Cinta Telah Lama Mati

Dita menunduk kecil sembari tersenyum kepada siapapun yang ditemuinya, meski tak ada yang bisa melihat langsung senyumannya karna bibirnya terhalang oleh masker yang ia kenakan.

Tepukan pada bahu, menghentikan langkah Dita. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum saat menemukan Sandra. "Selamat pagi," sapanya ramah.

Sandra meneliti. "Masih sakit?"

Dita mengangguk. "Flu biasa," dusta Dita. Tentu saja ia tak 'kan melepas masker karna luka di bibirnya masih terlihat jelas di sana.

Sandra menarik tangan Dita menuju ruangannya, mengunci pintu di balik punggung mereka, dan menatap Dita intens.

Dita tertawa kecil. "Kenapa sih, San? Segitu kangennya sama aku?"

Secara tiba-tiba Sandra menarik masker yang menutupi sebagian wajah Dita, wanita itu terkejut dan segera menutup bibirnya dengan tangan. Namun telat karna Sandra sudah melihat luka di sudut bibir sahabatnya.

"Benar dugaanku, 'kan?"

Dita menautkan kedua alis. "Maksudmu?"

Sandra berdecak sebal. "Kamu nggak pernah lagi berani memakai pakaian nggak berlengan, meminta dibuatkan KTP palsu, kamu meringis saat nggak sengaja aku mencengkram lenganmu waktu itu, dan aku diam-diam melihat lebam biru saat kamu membuka blazer di ruanganmu. Terlalu banyak keanehan pada dirimu, Dit."

Sikap detektif Sandra kerap membuat Dita tak suka. Semenjak zaman sekolah dulu, wanita itu selalu mampu mengulik semua rahasianya. Sandra menyukai peran sebagai detektif, hingga tak mudah mengelabui wanita itu. Dita merampas masker dari tangan Sandra, memakainya, dan hendak meninggalkan ruangan sahabatnya itu, namun Sandra mencegahnya.

"Ceritakan padaku, Dita. Kamu nggak sendirian di dunia ini." Sandra menatap Dita penuh amarah, "Nggak perlu berlagak tangguh di depanku. Kita udah kenal lama, Dit."

Keduanya saling bertatapan dalam diam. Bisakah ia membagi sedikit bebannya pada Sandra? Bolehkah ia mencari sandaran bagi hatinya yang lelah?

"Aku baik-baik aja, San." Pada akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari bibir mungilnya.

"Pembohong!"

"Terserah."

"Dia pelakunya? Aditya? Aku akan melaporkannya ke polisi." Sandra segera berjalan ke arah meja kerja, hendak meraih telpon yang berada di sana. Sontak, Dita mencegah Sandra.

Rasa takut menjalar perlahan dan memenuhi setiap relung hatinya. "Bukan seperti itu."

"Kamu gila, Dit! Kemana perginya sahabatku yang berani, pintar, dan mandiri itu?"

Dita menatap sahabatnya sendu. Semua itu telah pergi meninggalkannya, tak ada lagi Dita yang dulu tersisa di dalam jiwanya yang kerdil. Dita duduk di sofa panjang yang berada di ruangan, diikuti oleh Sandra.

"Aku mencintainya," ucap Dita lirih, terdengar seperti berbisik.

"Dasar tolol! Lalu, untuk apa KTP palsu? Kamu mau lari, 'kan? Ya lari aja, ngapain tetap bertahan Dita?"

Dita tersenyum miris. Ia memang pantas menerima makian itu. Memang sebodoh itu dirinya. Sesungguhnya, ia pun tak lagi tahu rasa apa yang tersisa di dalam hatinya yang penuh luka, mungkin memang cinta yang ada di sana.

"Aku mencoba, tapi aku nggak bisa, San. Aku mungkin ... cinta, atau kasihan. Aku nggak tahu lagi dengan hatiku sendiri."

"Mana mungkin masih ada cinta tersisa setelah kamu disiksa habis-habisan, Dit! Tolong jangan jadi wanita bodoh yang dulu sering kita komentari bersama."

Dita menunduk. "Aku memang bodoh."

Sandra mencengkram kedua lengan Dita dan menguncak pelan tubuh wanita itu, ingin menyadarkan sahabatnya yang mungkin saat ini tengah tertidur. "Please, wake up! Kenapa kamu lebih suka dikatain bodoh daripada pergi?"

"Aku pernah mencoba pergi, San. Tapi, nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Kita harus segera ke kantor polisi, biarkan lelaki kurang ajar itu mendapatkan ganjarannya."

Dita menatap sahabatnya nanar. "Aditya nggak seperti itu, San. Dia ..."

"Dia jahat!" sela Sandra.

"Dulu, dia nggak begitu."

Sandra mendengkus kesal. "Dulu itu masa lalu, kalau sekarang dia berani menyiksamu, berarti Aditya yang dulu udah mati. Kamu yang harusnya sadar akan hal itu!"

"Aku pernah minta cerai, tapi dia malah makin marah. Aku takut, San. Mungkin, masih ada dirinya yang dulu tersisa di dalam hatinya. Aku mau menunggu, San."

"Tunggu sampai kamu dibunuh sama dia?"

Dita terkejut dengan pertanyaan Sandra, namun ia tak percaya jika Aditya bisa membunuhnya. Dita segera berdiri. "Kita bicara lagi nanti." Ia segera berjalan keluar meninggalkan Sandra yang menatapnya penuh amarah.

Sungguh, Sandra tak ingin melihat sahabatnya terluka terus-menerus, namun ia tak tahu harus melakukan apa saat sahabatnya itu tak mau menerima uluran tangannya.

Kenapa kamu bisa sesial ini, Dit?

***

Dita mendesah pelan saat sadar jika dokumen di mejanya tak berkurang walau sudah hampir seharian ini ia mengerjakan semua itu. Ia menoleh ke samping, menatap keluar jendela, demi mengusir kebosanannya. Pekerjaannya memang melelahkan, namun itu jauh lebih baik daripada pulang ke rumah.

Berada di rumah membuatnya sesak napas. Apalagi jika suasana hati Aditya sedang tidak baik, salah bicara sedikit saja, maka ia akan menambah luka baru di tubuhnya.

"Mbak Dita masih belum mau pulang?"

Suara lelaki itu menarik Dita kembali ke alam nyata, Dita tersenyum saat menemukan Liam di ambang pintu ruangannya. "Belum. Sebentar lagi."

"Boleh masuk?" tanyanya sopan, Dita mengangguk.

"Kamu lembur hari ini?" tanya Dita begitu Liam sudah duduk di hadapannya.

"Iya, Mbak. Biasa ... closing. Ini 'kan akhir bulan."

"Oh iya juga. Hmm ... Sandra udah pulang?"

"Mbak Sandra udah pulang duluan. Katanya, ada urusan mendadak."

Dita mengangguk-angguk mengerti. Sandra adalah manager bagian finance, wanita itu memutuskan melamar pekerjaan di tempat Dita bekerja karna sulit bertemu dengan sahabatnya, Lagipula bekerja bagaikan pengisi waktu luang bagi Sandra, hingga ia tak masalah di tempatkan di mana saja asalkan bisa berdekatan dengan Dita.

Tentu saja, Dita terkejut dengan kehadiran Sandra, namun dalam hati kecilnya ia bahagia. Setidaknya ia memiliki seseorang yang bisa menghibur hatinya yang malang. Akan tetapi keberadaan Sandra di dekatnya semakin membuatnya takut, apalagi wanita itu selalu bisa menemukan semua hal yang disembunyikannya.

Sandra nggak biasanya pulang cepat, dia malah suka kerja lembur. Ada urusan apa ya?

"Mbak Dita mau makan malam? Kami mau keluar makan."

Dita menggeleng. "Nggak. Sebentar lagi aku udah mau pulang, kok."

Liam mengangguk. "Kalau gitu, aku tinggal dulu ya, Mbak."

Dita mengangguk, lalu melambaikan tangan di udara, mengantarkan Liam yang keluar dari ruangannya. Dita kembali menoleh ke samping. Hatinya cemas karna sahabatnya itu telah mengetahui rahasianya. Ia takut, jika Sandra yang nekad akan melakukan hal yang tak diduganya.

Getaran ponsel di meja membuyarkan lamunan Dita. Nama Aditya yang muncul di sana membuat Dita ragu menjawab panggilan tersebut, namun ia tahu, jika mengabaikan panggilan itu bukanlah hal yang bijak. Sedetik kemudian Dita mengeser gambar telpon yang ada di layar.

"Aku udah di lobby kantormu. Ayok pulang!" ucap Aditya sebelum Dita sempat mengucapkan halo.

"Aku beresin tas dulu ya," ucap Dita, lalu mematikan panggilan.

Beberapa menit kemudian ia sudah menemui Aditya yang menyambutnya sembari tesenyum manis. Lelaki itu membawa Dita ke dalam dekapannya, lalu mengecup mesra kening istrinya. Entah mengapa Dita merasa risih dengan perlakuan yang dulu disukainya.

"Kamu capek?"

Dita menggeleng. "Nggak, kok."

"Mba Dita udah mau pulang?" pertanyaan itu membuat kedua insan yang tengah berpelukan menoleh ke sumber suara, Sari yang tidak lain adalah rekan kerja Dita menatap keduanya dengan tatapan iri.

"Iya, Sari. Aku duluan ya."

Sari mengangguk. "Hati-hati di jalan ya, Mbak."

Entah sejak kapan Aditya menularkan kemampuan beraktingnya pada Dita. Sampai-sampai Dita terbiasa berpura-pura bahagia saat mereka bersama. Aditya menggenggam erat tangan Dita, ia menceritakan banyak hal, namun Dita hanya menjadi pendengar setia yang tak mengerti dengan apa yang lelaki itu katakan.

Mungkin cinta memang telah lama mati.

***

Meja makan panjang berisi beraneka ragam jenis makanan dikelilingi oleh lima orang yang menyantap makanan mereka dalam diam. Dita mulai terbiasa dengan keheningan dan ketegasan yang terlihat jelas di dalam keluarga Aditya. Dita mulai mengerti dari mana sikap keras Aditya, ayahnya. Reza, pengusaha sukses yang tak segan-segan memukul anaknya di hadapan ibu tiri Aditya dan juga dirinya.

Pernah sekali Dita mencoba membela, Radit, adik tiri Aditya yang tengah dimarahi oleh Reza. Hampir saja pipi mulusnya ditampar oleh Reza, beruntung Aditya segera menengahi dan melindunginya. Aditya memang terlihat normal dan sangat melindungi, namun tidak bila ia mabuk, ataupun suasana hatinya buruk.

"Jadi ... kapan kalian punya anak?" Reza mencairkan keheningan di meja makan. Dita menunduk, sementara Aditya menatap ayahnya sembari tersenyum.

"Belum rezeki, Pa. Nanti juga Dita akan segera hamil," ucap Aditya sembari mengusap lembut punggung istrinya.

"Jangan ditunda-tunda. Sudah lama kalian menikah. Mau nunggu apa lagi?"

Aditya memaksakan senyum dan Dita tahu jika lelaki itu tengah menahan amarahnya. "Nggak ada yang ditunggu. Papa tenang saja, sebentar lagi, kami akan memberikan Papa cucu."

"Sebaiknya kamu menepatinya!"

Aditya menggenggam kuat sendok di tangannya. Sementara Dita tak berani berbicara apa pun. Kegiatan makan kembali dilanjutkan dalam keheningan. Begitulah keluarga Aditya, lelaki mendominasi hubungan, dan perempuan tak diizinkan untuk mengemukan pendapat.

Menit demi menit telah berlalu, mereka tiba di rumah. Aditya segera menuju kamar, sementara Dita berjalan ke dapur, hendak membereskan bekal obat-obatan herbal untuk kesuburan yang diberikan mertuanya tadi. Dita menatap sedih sekantong obat herbal itu, ia tak ingin hamil dan mengandung anak dari pria yang menghancurkan dunianya.

Dita membuang kantong obat itu ke dalam tong sampah, namun kegiatannya terhenti saat matanya menemukan Aditya yang berdiri tidak jauh darinya. Lelaki itu berjalan mendekat, rasa takut kembali merasuki Dita. Ia memasang ancang-ancang.

"Bukannya itu obat yang dikasih Papa tadi?"

Dita mengangguk. "Aku nggak mau punya anak."

Aditya mengeraskan rahang, lalu mengunci tubuh Dita. "Kenapa? Jadi, selama ini kamu berusaha untuk nggak hamil?"

"Aku nggak mau anakku tersiksa nantinya."

Aditya tersenyum miring. "Aku nggak akan menyiksa orang yang kusayangi."

Dita tertawa kecil. "Oh ya?"

Aditya mengepalkan tangannya. Ia menenggelamkan wajahnya pada leher jenjang Dita, tubuh Dita menegang, ketakutakn mendominasi hatinya. Tak ada lagi gairah maupun kehangatan saat Aditya melakukan kontak fisik, perlahan rasa jijiklah yang ia rasakan.

Aditya mencium,******leher Dita, sementara wanita itu menutup mata rapat-rapat dan berharap lelaki itu segera menghentikan kegiatannya.

"Aku menyukai lehermu, Dita. Melihatnya saja bisa membuatku terangsang." Aditya menjauhkan wajahnya dan menatap ke dalam manik mata Dita, "Nggak pa-pa kalau kamu nggak mau punya anak sekarang, tapi aku akan membuatmu segera hamil, Dita." Seringaian terlukis jelas di wajah Aditya.

Hal selanjutnya yang terjadi membuat tubuh Dita bergetar hebat. Aditya melepas pakaiannya, mencumbui leher, dan juga bibirnya dengan rakus. Aditya menggendong Dita, lalu menempatkan tubuh wanita itu pada meja yang ada di sana. Aditya menjelajahi tubuh yang membuatnya tergila-gila, permainan Aditya kasar dan penuh gairah, namun Dita hanya diam dan menerima semua itu tanpa perasaan apa pun. Ia bagai patung tak bernyawa.