Setahuku Mas Satya tidak pernah bersentuhan dengan minuman haram yang memabukkan itu, tapi karena cinta yang mengazabnya, dia melukai diri dengan hal yang bertentangan dengan nurani.
Cinta yang terlalu berlebihan porsinya, sama seperti cintaku padanya. Semoga saja ini awal dia belajar mencintaiku. Atau jika benih cinta itu telah tumbuh, ia bersiap memupuk dan menyiramnya dengan perhatian yang sesungguhnya.
"Kamu ini kalau kecewa kenapa larinya ke minuman sih, Mas? Kamu kan bisa cerita ke aku," ujarku, meskipun kutahu dia tak sadar.
"Dia jahat, Zia. Mereka jahat. Aku benci dua orang itu," lirih suamiku. Dia mendekapku erat hingga perasaan ini bercampur aduk. Matanya masih terpejam dan terus mengigau.
Aku berusaha melepaskan diri karena akana memakaikan bajunya
"Aku mencintaimu, Sayang. Temani aku malam ini!" serunya. Ia menarikku lagi ke dalam pangkuannya dan berusaha menuntaskan hasratnya. Malam pertama yang kudamba dengan keromantisan, ternyata harus kulewati dengan air mata bercucuran.
Ya Robb, nafkah batin ini sudah lama kunanti, tapi tidak dengan cara seperti ini. Aku yakin, dia mengiraku Ranti karena suamiku sedang dalam keadaan tidak sadar.
***
Aku bangkit dari ranjang dengan rasa perih di tubuh dan juga hati yang berdarah. Aku terpaksa melayani suamiku yang sedang dalam keadaan mabuk. Kini dia terlelap di sampingku dengan nafas teratur.
Rasa cinta dan juga benci bercampur dalam perasaan suamiku. Tapi kini aku ikut menanggung derita.
Kuguyur seluruh badan di bawah kucuran air dari shower. Menangis sejadi-jadinya agar suara dan air mataku tersamarkan.
Mencintai orang yang tak mau membalas kasih sayang ini sangat menyakitkan. Aku punya hati yang mudah terluka.
Semoga saja Allah menguatkan hati ini dan juga mengikhlaskan bila memang tak ada lagi harapan menjadi istri di hatinya. Lama-lama aku bisa penyakitan jika terus menyiksa diri seperti ini.
Aku dibesarkan sepenuh hati oleh orang tuaku dengan harapan bahagia kelak. Tapi akulah yang memilih jalan yang salah dengan menerima lamaran orang yang jelas-jelas mencintai yang lain.
***
"Zia? Kenapa aku ada di sini? Kenapa aku gak memakai apa pun? Apakah terjadi sesuatu semalam?" cecar Mas Satya. Ia terbangun setelah aku menggeser tirai ke samping agar cahaya sang mentari bisa menerobos masuk.
Aku menarik nafas dalam. Memejamkan mata sambil menormalkan detak jantung. Dia bahkan tak ingat dengan apa yang dia lakukan semalam padaku.
"Mandilah! Aku akan menunggumu di meja makan. Aku ingin kita bicara serius," balasku.
Aku menjauhi kamar dan bergegas keluar. Memandangi dedaunan hijau yang bergoyang ditiup angin.
Terkadang pengen jadi dedaunan yang tidak pernah sakit hati kala diinjak manusia maupun hewan.
Ah, aku mikirin apa sih? Jelas saja tumbuhan beda dengan manusia yang diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Pernikahan menjadi ibadah terpanjang telah gagal kujalani. Suamiku tak bahagia dan aku pun mulai menderita.
***
Aku dan Mas Satya makan dalam keheningan. Hanya suara piring dan sendok yang beradu. Ia sesekali melirik ke arahku, tapi saat aku membalas tajam, dia memalingkan wajah.
"Sepertinya tidak perlu menunggu satu tahun agar kita berpisah, Mas. Hari ini aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Kamu tidak usah lagi menanggung biaya rawat jalan ayahku," ujarku mantap, memecah keheningan.
"Loh, kenapa, Zi?"
"Aku sudah tak kuat pura-pura sakinah denganmu, Mas. Biar saja aku yang memberi alasan kalau tidak bisa mencintaimu. Dengan begitu, Mama dan Papa kamu tidak akan menyalahkanmu," jelasku.
"Zi, maafkan aku. Kumohon jangan lakukan itu," ujarnya.
"Maaf untuk apa?" tanyaku, belum mengerti tujuan perkataannya.
"Tentang tadi malam. A-aku sengaja melakukannya."
Keningku mengernyit. Hal yang mana dia sengaja lakukan?
"Kamu sengaja mabuk?" tanyaku.
"Aku tidak mabuk, Zia. Aku lega karena kecurigaanku selama ini terbukti. Entah siapa pun yang mengirimkan bukti itu, aku akan berterima kasih. Aku memang kecewa dan sengaja pergi ke bar. Minuman itu kutuangkan ke bajuku agar seolah mabuk," jelasnya yang membuat mataku melebar.
"Jadi tadi malam kamu sadar melakukannya?" gumamku. Mendadak rasa malu menjalar dalam hati.
Ia mengangguk.
"Kenapa harus dengan cara seperti itu? Apa kamu tak sadar kalau aku terluka karena sikapmu tadi malam?" bentakku.
Mas Satya bangkit dari kursi dan bersimpuh di kakiku.
"A-ku malu untuk mengatakannya duluan. Takut ditolak olehmu. Asal kamu tahu, Zia, aku tidak pernah tidur dengan wanita br*ngsek itu. Dia selalu memberikan obat tidur, lalu menghabiskan malam dengan Doni. Besoknya dia akan pura-pura kalau kami sudah melakukannya. Bahkan bulan madu kemaren, aku cuma numpang tidur di kamar hotel, sedangkan dia pergi bersama Doni setelah aku terlelap. Jadi, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu, Zia. Sekarang tidak ada lagi orang ketiga," ujar Mas Satya.
Aku ingin melompat-lompat kegirangan mendengar penuturan suamiku. Ini di luar dugaan. Kesedihanku sejak tadi malam langsung terbayar karena suamiku tidak pernah tidur dengan pengkhianat itu.
Eh, tapi enak saja dia kalau aku langsung mengiyakan. Mas Satya pasti akan mengira kalau aku wanita gampangan. Lebih baik jual mahal dulu ah.
"Kayaknya kamu sudah terlambat, Mas. Aku pernah sangat mengharapkan cintaku dibalas. Tapi jika semua itu datang setelah kamu kecewa pada Ranti, aku tidak bisa percaya begitu saja. Bisa saja kamu menjadikanku pelarian untuk memanas-manasi Ranti. Aku harus tetap pulang," ujarku dengan tegas. Dalam hati aku berdoa agar dia mengejarku.
Aku berjalan melewatinya dan masuk ke kamar kami. Di lemari sudah kusiapkan koper berisi bajuku. Aku ingin tahu apakah dia akan menahanku atau membiarkan diri ini pergi.
"Kamu mau kemana, Zia?" bisik Mas Satya. Ia mengambil koper di tanganku dan menguncinya dalam lemari.
"Apa kamu ingin kita mengulang kisa semalam dengan penuh cinta?" imbuhnya, dekat di telingaku.
"Enggaaaak!" seruku. Eh, tapi kenapa kepalaku malah mengangguk? Aku masih mau jual mahal, woy.
Wkwkwk, gak sinkron nih😂😂😂