kembali meringkuk di lantai kamar yang dingin. Luka di sekujur tubuh belum sepenuhnya sembuh dan ia kembali menerima luka baru. Bukan hanya raga yang sakit, namun hati Dita perih bukan main, seakan mati.

***


Dita terpaku di tempatnya berdiri begitu masuk ke rumah dan mendapati ruang tamu yang telah disulap sedemikian rupa. Lampu-lampu kecil membentuk kata hati dengan tulisan 'maaf' di bagian tengahnya menjadi fokus Dita.

Dita tersenyum miris. Untuk apa kata maaf, jika kau tak mampu menjaga makna dari kata itu dan mengulangi kesalahan yang sama. Sungguh, Dita tak lagi mengerti dengan ritual maaf dan kembali menyakiti ini.

Entah dari mana lelaki itu muncul dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Dita. Lelaki itu memberikan Dita setangkai mawar merah dan juga kotak kecil yang dibungkus dengan kertas kado berwarna senada dengan mawar di tangan lelaki itu.

"Selamat datang di rumah, Sayang." Lelaki itu mengecup pipi Dita.

Dita menatap nanar lelaki di hadapannya, namun ia memaksakan senyum menghiasi wajah. Mengulang kejadian sama berulang kali membuatnya sadar, jika kepura-puraan mampu menyelamatkan raganya. Walau hanya bertahan selama beberapa hari.

"Makasih, Dit." Dita mengambil mawar dan juga kado yang diulurkan lelaki itu padanya.

"Buka dong kadonya."

Dita mengangguk dan segera membuka kotak itu dengan perlahan. Sisir kecil dengan permata di bagian tangannya terlihat cantik dengan ukiran bunga mawar yang berada di bagian ujungnya.

"Aku lihat, sisirmu hilang tadi pagi."

Dita menatap Aditya dengan tatapan tak percaya. Jika saat seperti ini, mereka seakan kembali menjadi pasangan normal, bagai mengulang lembayung senja kala itu. Dita bagai melihat bayangan ilusi di kedua mata lelaki itu, kepalsuan tentang cinta yang pernah lelaki itu tawarkan dan dengan bodohnya diterima oleh Dita.

"Makasih, Adit. Aku beneran butuh sisir."

Aditya tersenyum bahagia, seakan telah melakukan hal yang benar. Akan tetapi, kau tak mungkin bisa memperbaiki hal yang patah hanya dengan perhatian yang akan sirna dalam sekejap mata. Hati tak mudah sembuh, walau kau tak lagi melihat luka di permukaannya.

Aditya memeluk erat tubuh Dita. "Aku mencintaimu, Dita," bisiknya pelan. Kata itu sempat menjadi kata favorit Dita. Ia bahkan pernah diam-diam merekam ucapan lelaki itu dan memutar rekaman itu setiap malam agar bisa tertidur lelap, namun sekarang kata itu seakan kehilangan makna. Tak terdengar semerdu dulu lagi.

"Maafin aku ya, Sayang. Aku nggak akan menyakitimu lagi. Aku janji."

Haruskah Dita bahagia mendengarkan janji itu? Tentu saja tidak, karna Aditya akan kembali melanggar janji yang dibuatnya. Sekali, dua kali, Dita bahagia dan mempercayai janji yang Aditya berikan, akan tetapi, perlahan ... janji itu hanyalah omong kosong yang tak bisa dipenuhi oleh si pemberi.

Aditya melepaskan pelukannya, menatap lembut istri tercintanya sembari tersenyum lembut. "Dita ... kamu mau maafin aku, 'kan?"

Dita mengangguk sembari tersenyum. Tentu saja maaf bisa ia berikan, namun hatinya tak 'kan pernah bisa sembuh lagi. Ia telah mati, hanya raga kosong yang Aditya miliki darinya.

"Makasih ya, Sayang."

Aditya terlihat bagai bocah kecil yang bahagia saat mendapatkan mainan yang diinginkannya. Ia mengecup bibir ranum Dita, melumatnya perlahan, dan ia seakan kembali mendapatkan Dita yang disakitinya. Wanita yang telah ia bunuh secara perlahan.