💗Selamat Membaca💗
Mita berlari mondar-mandir sambil memanggil semua keluarganya. Dia mulai menangis ketakutan.
Putus asa mencari di sekitar rumah, tidak ditemukan siapapun jua, akhirnya Mita mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu melewati kebun dan juga menyusuri pematang sawah. Mita sudah tidak menangis lagi, namun bekas aliran air matanya masih membekas di kedua pipinya. Wajahnya terlihat sendu serta dipenuhi rasa cemas. Embun memenuhi kedua maniknya yang bulat itu.
Mita berjalan semakin jauh, melewati tepi sawah yang berjenjang-jenjang. Dia masih belum bertemu dengan seorangpun di sepanjang jalan yang dilaluinya. Suasana terlihat sepi, hanya terdengar cicit burung-burung yang hinggap di pepohonan. Angin pagi sepoi-sepoi membelai pipinya yang putih mulus itu.
Di kejauhan, gadis cilik itu melihat pondok di bawah bukit. Di atasnya pohon-pohon tinggi dan lebat menjulang. Di bawahnya petak-petak sawah terhampar. Padi sudah menguning. Di beberapa petak ada yang telah dipanen. Hanya tersisa rumpun-rumbut batang padi yang telah terpotong dan mengering berwarna coklat.
Mita semakin mendekati pondok yang berdinding papan itu. Berharap ada seseorang di sana yang bisa untuk ditanyai tentang keberadaan mami dan saudara yang lainnya.
Suara gemericik air mulai terdengar di indera pendengaran Mita. Ternyata gadis cilik nan molek itu melihat ada sungai kecil yang mengalir di tepi gubuk. Airnya sangat jernih, menyejukkan mata siapa saja yang memandangnya. Dan yang paling membuat Mita takjub adalah sebuah roda besar dari kayu yang berputar-putar di atas sungai kecil itu. Roda itu berputar mengikuti aliran air sungai kecil itu. Di atasnya ternyata ada cabang sungai yang lebih lebar yang melintang mengitari bukit.
Baru kali ini Mita melihat benda seperti itu. Suara roda kayu yang berputar beradu dengan suara gemericik air. Untuk beberapa saat gadis cilik berambut hitam panjang itu terpana melihat pemandangan yang ada di depannya. Dia begitu takjub melihat roda raksasa yang berputar pada porosnya yang tersambung dengan batang kayu besar sampai ke dalam pondok. Tiap putarannya itu diikuti dengan buliran air yang terpental di jari-jari roda dan sisi luar roda, sehingga air jernih itu memercik ke segala arah di dekat putaran roda itu.
Mita kemudian berjalan mendekati pondok yang pintunya dibuka separuh. Anak gadis berambut panjang itu mengintip ke dalam pondok, tampak olehnya dua orang wanita dewasa sedang sibuk di dekat kayu-kayu yang berjejer rapi dan bergerak naik turun secara teratur karena digerakkan oleh batang kayu yang bergerak berputar. Di batang kayu itu tertancap batang-batang kecil yang sama panjang sehingga saat kayu besar berputar, kayu-kayu kecil itu beradu dengan ujung kayu lain yang membuat kayu-kayu yang berjejer itu saat beradu dengannya, akan otomatis bergerak turun dan naik kembali, membentur kayu di bawahnya yang telah dilubangi. Atau biasa disebut lesung.
Seorang wanita sibuk menampi beras. Yang seorang lagi sibuk meraup beras yang ada dalam lubang lesung.
"Hei, siapa Kau?" Sedang apa di sini?" Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang lebih tinggi sedikit dari Mita berteriak di belakangnya, membuat gadis cilik itu terlonjak karena kaget dan langsung menoleh ke arahnya.
Anak laki-laki itu seketika terpana melihat paras cantik Mita. Cukup lama matanya tidak berkedip. Dia mengagumi gadis cilik di hadapannya itu. Kedua bibirnya sampai terbuka dengan sendirinya.
Mita hanya diam lalu memandangi anak laki-laki itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Anak laki-laki yang bajunya basah hingga menetes-netes air dari ujung bajunya itu tersenyum tersipu.
"Ditanya kok diam saja? Kau bukan anak sini ya? Wak den baru kali ini melihat Kau," tanya anak laki-laki berkulit sawo matang itu.
"Sa-saya ... lagi nyari mami saya," jawab Mita lirih.
"Mami?" tanya anak laki-laki itu heran.
"Saya baru sebulan ini datang dari Jawa. Mami tinggal di rumah Niek Sori. Tapi kemarin rumahnya terbakar. Kami semalam menginap di rumah Niek Biku. Dan sekarang mamiku dan mereka semua tidak tahu ke mana," jawab Mita sambil menitikkan air mata.
"Oh iya, wak den tahu itu rumah Niek Sori yang terbakar. Kasihan sekali Kau. Oya nama wak Lizar, namamu siapa?" tanya Lizar lalu mengulurkan telapak tangan kanannya. Tapi Mita bergeming, tidak ikut menyambut uluran tangan Lizar yang ingin bersalaman dengannya.
"Nama saya Mita," jawabnya singkat.
"Ayo kita cari mami Kau," ajak Lizar dengan semangat. Seketika kedua bola mata Mita yang tampak sendu itu menjadi berbinar. Senyumnya mulai mengembang, lalu mengangguk pelan. Lizar kembali tertegun melihat senyum manis gadis cilik itu.
Kedua anak itu kemudian berjalan beriringan menyusuri jalan setapak di tepi sawah.
"Bajumu basah," ujar Mita memecah kesunyian.
"Iya, wak den tadi habis main ayie (air) di Kincia," jawab Lizar.
"Kincia?" tanya Mita heran.
"Iya, yang tadi Kau datangi itu namanya kincia, yang ada roda besar berputar tu. Tampek urang (tempat orang) menumbuk padi," jawab Lizar sesekali menggunakan bahasa daerahnya.
"Ooh ... jadi itu namanya Kincia?" sahut Mita lagi.
"Iya, mandi dan main ayie (air) di Kincia itu menyenangkan. Kapan-kapan Kau bisa ikut mencobanya," ucap Lizar dengan tersenyum penuh semangat.
Mita hanya mengangkat kedua bahunya sambil mengerucutkan kedua bibirnya. Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara laki-laki dewasa tengah bercakap-cakap. Karena terhalang pepohonan dan semak belukar, mereka tidak bisa melihat kedua sosok lelaki dewasa yang berseragam tentara dan membawa senapan laras panjang yang disandang di bahunya.
Lizar segera menarik tangan Mita agar mengikutinya bersembunyi di balik semak belukar yang ada di pinggir jalan setapak itu. Kedua lelaki berseragam itu ternyata berbelok melalui jalan yang tadi dilalui Mita dan Lizar.
"Susah sekali mencari Malik dan anak buahnya. Kabarnya mereka bersembunyi dan berpindah-pindah," ucap salah satu pria tentara.
"Ya, dia dan anggotanya kan asli sini. Jadi mereka tahu di mana tempat bersembunyi yang aman," sahut pria berseragam satunya yang tubuhnya lebih tinggi.
"Sepertinya kita harus meminta bantuan warga sini untuk ikut mencari tempat persembunyian mereka. Kita cari orang yang mau jadi mata-mata." Suara percakapan dua lelaki itu semakin terdengar kecil dan menjauh. Mita yang mendengar nama bapaknya disebut, seketika jantungnya berdegup kencang.
"Kenapa, Kau? Kok wajahmu jadi tegang seperti itu? Kamu kenal siapa mereka tadi?" tanya Lizar. Mita hanya menggelengkan kepalanya.
"Mereka tadi menyebut nama bapak saya, bapak saya juga saat ini tidak tahu ada di mana. Saya takut ....," sahut Mita lirih. Kedua matanya yang jeli itu kembali berembun.
"Jadi, bapak Kau namanya Pak Malik? Bapak Kau hebat, kami semua sering membicarakan kehebatan bapak Kamu." Lizar nampak semangat bercerita. Sepertinya Lizar dan seluruh warga di nagari itu mengagumi Malik.
"Bapak saya tentara, dia sering meninggalkan kami untuk bertugas ke banyak daerah," sahut putri sulung Malik.
"Wak dengar, bapak Kau itu juga sakti," sahut Lizar dengan mata berkilat penuh rasa kagum.
"Oya? Saya tidak tahu tentang itu" sahut Mita dengan wajah serius.
"Iya, wak den sering mendengar cerita orang-orang tua di warung kopi. Kalau Pak Malik tu, punya kawan seekor harimau. Dia juga bisa berlari di atas ayie" cerita Malik dengan penuh semangat. Mita hanya melongo mendengar cerita dari teman barunya ini. Dia tidak menyangka dengan apa yang dikatakannya. Ada rasa bangga terselip dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam perut gadis cilik berparas cantik itu. Dipegangnya perutnya sembari meringis.
"Saya lapar ....," ucapnya dengan wajah memelas. Dari semalam Mita memang belum makan sebutir nasi pun.
"Ayo Kau ikut ke rumah wak! Di rumah wak ada makanan," ajak Lizar.
Akhirnya Mita mengikuti Lizar ke rumahnya. Mereka terus berjalan menuruni lembah, melewati kebun kelapa dan sawah yang berjenjang-jenjang.
Rumah Lizar terletak di bawah lembah. Rumah panggung yang cukup besar. Di depannya terdapat jalan kampung yang cukup lebar.
"Ayo naik dan masuk ke dalam," ajak Lizar lagi. Dengan perlahan Mita menaiki satu demi satu anak tangga.
"Siapa dia, Zar?" tanya seorang wanita berwajah cantik berkulit sawo matang, hidungnya mancung, wajahnya mirip seperti orang dari negeri India. Dia mengenakan baju kurung dengan bawahan kain sarung dan juga memakai takuluik di atas kepalanya, seperti Niek Sori dan Niek Biku.
"Ande, ini adalah kawan baru wak, namonyo Mita. Dia putrinya Pak Malik," jawab Lizar dengan semangat kepada ibunya.
"Apa? Putri Pak Malik?" Ibunya Lizar tampak terkejut mendengarnya. Matanya terbelalak, ditangkupkannya tangan kanannya hingga menutupi mulutnya.
Bersambung
Akankah ibunya Lizar bersedia membantu Mita? Atau justru mengusirnya?
Yuk ikuti terus cerita ini.
Jangan lupa untuk tekan berlangganan dan tinggalkan komen di sini ya.
Terima kasih 🤗🤗