05
05


     Tak lama, setelah dari rumah bu puh yang juga masih ada hubungan saudara, mereka bertiga bergegas menuju balai pertemuan dan raut wajah Suzan tampak sumringah akut sambil mendekap erat boneka barunya. Setelah sampai di dalam balai pertemuan warga kampung, seperti biasa, mereka bertiga memilih duduk di barisan tengah dan tak berapa lama Rubenpun mendatangi, langsung disambut Suzan yang pamer akan boneka barunya.
“Kak Ruben, gimana bonekaku? Bagus ngga?” Tanya Suzan sambil menyorongkan boneka barunya,
“Iya, cantik sekali bonekanya. Kayak Suzan”, jawab Ruben dan Suzanpun bertambah sumringah,
“Lydia sayaang, nanti kalo mau ngomong, jangan sampe memancing debat panjang. Nanti ngga selesai-selesai”, Ruben mengingatkan,
“Iya ya, khawatir amat. Ntar aku ngga ngomong apa-apa”
“Bukan begitu. Aku ngga melarang. Cuma, jangan berdebat panjang. Aku ingin cepat ada keputusan” 
“Iyaaa”

     Rubenpun senyum kemudian kembali lagi menuju barisan kursi Dewan Kota Mardam di depan dan menghadap ke semua warga. Dewan ini beranggotakan sembilan orang, Ruben termasuk salah satunya dan juga sebagai ketua dari dewan tersebut. 
Saat jam menunjukkan angka delapan tepat, sebagai ketua dari Dewan Kampung Mardam, Ruben berdiri dari kursinya menuju mimbar dan memulai membuka acara pertemuan, diawali dengan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing kemudian berbicara mengenai permasalahan kampung setelah meneguk segelas air putih,
“Selamat malam bapak-bapak ibu-ibu adik-adik semuanya. Saya akan langsung saja ke pokok permasalahan supaya kita cepat mengambil keputusan. Seperti yang telah kita sepakati dua hari yang lalu, saya dan tim bergerak begitu mendapat sebuah informasi penting. Informasi itu adalah adanya keberadaan sepasukan Hurricane Army di wilayah utara. Sebelumnya, menurut informasi, Hurricane Army ini adalah pasukan yang pernah bertempur dengan Bintang Biru dan ternyata sampai sekarangpun mereka masih bertempur dengan Bintang Biru. Saya dan tim berhasil bertemu mereka sekitar 150 kilometer arah utara di tengah hutan……..”, Selanjutnya Ruben menceritakan panjang lebar tentang kecanggihan senjata Bintang Biru berdasar informasi dari pasukan Hurricane Army dengan raut wajah tegang dan di akhir penjelasan Ruben meminta pengertian seluruh warga agar memutuskan untuk segera mengungsi dalam waktu dekat. Tampak berbagai macam reaksi ditunjukkan warga, ada yang bengong, ada yang manggut-manggut, ada pula yang berbicara antara satu dan lainnya bermaksud untuk berdiskusi. Ketika Ruben mempersilahkan untuk tanya jawab, salah seorang warga berdiri mengangkat tangan kanan, 
“Begini Ruben, kalau benar situasinya seperti itu, kenapa kau tidak sekalian saja minta bantuan ke Hurricane Army. Kan bagus kalau bersatu, bisa lebih kuat. Kita bisa kok menanggung sampai lima ratus orang lagi, bahkan lebih”
“Terima kasih om Pedro. Saya sudah mengutarakan itu. Tapi mereka tidak bersedia. Mereka tidak mau”
“Apa alasannya?”
“Saya tidak tahu karena mereka menolak untuk menjawab. Bahkan saya tanya nama saja mereka juga menolak untuk menjawab”
“Sombong sekali, sudah Ruben, terima kasih”, Om Pedro duduk lagi sambil bersungut-sungut ngga jelas.
“Siap om”
Seorang wanita berdiri mengangkat tangan kanan, “Ruben, wajahmu kenapa? Abis di gebukin?”
“Ngga bu de. Hanya salah paham saja ketika pertama kali bertemu dengan prajurit Hurricane Army. Wajar, karena sama-sama waspada”, Jawab Ruben dan bu depun duduk lagi.
“Ruben, kalau kita mengungsi, mau ngungsi kemana?” Tanya seorang bapak yang sudah agak tua.
“Prajurit Hurricane Army yang saya temui memberi saran untuk pergi mengungsi sejauh mungkin. Sejauh-jauhnya, ki”
“Iya, tapi kemana?”
“Di utara ada daerah namanya Dusun Klanth. Dulu saya pernah diajak ayah ke sana. Kata ayah, walaupun sangat kecil, tapi dusun Klanth itu mempunyai potensi yang luar biasa kalau dikembangkan. Lahannya sangat subur, daerahnya sejuk dan yang paling penting adalah sangat jauh dari Mehzut (Kota tempat dimana terdapat markas besar Bintang Biru). Jaraknya dari sini kira-kira 800 km”
“Buset, apa ngga ada yang lebih jauh lagi?” Salah seorang warga nyeletuk dan semuanya langsung Grrrrr.
“Ben, apa ngga lebih baik kita tetap di sini saja? Kalau Bintang Biru ke sini, kita menyerah saja. Kita berikan saja harta kita, daripada harus mengungsi jauh-jauh”, Kata seorang bapak tua lainnya
“Begini kek, menurut informasi yang saya terima, Bintang Biru tetap membantai walaupun warga sudah menyerah”
“Walah walah, kok begitu. Tapi apa ada, orang yang sampai sejahat itu?”
“Awalnya saya juga berpikir seperti itu kek. Tapi setelah merangkum semua informasi, intinya mereka itu bermaksud menjadikan ras mereka beserta keturunannya nanti sebagai penguasa dan penduduk tunggal di bumi ini. Jadi kesimpulannya mereka itu tidak ingin harta benda atau apapun. Mereka hanya ingin melenyapkan semua manusia selain ras mereka”
“Tapi apa itu mungkin? Bumi ini luas lho Ben”
“Untuk kepastian seratus persennya saya belum tahu kek. Tapi kita jangan bertaruh jika berhadapan dengan manusia yang mempunyai niatan seperti ini. Kita harus mengungsi secepat mungkin. Cepat putuskan supaya saya bisa langsung mempersiapkan segala sesuatunya setelah pertemuan ini. Sekarang saya tanya kepada seluruh warga kota Mardam, apakah setuju, kita mengungsi?!” Ruben memandang ke semua warga.

“Sebentar-sebentar!!” Roddart dengan gaya ketokohannya berdiri mengangkat kedua tangan dan memutar-mutar tubuh untuk minta perhatian dari warga, “Saya ingin berpendapat dulu! Jangan diputuskan dulu!”
“Silahkan Rodart!” Ruben mempersilahkan Roddart untuk berbicara,
“Begini, bukankah kita semua kemarin sepakat bahwa harus memperoleh informasi seakurat mungkin? Betul tidak?!”
“Betuuul!!” Warga menjawab bebarengan,
“Kalau menurut saya, seakurat mungkin itu artinya bahwa Ruben harus tahu dengan mata kepala sendiri seperti apa sepak terjang Bintang Biru itu! Jangan katanya, katanya dan katanya! Kalau katanya tapi kenyataannya berbalik 180 derajat, siapa yang akan menanggung kalau rampok itu menduduki kota kita yang sudah susah payah kita bangun? Kan kita! Kita akan menyesal dan sengsara seumur hidup. Jadi menurut saya, Ruben harus mendapat informasi dengan mata kepala sendiri tentang Bintang Biru itu!”
“Tapi Rod, Hurricane Army sudah memberikan informasi yang sangat jelas. Kurang apa lagi?” Tanya Ruben
“Siapa Hurricane Army itu? Kita semua tidak tahu! Kau berani menjamin kalau Hurricane Army itu baik? Bukan milisi rampok?”
“Kalau mereka itu milisi rampok, mereka pasti sudah ke sini dari kemarin-kemarin. Posisi mereka sekarang hanya berjarak 150 km dari kota kita. Hanya tiga jam kurang dari sini! Lagipula, kalau mereka itu jahat, pasti saya tidak bisa pulang dan berdiri di sini!”
“Ok, tapi itu belum menjawab tentang keakuratan informasi tentang Bintang Biru! Bagaimana kalau skenarionya seperti ini, Hurricane Army sengaja menakut-nakuti agar kita mengungsi dari sini. Setelah itu, mereka dengan lenggang kangkung masuk dan menguasai Mardam. Bagaimana kalau itu yang terjadi?”
“Rod, tolonglah untuk mengerti masalah ini secara gambaran besarnya dan jangan merubah arah pembicaraan. Kita ini bukan sedang membicarakan Hurricane Army. Tapi bicara tentang Bintang Biru yang sangat berpotensi untuk mengancam keselamatan kita. Pertaruhannya sangat besar kalau kita tetap tinggal di sini. Keselamatan kita semua Rod!”
Roddart terdiam sejenak untuk mencari bahan sanggahan kemudian berkata lagi, 
“Ok aku terima itu. Tapi aku tidak bahas masalah itu. Yang aku mau adalah, keakuratan informasi. Jadi kau harus tahu dulu sejelas-jelasnya, kalau perlu datangi Mehzut, lihat gerak-gerik mereka!”


Komentar

Login untuk melihat komentar!