08
08


     Ruben beserta enam anak buah langsung bergerak cepat mendekati panser yang terguling sambil menembak. Mereka terus menembak dan ketika prajurit Bintang Biru mulai melawan dengan melepaskan tembakan dari dalam panser, bertujuh langsung semburat, tiarap di berbagai tempat sambil terus menembaki panser. Dalam tiarapnya, Ruben berpikir keras supaya bisa melumpuhkan panser secepat mungkin karena sangat yakin kalau para prajurit Bintang Biru yang berada di dalam panser pasti banyak yang terluka akibat serangan RPG di awal. Setelah berpikir sejenak dan mengkode anak buahnya untuk bersiap melindungi dengan sebaran tembakan, dua granat diambil dan ditarik pinnya. Setelah menarik nafas dalam sebanyak tiga kali dan mengkode dengan mengangguk, semua anak buah memberi tembakan maksimal ke arah panser. Ruben bangun dari tiarapnya, lari menuju panser, melempar granat kearah jendela kabin belakang yang sudah pecah kacanya dan “Blarr!!” Dua granat meledak di dalam panser, seketika itu juga tidak ada lagi tembakan balasan.  

     Ketika dirasa sudah tidak ada serangan balasan lagi, setelah mengkode empat anak buah untuk melumpuhkan panser yang terguling, Ruben dan seorang anak buah menuju panser paling belakang yang sejak awal sudah ditembaki bannya dan kempes abis. Terlihat di kabin pengemudi, prajurit Bintang Biru terus melakukan komunikasi dengan markasnya.
“Turun!!!” Ruben membentak sambil membidik dengan senapannya sedangkan anak buahnya membidik dengan RPG yang sudah diisi kembali dan karena tidak ada respon dari prajurit Bintang Biru, 
“Blarr!!” Dua prajurit Bintang Biru yang ada di dalam kabin pengemudi gosong semua.

     Ruben bergegas menuju belakang panser, menembak pintu belakang di bagian kunci dan begitu pintu terbuka terlihat wajah Lydia dan warga lainnya.
“Been!!” Lydia menghambur, memeluk erat sambil menangis
“Kamu ngga pa pa?”
Lydia menggeleng, ”Ngga pa pa”
“Ayo, kita harus cepat pergi dari sini! Cepat!”
Lydia mengangguk dan Ruben segera mengkode anak buahnya untuk memeriksa panser mana yang masih bisa digunakan untuk membawa warga. Setelah di periksa, ternyata panser yang terguling masih bisa digunakan dan setelah siap segala sesuatunya, satu panser Bintang Biru dan enam motor trail melesat cepat menyusuri jalanan aspal untuk menuju arah kota Mardam atau lebih tepatnya menuju jalur evakuasi para penduduk Mardam. Terlihat Ruben membonceng Lydia di motor trailnya dan berposisi paling belakang.
“Ben, om Pedro gimana?!” Tanya Lydia karena sempat melihat om Pedro dan para tetangganya diberondong peluru
“Om Pedro sudah ngga ada, ngga selamat!” Jawab Ruben dan Lydiapun menangis dan semakin erat memeluk Ruben
“Ben, Diego Suzan gimana?!”
“Ada sama bu lik! Sekarang semuanya mengungsi! Kamu pegangan yang erat ya? Posisi kita belum a!”
“Bluarr!!!” Ledakan keras terjadi, panser terkena dan kembali terguling sedangkan Enam sepeda motor langsung berhenti,
“Astagaa! Apa itu?” Ruben melihat ke belakang, mata tak percaya melihat empat unit jeep tempur canggih sejenis FANG (Fast Adaptable Next-Generation Ground Combat Vehicle), berkecepatan tinggi sambil melepas tembakan maupun roket ledak. Enam sepeda motorpun langsung semburat masuk ke padang ilalang menuju hutan di depannya dengan jarak sekitar lima ratus meter. 

     Terlihat empat jeep tempur Bintang Biru seperti tak peduli kalau akan keluar dari jalan aspal dan tetap mengejar, sesaat terlihat menerobos padang ilalang, sesekali melompat-lompat akibat permukaan tanah yang tidak rata sambil terus menembakkan senjata dan tak berapa lama dua sepeda motor terguling lagi karena tubuh pengendaranya bolong-bolong terkena amunisi dan Ruben mengkode tiga sepeda motor lainnya untuk menyebar sejauh mungkin. Begitu tersebar, Ruben segera memacu maksimal untuk segera masuk ke kawasan hutan dan terlihat dua jeep mengejar. Sebaran amunisi dan ledakan roketpun menghiasi padang ilalang sedangkan Ruben terlihat berusaha keras menghindar dengan bergerak zig zag kesana kemari sedangkan Lydia memeluk erat, pasrah dengan apa yang akan terjadi karena baru kali ini mendengar renteten senjata otomatis dan ledakan roket yang memekakkan telinga.
“Bluarr!!!” Satu ledakan roket menghantam tanah dengan jarak hanya dua meter dari motor dan berhasil membuat Ruben beserta Lydia terlempar keras, mental hingga nyusruk di padang ilalang. Ruben segera bangkit menuju Lydia yang tak sadarkan diri kemudian memanggul, berlari secepat mungkin menuju balik sebuah pohon. Setelah sampai di balik pohon dan merebahkan Lydia di tanah, Ruben  mempersiapkan senapan dan membidik dari balik pohon.

     Tak lama dua jeeppun berhenti, empat prajurit bersenjata, lengkap dengan helm dan body armor turun untuk memburu dan tidak sampai dua menit terjadilah kontak senjata antara Ruben dengan empat prajurit Bintang Biru. Ditengah-tengah sengitnya kontak senjata, Ruben beberapa kali mengguncang-guncang Lydia untuk menyadarkan. Begitu sadar, Lydia terkejut dengan suasana kontak senjata ditambah melihat kening Ruben yang berlumuran darah akibat nyusruk dari motor.
“Lydia, lari, cepat lari!” Kata Ruben yang membuat Lydia terkejut,
“Apa! Ngga! Ngga mau!”
“Cepat!! Aku nanti nyusul!!”
“Pokoknya ga mau!!” Lydia bersikeras dan sesaat sangat heran karena Ruben tiba-tiba terbelalak hebat,
“Ben, kamu kenapa? Ben, ben! BEEENN!!!!” 
Ruben akhirnya lunglai dan ambruk ke pelukan Lydia yang langsung menjerit histeris sambil memeluk erat dan bertambah histeris karena  dua tangannya basah oleh darah yang berasal dari punggung Ruben karena tertembus tiga peluru,
“Beeen!!!” Lydia berteriak bercucuran airmata sambil mengguncang-guncang kemudian memeluk erat sekali lagi kekasih tercinta yang sudah tak bernyawa tersebut dan menatap empat prajurit Bintang Biru yang berjalan mendekat di jarak sekitar 100 meter. Mata terlihat memerah darah akibat amarah yang memuncak, senapan Ruben diambil, berdiri dan lari menuju para prajurit Bintang Biru. Para prajurit Bintang Birupun sangat terkejut karena Lydia ternyata sangat berani dengan lari mendatangi dan merekapun langsung membidik lagi tapi merasa heran karena Lydia tidak membidikkan senjatanya melainkan seperti akan mengayunkan untuk dihantamkan. Ini karena Lydia memang dari dulu tidak suka dengan senjata apalagi peperangan dan ketika dulu Ruben bermaksud mengajari menggunakan senjata, Lydia selalu menghindar dan kalau sempat berlatihpun pasti hanya asal-asalan, bercanda ngga karuan.

     Situasi anehpun terlihat dimana Lydia memegang laras senjata dan mengangkat sedangkan prajurit Bintang Biru membidik tetapi mundur-mundur dan semakin mundur cepat saat Lydia mulai mengangkat senjata untuk diayunkan,
“Anjing Lo, sini!!! Bajingaaan!!!...!!!” Sambil terengah-engah, Lydia terus memaki sambil mengayun-ayunkan senapan ke arah empat prajurit yang terus mundur-mundur. Lydia terus mengayun-ayunkan senjata kesana kemari ngga jelas siapa yang mau disasar hingga akhirnya satu prajurit lainnya muncul dari belakang dan,
“Dug!” Lydia pingsan lagi kali ini karena tengkuk dipopor oleh senjata.
“Bawa dia, cepat! Ini barang bagus, jangan sampai cacat! Profesor sudah kehabisan stok!” kata prajurit tersebut,
“Siap!” Dua prajurit segera membopong dan memasukkan Lydia ke dalam jeep untuk kemudian di bawa ke markas besar Bintang Biru di kota Mehzut.

     Singkat cerita, sesampainya di markas besar Bintang Biru di kota Mehzut atau lebih tepatnya terletak sekitar 25 km di sebelah timur kota, Lydia bersama puluhan warga sipil lainnya diturunkan dari dalam panser dengan keadaan terborgol kaki dan tangan kemudian diarahkan ke suatu tempat untuk membersihkan diri mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki atau istilahnya sterilisasi, setelah itu dimasukkan ke dalam barak karantina dan dijaga sangat ketat. Di dalam barak inilah semua orang akhirnya menumpahkan kesedihan, saling berangkulan, menangisi nasib yang tak jelas, apakah masih bisa melihat esok hari ataukah ini hari terakhir mereka untuk bisa bernafas sementara di sudut ruangan terlihat beberapa warga perempuan berusaha menenangkan, memeluk Lydia yang terus-terusan menangis histeris tiada henti sebagai akibat dari berbagai peristiwa horor yang dialami…


Komentar

Login untuk melihat komentar!