Kehilangan Makna

Hujan deras dan juga suara petir yang mengerikan tak mampu membuat wanita itu ketakutan. Monster yang selama ini ia sebut sebagai suami adalah satu-satunya yang merenggut perasaan takutnya. Tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri, dinginnya lantai dan udara membuatnya mulai menggigil. Ia tak mampu menemukan tenaga tambahan untuk beranjak pergi, yang bisa ia lakukan hanya meringkuk dan menangis dalam sepi.

Perih di sudut bibir dan sekujur tubuh membuatnya yakin jika tak lama lagi malaikat kematian akan menjemputnya. Ia tersenyum miris. Biarlah ia dijemput secepatnya, setidaknya ia tak harus merasakan sakit lagi. Ia tak harus hidup dalam ketakutan dan menanti monster itu kembali menyakitinya.

Setahun kehidupan pernikahannya bagai mimpi indah yang kini telah berakhir. Lelaki itu tak lagi sama. Hampir setiap malam, lelaki itu kembali dalam keadaan mabuk. Tak suka ditanya dan menjawab, perlahan penikahan yang sempat ia banggakan mulai kehilangan makna. Ia hanyalah pemuas nafsu dan juga amarah bagi Sang monster. Tak ada lagi kehangatan dalam pernikahan yang sempat membuatnya merasa menjadi manusia paling bahagia di dunia.

Ia tak menyangka jika sehebat itu pengaruh waktu pada hidup seseorang. Mengapa harus ada akhir dari kebahagiaan yang menguasai hati? Kenapa harus ada gelap jika terang lah yang kita butuhkan? Cinta memang tak mampu menjamin kebahagiaan seseorang dan waktu lah penentu dari perasaan yang penuh makna itu. Tetap tinggal atau sirna dalam sekejap.

"Bangunkan aku dari mimpi ini."

Meski hatinya selalu berteriak, akan tetapi tak ada satu orangpun yang mampu mendengarnya. Tak ada pahlawan seperti di film-film yang sering ia tonton, ia tak memiliki seorang penyelamat. Wanita itu tak tahu lagi tujuan hidup dan ikatan suci yang ia pertahankan hingga saat ini.

Sesungguhnya, ia bisa saja pergi meninggalkan semua yang ia miliki, namun kakinya terasa berat. Ia membenci wanita dalam sinetron yang kerap menjadi budak cinta para suami yang menindas mereka habis-habisan. Ia betah mencaci-maki wanita-wanita seperti itu seharian, ia bahkan menyebut mereka 'bodoh', akan tetapi lihatlah dirinya sekarang. Menjilat ludahnya sendiri. Mengais cinta yang telah sirna dan bertahan di atas puing-puing hati.

Bukan alasan materi yang membuatnya takut melangkah maju, ia aman secara finansial. Dirinya adalah seorang manager produk di sebuah perusahaan eletronik ternama di Indonesia. Bukan pula masalah takut anak yang tak 'kan memiliki ayah jika ia pergi, karna hingga saat ini Tuhan belum memberikan mereka keturunan. Miris, namun ia merasa beruntung. Setidaknya, ia tak harus membawa orang yang disayangi tenggelam bersamanya.

"Kata orang, pernikahan akan mengubah kita. Apa lebih baik, kita nggak usah menikah?"

Sebutlah ia bodoh, namun itulah yang dulu ia kemukakan saat Aditya melamarnya. Lelaki itu tak mundur, ia malah meyakinkan wanitanya jika cinta mereka tak 'kan pernah berubah. Pernikahan adalah akhir bahagia untuk kisah yang telah mereka rakit bertahun-tahun. Manisnya perkataan pria itu, membuatnya mampu melihat masa depan yang penuh tawa.

"Kalau suatu saat nanti semuanya berubah, apa kamu masih mencintaiku?"

Wanita itu tak pernah menyukai perubahan. Terlahir di keluarga 'broken home' membuat presepsinya akan pernikahan tak begitu baik. Ia tak percaya jika ikatan itu tak 'kan goyah. Buktinya, ayahnya meninggalkan ibu dan dirinya demi wanita lain, membiarkan Sang ibu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Wanita itu terbiasa hidup susah dan mandiri semenjak kecil, membuatnya tak ingin bergantung pada seorang pria.

Lalu, Aditya datang dalam hidupnya. Memberinya tempat nyaman untuk bersandar, meruntuhkan tembok pertahanan, dan perlahan membuatnya mulai menggantungkan diri pada lelaki itu. Ia merasa begitu dicintai. Aditya mengajarkannya jika cinta itu nyata dan tak semua pernikahan akan berakhir mengenaskan. Akan tetapi, lihatlah hasil kepercayaan penuh yang ia berikan untuk lelaki itu. Aditya yang mengajarkannya cinta, ia pula yang menghancurkannya.

Suara ponsel yang berada pada satu-satunya meja di ruang tamu terdengar ke penjuru ruangan, membuat wanita itu membuka mata. Ingin ia merangkak, mengambil benda pipih itu, dan mencari pertolongan, namun sakit yang mendera sekujur tubuh membuatnya tak mampu melakukan semua itu. Ia sudah mencoba, tapi keputusasaan merengut sisa tenaganya.

"Inikah akhir semuanya? Apakah aku akan mati seperti ini?" wanita itu tersenyum miris.

Dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah membayangkan jika seperti inilah akhir hidupnya. Ia pikir, mereka akan bersama hingga ajal menjemput. Tak berlebihan jika ia pernah membayangkan, jika suatu saat nanti mereka berdua akan bergenggaman tangan, menatap senja berpulang, dan saat itulah malaikat kematian menjemput mereka. Senyum mereka merekah indah walau maut di depan mata. Naas, impian tak selamanya bisa menjadi nyata.

Tubuhnya semakin dingin, ia seakan mati rasa dan menggerakkan anggota tubuhnya terasa begitu sulit. Tiga jam sudah ia berada di keadaan yang sama, berulang kali matanya terpejam, namun kembali tersiksa kenyataan saat kedua matanya terbuka. Tak ada siapapun di sana yang akan menolongnya.

"Toxic relationship nggak harusnya kamu pertahankan. Kamu nggak selemah ini, Dita!"

Dita tersenyum miring mengingat perkataan Sandra, sahabatnya. Ya, selama ini ia tak pernah menunjukkan kelemahan, hingga mampu menduduki posisi manager di perusahaannya dalam waktu tiga tahun. Semua orang mengakui kehebatannya dalam pekerjaan, sikap mandiri, dan juga pribadi yang menyenangkan. Namun, semuanya perlahan sirna. Ia seakan kehilangan Dita yang percaya diri itu dalam pernikahan bak neraka yang tengah ia jalani bersama Aditya.

"Apa yang harus kulakukan, San. Aku juga nggak tahu apa cinta itu masih ada, tapi aku nggak bisa meninggalkannya."

"Bodoh!" cibir Sandra sembari menatap marah sahabatnya. Dita menerima makian itu dengan tulus karna memang sebodoh itulah dirinya. Ia telah kehilangan jati dirinya, tersesat dalam kegelapan yang perlahan mengkonsumsi semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan.

"Kamu mau pergi setelah nyawamu hilang di tangannya? Atau sampai ada berita dirimu yang hilang entah kemana dan nggak tahunya kamu dibunuh olehnya?"

Tubuh Dita bergetar hebat, ketakutan menguasai hatinya saat mendengarkan semua perandaian yang dikatakan oleh Sandra. Haruskah ia menunggu semua itu terjadi untuk pergi? Apakah hanya kematian yang mampu menariknya menjauh dari semua siksaan ini?

Dita membuka mata lebar, seakan tersadar akan sesuatu. Entah kekuatan dari mana yang ia dapatkan, kini ia menyeret tubuhnya ke arah meja. Ia tak mau mati seperti ini. Tidak, ia tak ingin berita tentang kematiannya yang mengenaskan terpampang di surat kabar esok hari. Tidak, bukan hari ini. Ia adalah pejuang dan ia tak boleh kalah dari monster yang merenggut semua yang ia miliki. Dita tak selemah yang pria itu pikirkan dan lelaki itu tak boleh menentukan akhir hidupnya. Tidak!

Dengan susah payah Dita meraih ponsel di meja, benda pipih itu terjatuh tepat di wajahnya, lalu dengan tangan bergetar ia mencari nama seseorang di sana. Satu-satunya orang yang ia pikir mampu menyelamatkannya dari semua ini. Ini saatnya untuk bangkit dan pergi. Ia tak 'kan membiarkan lelaki itu menghancurkannya lebih dari ini.

Pada dering ketiga, wanita di seberang sana mengatakan 'halo'.

"Sandra ... tolong aku." Suara Dita terdengar lirih dan menyedihkan.

"Kamu kenapa dan di mana, Dit?"

Dita mampu mendengar kekhawatiran yang begitu besar dalam suara sahabatnya. Ingin ia menceritakan semuanya, namun ia seakan kehilangan suaranya. Ia terlalu lelah berjuang dan matanya terasa begitu berat.

"Tolong aku."

Mata Dita terpejam dan kesadarannya terenggut. Ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setidaknya, ia telah berjuang. Jika semua ini adalah akhir dari kisah hidupnya di muka bumi ini, maka akan ada seseorang yang menemukannya.

Ia telah berusaha untuk pergi ... ia tak selemah yang lelaki itu pikirkan. Ya ... dia adalah seorang pejuang dan tak semudah itu untuk menundukkannya.