Andai waktu dapat diulang kembali, mungkin tak 'kan ada yang namanya penyesalan. Jika saja Dita bisa kembali ke suatu masa, ia ingin kembali di saat Aditya melamarnya. Tak seharusnya ia menerima lamaran lelaki itu. Dita terlalu bodoh dan tidak mengerti akan cinta yang sebenarnya. Yang ia inginkan hanyalah terbebas dari kehidupannya yang terasa melelahkan.
Dita melirik lelaki di sampingnya, sekilas tak ada yang berubah dari lelaki itu. Saat tertidur seperti ini, lelaki itu masih tampak sama seperti dulu. Aditya-nya yang hangat. Dulu, Dita selalu berusaha bangun lebih awal demi menatap pemandangan langkah ini, namun sekarang sudah tak pernah lagi. Entah memang hatinya yang sudah hancur lebur atau Dita telah lupa sisi yang sempat begitu disukainya dari Aditya.
Dita segera membuang pandangan ke sembarang arah saat lelaki itu menggeliat. Sedetik kemudian, ia memutuskan pergi dari kasur dan membersihkan diri. Ia tak boleh lagi tertipu dengan topeng yang lelaki itu tunjukkan. Mungkin ... cinta telah berubah menjadi iba, namun apakah rasa kasihan saja cukup untuk membuatnya terus bertahan?
Menit demi menit telah berlalu, setelah menyelesaikan tugasnya sebagai istri, Dita cepat-cepat pergi seperti yang biasa ia lakukan. Ia memang tak pernah membangunkan lelaki itu dan selalu pergi sebelum lelaki itu terbangun.
Dita mempercepat langkah memasuki ruangannya, beberapa orang menyapanya seperti biasa, dan ia akan membalas ramah. Ia segera membuang tas ke meja, lalu duduk pada kursi kebangaannya. Jarinya segera mengetikkan sesuatu pada keyboar dan menelusuri semua hasil pencariannya.
"Gilang," gumamnya sembari membaca artikel yang terpampang pada layar komputer, "Gilang Prayoga," lanjut Dita. Dengan terburu-buru ia mencatat semua detail tentang lelaki itu di kertas, lalu menyimpanya ke dalam tas.
Ketukan pada ruangan menghentikan kegiatan Dita, wanita itu mempersilahkan orang di balik pintu untuk masuk. Dewi, rekan kerja Dita, wanita berhijab Biru itu tersenyum ramah padanya dan berjalan mendekat.
"Mbak Dita, sebentar lagi ada meeting."
Dita mengangguk dan mengucapkan terimakasih. "Setelah meeting. Apa masih ada hal urgent yang mengharuskan saya stay di kantor?"
Dewi memeriksa agenda, lalu menoleh pada Dita. "Nggak ada, Mbak. Sampai jam satu nanti, jadwal Mbak kosong."
Dita mengangguk mengerti. "Saya mau keluar kantor jam satu nanti. Tolong di backup ya, Wi."
Dewi mengangguk. Dita mengucapkan terimakasih, segera berdiri, dan mengajak Dewi untuk pergi bersamanya ke ruang meeting. Dita harus menyelesaikan semua pekerjaannya, sehingga ia bisa keluar dengan tenang siang nanti. Hanya saat bekerjalah ia mendapatkan kebebasan, oleh karena itu ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Menit demi menit telah berlalu. Di sinilah Dita sekarang, berdiri di hadapan ruko dua lantai. Ia membaca papan nama yang tertera di dekat pintu masuk, menarik nafas, lalu membuangnya perlahan. Dita disambut seorang resepsionis begitu ia memasuki tempat itu.
Tidak lama menunggu, lelaki yang ditunggunya sudah duduk di kursinya dan tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"
Dita meremas jemari, ragu-ragu untuk mengungkapkan alasannya datang ke tempat itu. Ia tak dapat mencegah tubuhnya yang bergetar ketakutan kala mengingat begitu banyak usahanya yang gagal. Dita menunduk. Memaki dirinya sendiri dalam hati, mencari keberanian yang sempat ia kumpulkan tadi, namun tak menemukannya.
"Mohon maaf, saya nggak akan bisa membantu kalau Anda nggak mulai berbicara."
Dita mengangkat wajah dan menatap nanar lelaki di hadapannya. Mampukah lelaki itu membebaskannya dari Aditya?
"Saya dengar, Anda pengacara terbaik di negeri ini."
Lelaki itu tertawa kecil. "Itu yang banyak orang bilang."
"Saya ingin bercerai dengan suami saya. Anda bisa membantunya?"
"Tentu saja."
Dita tersenyum sinis mendengar nada percaya diri pada lelaki itu. Semua pengacara yang ia temui selalu mengatakan hal yang sama, namun mereka semua mundur ketika tahu siapa suaminya.
"Saya nggak akan menuntu harta apa pun dari dia. Saya hanya ingin terbebas dari neraka yang diciptakannya."
Lelaki itu menempatkan tangan di meja dan menopang dagu, ia menatap Dita penuh minat. "Pernikahan kalian nggak bahagia?"
Dita tersenyum miris, lalu menunduk. Bahagia? Ia bahkan melupakan arti dari satu kata itu. Kata orang, hanya hati yang bisa mengerti kebahagiaan, namun hatinya seakan mati.
"Anda nggak boleh mundur lagi," ujar Dita penuh penekanan.
Lelaki itu mengerutkan kening. "Tampaknya, ini bukan tentang perceraian biasa."
Dita mengangguk pelan. "Aditya Praditya."
Lelaki itu tampak berpikir keras.
"Itu nama suami saya, Pak Gilang."
"Namanya familiar."
"Saya nggak mau bohong. Ini akan menjadi kasus tersulit Bapak."
Lelaki itu menautkan kedua alis, lalu ia mengingat sesuatu. "Praditya Group. Perusahaan kontraktor terbesar di Indonesia yang mengusai banyak properti di seluruh negeri?"
Dita semakin menguatkan remasan pada jemarinya, cemas mulai mengisi setiap relung hatinya. Tidak ada seorangpun yang berani melawan Praditya Group.
"Mohon maaf karna saya harus menolak keinginan Anda."
Dita trsenyum miris, lalu memberanikan diri menatap sepasang mata lelaki di hadapannya. "Saya pikir, Anda berbeda dengan yang lain." Dita menghela nafas panjang, "Ternyata sama saja."
"Saya masih mengingat salah satu wawancara Anda di televisi. Di sana, dengan percaya diri, Anda mengatakan akan membela yang benar. Tak peduli mereka miskin ataupun kaya, selama mereka melakukan kebenaran, maka Anda akan membelanya. Anda memberi harapan untuk orang yang putus asa, tapi tampaknya saya salah."
Lelaki itu menatap Dita lekat. "Saya memang akan membela yang benar, namun keadaannya berbeda dengan Anda, Anda hanya ingin memutuskan hubungan pernikahan."
"Tapi ... Apa Anda nggak mengerti, jika seseorang bercerai bukan hanya karna bosan."
"Lalu, apa masalah Anda dengan Pak Aditya? Jika Anda sendiri nggak berani berkata jujur, bagaimana saya bisa membela Anda?"
Dita mengigit kuat bibir bawahnya. Apakah ia sanggup untuk membuka semua lukanya pada seorang asing? Belum sempat Dita berpikir, bunyi notif ponsel menginterupsi. Dengan cepat Dita mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan tubuhnya bergetar saat membaca pesan Aditya.
Kamu di mana? Kenapa nggak ada di kantor?
Dengan terburu-buru Dita memasukkan kembali ponselnya. Sebelum ia beranjak pergi, ia menoleh dan menatap sendu Gilang yang menatapnya bingung.
"Anda nggak tahu gimana rasanya berdiri di tepi jurang keputusasaan. Anda harapan terakhir saya," ucap Dita lirih. Mati-matian ia menahan air mata agar tidak tumpah. Belum sempat lelaki itu merespon, Dita sudah beranjak pergi.
Perkataan Sandra dan prilaku Aditya yang tak juga membaik membuat Dita lelah. Semakin lama ia semakin kehilangan dirinya sendiri dalam pernikahan bak neraka. Ia sudah pernah mencoba pergi menggunakan KTP palsu yang dibuatkan oleh Sandra, namun tertangkap. Ia pernah diam-diam pergi dari rumah, akan tetapi Aditya selalu berhasil menemukannya. Bukannya tak mencoba pergi, Dita telah melakukan banyak hal, namun tak ada satupun yang berhasil. Yang ia butuhkan hanyalah sedikti harapan, di mana dirinya bisa melanjutkan hidup dengan bahagia.
Aku masih mau hidup!