Bab 1. Pulang Kampung
❤Selamat Membaca❤


"Uda ... kehamilan dinda kini sudah mau menginjak delapan bulan. Dinda ingin bisa melahirkan di kampuang halaman kita," pinta Roslaila --wanita berparas cantik, kulitnya putih, berhidung mancung, rambut panjang berwarna hitam tergerai, matanya yang jeli dan berbulu lentik nampak sesekali berkedip dengan anggun-- di suatu malam kepada suaminya yang bernama Abdul Malik, menjelang tidur.


Sesaat lelaki berpostur tinggi, berbadan tegap, berambut cepak, hidungnya yang tak kalah mancung dengan istrinya itu, tampak merenung mendengar permintaan sang istri tercinta.


"Tapi Dinda kan tahu sendiri, saat ini di sana tengah ada pergolakan, para perwira di daerah sedang menuntut Pemerintah. Bahkan bulan Februari lalu telah dideklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Mereka kecewa dengan kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan Pemerintah pusat di Pulau Jawa, seakan menganaktirikan daerah di luar Pulau Jawa. Uda dengar Pemerintah saat ini juga lebih pro kepada PKI. Itu yang membuat para perwira di daerah meradang dan kecewa. Terutama di kampuang halaman kita di Sumatera Barat, mereka kan sangat anti dengan PKI" jelas Malik dengan tatapan mata yang bulat dan tajam itu, menerawang jauh ke depan. Abdul Malik sendiri adalah seorang perwira muda yang saat ini bermarkas di Cimahi, Jawa Barat.


"Tapi, Uda ... di sini kita tidak ada sanak saudara. Siapa yang akan membantu dinda saat persalinan nanti? Ketiga anak kita juga masih kecil-kecil. Jika ditambah lagi satu bayi, dinda pasti akan repot sekali. Uda juga sering sekali tidak ada di rumah karena dinas ke luar daerah," ucap Roslaila dengan wajah memelas. Malik merasa tidak tega melihat sorot mata berembun istrinya yang penuh pengharapan itu. Pria gagah itu hanya bisa menghela napas panjang. Dia masih terdiam dan nampak berpikir keras.


"Uda, dinda rindu dengan ande dan apak. Di kampung nanti juga akan banyak saudara yang membantu dinda, ada Niek Biku, dan juga dua adik dinda yang sudah beranjak gadis," ucap Roslaila kembali, masih berusaha keras membujuk suaminya. Ande dan Apak adalah panggilan untuk kedua orang tua Roslaila.


"Baiklah, jika itu sudah menjadi kemauan Dinda. Uda akan mengurus cuti untuk mengantarkan Dinda ke kampuang halaman kita." Akhirnya Malik mengalah, tidak kuasa menolak permintaan sang istri tercinta. Roslaila tampak berbinar mendengar lelaki pujaan hatinya menyetujui permintaannya itu. Bibirnya yang indah itu melengkung dengan sempurna. Lelaki pujaan hatinya itu menatapnya dengan penuh cinta.


Keesokan harinya, Malik mengajukan cuti kepada atasan dengan alasan mengantarkan istrinya yang hendak melahirkan di kampung halaman.


Bak gayung bersambut, permohonan cuti Malik dengan mudah disetujui oleh atasannya, dengan syarat setelah tiba di sana, Malik harus cepat kembali pulang ke Cimahi.


Hari selasa, tanggal sebelas November tahun seribu sembilan ratus lima puluh delapan, Malik bersama istri dan ketiga anaknya yang masih kecil l--bernama Rosmita yang berumur enam tahun, Hero Ridwan yang berumur empat tahun dan Isnein Amri yang berumur dua tahun-- pulang kampung dengan menaiki kapal ke Padang.


***


Setiba di kampung tercinta --orang sana biasa menyebutnya dengan nagari-- yang terletak di kaki Gunung Talang yang berhawa dingin dan kadang berkabut itu, mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Roslaila, adik-adiknya dan sanak saudara lainnya.


Sepasang suami istri yang nampak serasi itu memang berasal dari nagari yang sama, jadi hampir semua sanak saudara mereka berada di nagari nan indah itu. Nagari yang berbukit-bukit, dan di bawahnya banyak terhampar sawah, nan terkenal dengan berasnya yang pulen dan memiliki cita rasa yang lezat. Siapa yang tidak kenal dengan Bareh Solok? Beras dari Kabupaten Solok. Saking tersohornya, sampai dibuat lagu yang berjudul Bareh Solok.


Adik Roslaila ada empat, dua perempuan yang bernama Rosidah dan Rosminah. Sedangkan yang dua lagi laki-laki yang bernama Marjohan dan Marjunis. Mereka masih bersekolah di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Roslaila sendiri adalah lulusan pondok pesantren di Padang Panjang.


Bapak Roslaila bernama Pakieh Salim, seorang pedagang kelontong yang sukses di nagarinya. Sedangkan Ibu Roslaila bernama Sori, memiliki warung kopi di depan rumah mereka. Setiap pagi berjualan Kue Singgang yang amat digemari banyak orang. Para lelaki yang hendak pergi ke sawah biasanya singgah dulu di warung kopi untuk sekedar mengobrol dan sarapan Kue Singgang buatan Sori yang amat lezat itu. Kue yang terbuat dari adonan tepung beras, santan dan kelapa muda yang di serut itu oleh Ande Sori dibakar di atas kuali yang terbuat dari tanah liat yang di atasnya dilapisi daun pisang. Jika sudah matang aromanya yang harum menguar, kemudian kue itu dipotong-potong menjadi delapan, bersama daun pisang yang masih menempel dibawahnya.


Rumah mereka terbuat dari papan, berbentuk panggung dengan atap bersusun seperti tanduk kerbau --biasa disebut rumah gadang-- letaknya di bawah bukit, di tepi jalan dekat simpang tiga. Sedangkan toko Pakieh Salim tepat berada di ujung simpang tiga itu.


Rumah Niek Biku letaknya di jorong Titian Batu, agak jauh dari rumah orang tua Roslaila. Jorong adalah sebutan untuk wilayah setingkat RW di nagari itu. Niek Biku, adalah tantenya Sori. Niek itu panggilan lain dari nenek. Orang-orang menjulukinya Biku, karena dulu di masa mudanya dia senang sekali merajut. Sedangkan suaminya dijuluki Gaek Sanjo, karena Gaek Sanjo sering pulang dari sawah menjelang senja. Gaek adalah sebutan lain dari kakek. Niek Biku tidak memiliki anak, sehingga kadang menganggap anak-anaknya Sori, seperti anaknya sendiri.


Rasa letih akibat perjalanan yang cukup panjang itu, seketika raib, menguap tak berbekas setelah Malik dan anak istrinya kembali berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, bertukar cerita dan bersenda gurau, duduk melingkar beralas tikar di ruang tengah rumah gadang. Di hadapan mereka tersaji aneka hidangan yang menggugah selera.


Sori memasakkan makanan kesukaan putri sulungnya, yaitu rendang, sop kaki Sapi dan gulai dari pucuk daun singkong yang dicampur dengan jengkol, mereka menyebutnya gulai Cuk Ubi. Sedangkan Niek Biku membawa masakan Baluik Balado dari rumahnya. Baluik balado adalah masakan dari Belut yang digoreng bersama sambal.


Mereka dengan antusias menjamu Roslaila dan suaminya yang telah lama meninggalkan kampung halaman. Sejak menikah, pasangan suami istri itu memang belum pernah pulang kampung. Bisa dibayangkan bagaimana rindunya mereka, karena bertahun-tahun tidak berjumpa. Kebahagiaan orang tua Roslaila semakin sempurna setelah melihat ketiga cucunya yang cantik dan tampan itu.


Kabar kepulangan Malik beserta istrinya dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru nagari. Warga di nagari itu sangat senang mendengar kedatangan Malik. Mereka merasa bangga dan berharap pada Malik, satu-satunya pemuda dari nagari yang menjadi tentara. Mereka berharap Malik bisa membantu memajukan nagarinya.


Hari demi hari, Malik mulai disibukkan oleh undangan dan jamuan makan dari para warga dan tetua adat. Di pertemuan-pertemuan itu mereka banyak berdiskusi dan membahas berita yang sedang memanas saat itu, tentang perjuangan para warga sipil dan tentara di daerah untuk terciptanya otonomi daerah, agar dapat tercipta pemerataan pembangunan.


Awalnya Malik masih berkeliling di nagarinya saja, hingga akhirnya Malik mulai mengunjungi nagari-nagari lainnya. Mengikuti pertemuan dengan para kalangan sipil dan tentara daerah yang ada di sana. Malik akhirnya turut larut dan terlibat dalam perjuangan di daerah, dia melupakan pesan dari atasannya, agar segera pulang kembali ke Jawa setelah tiba di kampungnya itu.


***


Tak terasa sebulan telah berlalu. Sore itu matahari mulai merayap turun ke ufuk barat, ketika Roslaila yang tengah hamil tua itu sedang mandi di pancuran bersama ketiga anaknya. Ya, di kampung kelahiran Roslaila itu, orang-orang biasa mandi dan mencuci pakaian di pancuran yang terbuat dari bambu yang ditancapkan langsung dari mata air yang memancar di tebing-tebing bukit. Di sekeliling pancuran dibuat dinding atau bilik agar orang tidak bisa melihat langsung jika ada yang sedang mandi di pancuran itu, mereka biasa menyebutnya pincuran.


"Mita, Hero! Jangan main air terus, ayo cepat mandi!" teriak Roslaila kepada kedua anaknya yang sedari tadi hanya bermain air, menciprat-cipratkan air yang mengucur deras dari pincuran. Roslaila yang mengenakan kain sarung yang dililitkan di badannya itu, tengah sibuk memandikan si bungsu Isnein.


"Iya, Mi!" jawab Rosmita anak gadis sulung Roslaila. Meski masih berusia enam tahun, tapi kecantikan Rosmita sudah mulai tampak. Wajahnya yang bulat, hidungnya yang mancung dengan mata yang mirip Ayahnya namun berbulu mata lentik mirip maminya itu, jika tertawa membuat gemas orang yang melihatnya. Rosmita kecil sudah memiliki rambut yang panjang tergerai berwarna hitam, dengan poni melengkung yang menutupi dahinya, hingga ujung poninya berada di atas kedua alisnya.


Rosmita segera menggosok seluruh tubuhnya dengan sabun. Namun malang bagi Hero, karena dia tidak mempedulikan perintah maminya, sebuah jeweran mendarat di telinga kirinya. Dia lalu meringis dan segera mengikuti kakaknya menggosokkan sabun ke seluruh badannya. Walau usianya baru empat tahun, Roslaila sudah melatih Hero untuk bisa mandiri.


Anak-anak Roslaila biasa memanggilnya Mami. Itu disebabkan dulu, sebelum mereka tinggal di rumah dinas, sempat tinggal di Hotel Rafles yang ada di Jakarta. Di hotel itu mereka bersebelahan kamar dengan beberapa orang Belanda. Roslaila sering dipanggil 'Mami Mita' oleh mereka. Akhirnya Rosmita dan Hero ikut-ikutan memanggil ibunya dengan panggilan 'mami.'


Hari semakin mendekati senja, sinar matahari mulai meredup dan semakin membuat suasana di sekitar pancuran yang masih banyak pepohonan tinggi itu menjadi remang. Dengan tergesa Roslaila berjalan menyusuri jalan setapak sambil menggendong Isnein dengan tangan kirinya dan memeluk bakul yang berisi pakaian dan sabun, dengan tangan kanannya. Mita dan Hero berlari-lari kecil di belakang Roslaila, kadang terseok-seok, karena berusaha mengimbangi langkah kaki maminya yang lebar-lebar itu.


Langkah mereka semakin mendekati rumah gadang tempat tinggal orang tuanya. Namun sayup-sayup terdengar suara orang-orang berteriak di depan sana, "Kebakaran ....! Kebakaran .....!"


Mendengar itu, seketika jantung Roslaila berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa cemas mulai menghinggapi hatinya. 


'Kebakaran di mana kah gerangan?' Laila mulai bertanya-tanya dalam hatinya.


Tiba-tiba dari arah depan, kedua adik Roslaila --Rosidah dan Rosminah-- lari tergopoh-gopoh ke arahnya.


"Uni ....! Uniii Laila ....!" panggil Rosidah yang terengah-engah dengan wajah yang telah basah oleh air mata.


"Rumah kita ... rumah kita dibakar oleh orang-orang tak dikenal!" seru Rosidah masih dengan napas memburu.


"Apa ....?!" Seketika bakul yang ada di tangan Roslaila terlepas. Dengan reflek tangan kanannya menangkupi mulutnya yang menganga. Napas Roslaila tercekat di tenggorokan dan kedua bola matanya semakin membulat karena terkejut mendengar berita yang amat buruk ini.


"Uni ....! Ayo kita pergi secepatnya dari sini. Jangan kembali ke rumah gadang kita, nanti orang-orang yang perawakannya mirip tentara itu bisa menangkap Uni. Tadi mereka datang tiba-tiba ke rumah dengan kasar dan marah-marah. Mereka mencari Uda Malik. Lalu menggeledah rumah kita. Karena mereka tidak menemukan Uda, mereka semakin marah lalu membakar rumah kita." jelas Rosminah dengan suara cepat.


Tubuh Roslaila seketika lemas, lalu terhuyung, hampir saja jatuh jika tidak segera ditopang oleh kedua adiknya.


"Uni, janganlah pingsan di sini! Kita harus secepatnya pergi!" pekik Rosidah yang takut kakaknya jatuh pingsan. Mendengar teriakan adiknya, Roslaila segera terkesiap dan tersadar bahwa dia harus segera berlindung bersama anak-anaknya dan kedua adik perempuannya.


Bersambung


Sanggupkah mereka melarikan diri dari orang-orang itu? Kemanakah mereka akan bersembunyi?

Yuk ikuti terus kisah ini. Jangan lupa untuk tekan berlangganan agar terus mendapatkan notifikasi jika sudah ada bab selanjutnya.
Terima kasih 🤗

", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `

${myData}

`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->
Komentar

Login untuk melihat komentar!