Tentang Kita yang Terlupakan

Lonceng berbunyi, seluruh penghuni kelas buru-buru menyerbu kantin. Persaingan ketat terjadi saat jam istirahat guna mendapatkan tempat duduk ternyaman di sana. Sekelompok siswi membagi tugas, ada yang menempati bangku, memesan minuman, dan makanan. Dita beruntung karna hari ini ia kebagian tugas untuk menempati tempat duduk untuk mereka menyantap makanan.

Dita menggerakkan tangan di udara, memberi kode kepada teman-temannya jika ia telah berhasil mengamankan tempat duduk mereka. Dita mengedarkan pandangan ke sekelilung, mengikuti gerakan teman-teman yang tengah memesankan makanannya, takut-takut ada yang mau bertanya padanya.

"Dit ..."

Merasa namanya dipanggil membuat Dita menoleh ke sumber suara. Ia menautkan kedua alis, merasa tak mengenal pemuda yang memanggilnya barusan. Ia meneliti dan sadar, jika 'Dit' yang dimaksudkan bukanlah dirinya. Saat ia ingin kembali memandang ke hadapan, matanya bertemu dengan pandangan seorang pemuda yang duduk di samping meja mereka.

"Nama panggilannya Dit juga?" Tanya pemuda itu, senyumnya menawan, membuat Dita terpaku sesaat.

"Sorry, itu temenku." Lanjut Si pemuda saat tak mendapatkan respon apa pun dari Dita.

"Ah ... Anu ..." Dita mengangguk dan mendadak salah tingkah karna merasa terlalu lama menatap pemuda itu.

Pemuda itu tergelak. Ini pertama kalinya ia melihat pemuda itu di sekolahnya. Mungkin ia yang kurang peka hingga tak menyadari kehadiran pemudan tampan di sekolah mereka atau pemuda itu adalah siswa baru.

"Namaku Aditya, panggil Adit." Pemuda itu mengulurkan tangannya pada Dita.

"Dita," ucapnya sembari menerima jabatan tangan pemuda itu.

Aditya mengangguk-angguk sembari tersenyum. "Pantesan diteriakin Dit juga."

Dita tersenyum, kebetulan yang menyenangkan. "Kebetulan banget ya."

Pemuda itu mengangguk setuju. "Kalau gitu, aku nggak bakaln manggil kamu Dit, tapi Dita, biar beda sendiri."

"Temenku juga biasa manggil Dita, kok. Cuma kadang memang suka disingkat jadi Dit."

"Aku nggak bakalan singkat kayak temen-temenmu."

Senyum Dita mengembang. Aneh memang, entah mengapa perkataan pemuda itu mampu membuat hatinya gembira. Padahal mereka baru saling mengenal. Semenit kemudian teman-teman Dita hadir, membuat Dita memutus percakapannya dengan Si pemuda. Sesekali mereka saling melirik dan bertukar senyum.

***


Semua orang yang ada di sana tampak bahagia, mereka mengucapkan selamat sembari menjabat tangan Dita. Atasan Dita pun tampak bangga dengan anak didiknya yang berhasil mendapatkan tender besar untuk perusahaan mereka. Sedari tadi lelaki itu tak pernah berhenti memujinya. Wanita itu sungguh pekerja keras yang tak diragukan lagi kehebatannya untuk memenangkan tender besar.

Makanan sebagai perayaan hari ini mulai diserbu beberapa orang yang ada di sana saat Pak Adi, atasan Dita menyelesaikan pidatonya. Dita memilih berdiri di sudut ruangan sembari menikmati kemenangannya hari ini. Kerja kerasnya membuahkan hasil.

Seorang lelaki paruh baya, Damar, manager bagian produk berjalan ke arahnya. Dita tersenyum dan menunduk sekilas. Lelaki itu mengucapkan selamat begitu berdiri di samping Dita. Dita mengucapkan terimakasih sebagai balasan ucapan lelaki itu.

"Namamu, Bapak masukan untuk promosi tahun ini. Pak Adi udah siap ngelepas kamu dari bagian B2B untuk ke tempat saya." bisik lelaki paruh baya yang berdiri di samping Dita. Dita terkejut, namun bahagia akan berita yang diterimanya.

"Jadi chief atau supervisor, Pak? Kalau tawarannya menggiurkan pasti saya terima."

Lelaki itu tergelak. "Lah ... kenapa targetnya rendah banget. Manager Dita. Kamu yang akan mengantikan saya."

Dita menoleh ke samping dan menatap lelaki itu dengan tatapan tak percaya. "Bapak serius? Kenapa saya? Selama ini saya belum pernah megang produk, Pak."

Lelaki itu mengangguk yakin. "Kamu yang tahu banget masalah produk, kalau kamu nggak ngerti. Nggak mungkin bisa menjual gitu banyak, 'kan?"

"Tapi ..."

Lelaki itu menepuk pundak Dita. "Saya percaya sama kamu. Kamu tahu sendiri kalau dua bulan lagi saya sudah pensiun dan satu-satunya orang yang dapat menggantikan saya adalah kamu."

Ada bahagia dan juga cemas yang memenuhi setiap relung hati Dita. Memang ia selalu berambisi, namun menjadi manager di bagian yang tak pernah ia pegang bukanlah hal mudah.

"Gimana?"

Dita tersenyum percaya diri. Kesempatan tak 'kan bisa datang lagi. "Saya nggak akan mengecewakan Bapak."

Lelaki itu tersenyum lebar. "Gitu dong. Saya yakin kamu pasti bisa."

Dita mengucapkan terimakasih sembari menjabat tangan lelaki di sampingnya. Detik demi detik berlalu, pesta kecil itu pun usai. Semua orang saling mengucapkan selamat tinggal. Kini Dita berada di lobby kantor dan dirinya adalah orang terakhir meninggalkan tempat itu.

Ponsel Dita bergetar, membuatnya sadar jika sedari tadi ia lupa mengecek benda pipih itu. Dengan terburu-buru Dita mengeluarkan telpon genggam dari tasnya dan tersenyum saat melihat nama 'suamiku' yang tampil pada layarnya.

"Kamu kemana aja dari tadi?" tanya lelaki di seberang sana sebelum Dita sempat mengucapkan kata 'halo'.

"Maaf, Dit. Tadi lagi ada syukuran di kantor. Aku udah ngabarin kamu."

"Ngabarinnya udah dari tiga jam lalu, Dita. Setidaknya angkat telponku. Lihat udah berapa banyak panggilan yang nggak kamu jawab."

Dita menjauhkan ponsel dari telinganya dan terkejut saat melihat 15 panggilan tak terjawab dari lelaki itu. "Maaf, Dit. Aku beneran nggak tahu."

"Aku jemput kamu sekarang. Jangan kemana-mana!"

Panggilan terputus sebelum Dita sempat merespon. Ia melihat jam yang melingkar pada tangannya. Jam sebelas malam. Memang salah dirinya yang tak mengabari Aditya jika acara di kantornya berlangsung lebih lama dari biasanya.

"Mbak Dita belum mau pulang?"

Suara itu menyadarkan Dita dari lamunan. Entah sejak kapan lelaki muda yang tidak lain adalah rekan kerjanya itu berdiri di sampingnya.

"Lagi nunggu suami. Kamu belum mau pulang?"

"Aku nunggu Mbak Dita pulang duluan."

Dita tergelak sembari menggeleng-geleng. Lelaki bernama Liam itu memang terkenal dengan sikap gentle-nya. Ia tak bisa melihat siapapun dalam kesusahan. Lelaki itu tak 'kan bisa mengabaikan seorang wanita menunggu seorang diri.

"Aku baik-baik aja. Suamiku udah dekat, kok. Baiknya kamu pulang duluan. Lagian masih ada satpam di sini."

Lelaki itu menggeleng, tetap pada pendiriannya. "Nggak, Mbak. Saya akan menemani Mbak tanpa mengganggu. Santai aja dan anggap saya nggak ada."

Dita menyerah. Ia tak ingin berdebat dan mengusir lelaki itu. Perbincangan santai menghiasi waktu yang mereka miliki. Dita membicarakan banyak hal masalah perkerjaan dan sesekali canda tawa menghiasi perbincangan keduanya. Sampai-sampai Dita tak sadar Aditya sudah berdiri di hadapan mereka dan memandang keduanya dengan tatapan tak suka.

"Sejak kapan datang, Dit?"

Aditya segera menarik tangan Dita, wanita itu terkejut, tak pernah melihat Aditya begitu marah. "Lepasin, Dit," ucapnya setengah berbisik.

Semenit kemudian, lelaki itu mengubah raut wajahnya dan melepaskan genggamannya. "Ayo kita pulang, Sayang."

Dita menatap Aditya meneliti. Sudah lama ia mengenal lelaki itu dan baru kali ini, lelaki itu memperlakukannya kasar. Jangankan menarik kasar tangannya, lelaki itu bahkan tak berani memukul tangannya saat ada nyamuk yang singgah di sana.

"Kita pulang, Dita," ulang Aditya saat tak menerima respon apa pun dari Dita.

Dita tersenyum kikuk, lalu menoleh pada Liam. "Aku duluan ya."

Liam mengangguk, tersenyum, lalu berkata. "Hati-hati di jalan, Mbak."

Kebisuan menemani perjalanan mereka menuju tempat parkir mobil. Aditya tak seperti biasanya. Lelaki itu tak menanyakan kegiatan Dita ataupun bercerita tentangnya hari ini. Dita merasa ada yang aneh, namun tak berani bertanya.

"Siapa dia?" tanya Aditya begitu mereka duduk di mobil.

"Liam?"

Lelaki itu mengangguk tanpa menoleh ke arah Dita. "Aku baru kali ini ngelihat dia."

"Dia anak baru di kantor. Sebulanan ini bergabung di divisiku."

"Kenapa cuma kalian berdua yang ada di lobby? Yang lainnya udah pulang?"

"Iya, Dit. Semuanya udah pulang dan kebetulan kami berdua yang terakhir."

Lelaki itu tersenyum miring. "Kebetulan banget ya."

Dita dapat melihat tatapan mata yang tak pernah ditemuinya dari Aditya, ia bahkan tak mengerti mengapa lelaki itu mengeraskan rahang sembari mencengkram keras kemudi. Apakah lelaki itu cemburu? Aneh memang, selama ini Aditya tak pernah mempermasalahkan teman lelakinya. Lagipula apa yang harus dicemburui dari Liam yang tampak jauh lebih muda darinya?

***


Suasana kantor tampak ricuh, beberapa orang berbisik-bisik dengan rekan di sebelah mereka. Dita tak mengerti gosip panas apa yang membuat kantor tampak ramai hari ini.

"Udah denger kabar?" Pertanyaan yang disertai dengan tepukan pelan pada pundaknya itu membuat Dita menoleh ke sumber suara. Nara, wanita yang mengisi kubikel di sebelah Dita menatap Dita penuh tanya.

"Kabar apaan? Ada yang ketahuan baru pacaran atau ada affair di kantor?"

Nara berdecak sebal. "Dasar kudet!"

Dita terkekeh pelan. "Ada gosip apaan?"

"Liam kecelakaan tadi malam."

"Tadi malam? Sehabis pesta?"

Nara mengangguk. "Kamu bukannya pulang paling akhir? Dia pasti nungguin kamu ya?"

"Iya sih ... tahu sendiri Liam 'kan. Aku udah bilang kalau lagi nungguin suami, jadi lebih baik dia pulang duluan, tapi dia nggak mau."

"Tuh anak emang kebangetan." Nara berdecak sebal, "Dia diserempet mobil dan ditinggalin gitu aja."

Dita tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Kasihan banget."

"Mau jengukin?"

"Pulang kerja?"

Nara mengangguk. "Dia anak kostan, kasihan kalau nggak ada yang jagain."

Dita menimbang. Haruskah ia pulang telat lagi? Suasana hati Aditya sedang tidak baik dan ia tak mau membuat lelaki itu marah, namun dirinya merasa bertanggungjawab karna membuat Liam pulang lebih larut.

Nara menyenggol lengan Dita. "Gimana?"

Dita mengangguk setuju. "Boleh."

Nara tersenyum dan kembali ke kubikelnya. Meninggalkan Dita yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Diserempet mobil?

Tadi malam, setelah mengantarnya ke rumah. Aditya buru-buru pergi. Ada urusan mendadak—ucapnya—saat Dita bertanya mau kemana lelaki itu. Dita menggeleng, mengusir pemikiran aneh yang mampir di benaknya. Nggak mungkin Aditya kembali ke kantornya dan menyerempet Liam, bukan?

Aku pasti udah gila!

***


Aditya mengusap lembut kepala Dita yang berada di pangkuannya. Ruangan itu gelap, dua insan yang berada di sana tampak tengah asyik menatap televisi layar datar di hadapan mereka. Semuanya sempurna dan waktu seakan berhenti saat mereka bersama. Walau hanya menonton film yang tak ia suka, namun kebersamaan mereka sungguh berarti bagi Aditya.

Malam Minggu seperti ini selalu mereka habiskan dengan acara menonton film bersama. Film yang ditonton pun ditentukan secara bergantian. Kebetulan hari ini adalah giliran Dita yang memilih bahan tontonan mereka. Film romantis yang berakhir sedih adalah film yang kerap Dita pilih. Bukannya tak menyukai akhir bahagia. Hanya saja, Dita sadar benar, jika di kehidupan nyata tak semua orang mendapatkan akhir bahagia yang mereka inginkan.

Layar di hadapan mereka saat ini menunjukan pemeran wanita yang tengah menangis saat mengetahui sisa hidupnya tak lama lagi, sementara ia mempersiapkan lelaki itu untuk hidup tanpa dirinya. Wanita itu berjuang tampak baik-baik saja, mengelabui lelaki yang ia cintai, dan berharap kehidupan lelaki itu akan lebih baik saat ia pergi. Setragis itu cinta.

"Dit ... kalau aku sakit kayak film itu, kamu bakalan pergi nggak?"

Aditya mengelus lengan Dita, lalu menggenggam erat tangan wanitanya. "Nggak akan pernah walau kamu minta aku pergi ninggalin kamu."

Dita tersenyum bahagia. Aditya adalah dunianya, tempat ternyaman yang ia temukan. "Kalau nanti, kamu lupa sama janjimu, aku harus gimana?"

Aditya tersenyum. "Kamu kenapa sih, Sayang? Tiap nonton film sedih slalu mikir aku bakalan pergi. Masih insecure walau kita udah nikah?"

Dita tersenyum miring. "Kamu tahu sendiri gimana pandanganku tentang pernikahan."

Aditya mengecup mesra kening istrinya. "Aku nggak akan pegi." Mereka saling bertatapan dan bertukar senyum, "Menurutmu apa arti pernikahan?"

Dita mengendikkan bahu dengan tak acuh. "Entahlah." Dita tampak berpikir sesaat, "Menurutku hanya kesedihan yang tertunda. Pada akhirnya ikatan apa pun nggak akan bisa mengikat dua hati."

"Menurutmu pernikahan kita juga begitu?"

Dita memejamkan mata. Tidak, Aditya justru membuatnya merasa sebaliknya, namun Dita terlalu takut untuk tenggelam dalam kebahagiaan yang pernikahan mereka persembahkan.

"Nggak, Dit."

Aditya tersenyum lebar. "Kita nggak sama dengan banyak pasangan yang gagal dalam pernikahan mereka. Kita akan bersama selamanya, Dita."

Keduanya bertukar senyum, sedetik kemudian Aditya mempertipis jarak di antara wajah mereka. Ia******bibir Dita dengan lembut, bibir mereka bergerak seirama, tenggelam dalam kelembutan cinta yang menghangatkan hati dan berharap kata selamanya akan mereka capai bersama.