"Aku tahu kalau kamu sangat mencintai Satya, jadi biarkan aku membantu menyadarkan pria bod*h itu. Dia tidak menyadari kalau wanita yang paling tulus menjadi istrinya adalah kamu. Jangan menangis lagi ya," bisik Nia.
Ia memindai semua foto screenshot bukti perselingkuhan Ranti, termasuk juga email dan pasword akun sosmedku yang palsu. Entah apa yang kan ia lakukan dengan akun itu.
"Kita jalan-jalan dulu ya, buang suntuk. Kalau ada yang mau pesan bedak dan kosmetik lainnya, nanti malam aja dibalas. Sekarang saatnya mengembalikan senyumanmu," ujar Nia tersenyum lebar.
Aku mengangguk dan mengikuti kemana Nia akan membawaku. Terkadang aku tak bisa pura-pura kuat menanggung beban ini sendiri. Aku butuh orang lain untuk meluapkan perasaan selain kepada Allah tentunya.
***
Jika orang bilang tidak ada yang bisa dipercayai selain diri sendiri, bagiku hal itu tidak berlaku dengan Nia. Dia seorang sahabat dan juga keluarga bagiku. Bersamanya hatiku plong. Beban di dada ini berkurang karena sepanjang hari kami tertawa bersama. Masih banyak hal indah yang mampu membahagiakan hati yang lara.
Aku yakin kalau aku akan jadi pemenangnya karena ada orang yang mendukungku. Mas Satya akan menyadari siapa sebenarnya Ranti, wanita yang sangat dicintai suamiku.
"Kamu kok nampak bahagia banget, Zi? Sampai gak nyadar kalau aku sudah masuk kamar," ujar Mas Satya.
Ia duduk di sisi ranjang, menghadapku yang sedang rebahan sambil senyum memandang plafon rumah.
Aku beringsut duduk dan menyalami tangannya yang canggung. Bukan karena mau totalitas pura-pura sakinah, tapi aku memang ingin menjadi istri soleha untuk suamiku.
"Sepahit-pahitnya hidup, tidak perlu kita perlihatkan pada dunia kan, Mas? Yang paling tahu tentang kondisi hati kita, ya diri sendiri," balasku dan tetap tersenyum.
Mas Satya tersenyum kikuk dan masuk kamar mandi untuk mengganti baju. Aku istri halalnya loh, tapi dia masih malu memakai baju di hadapanku.
Aku mengirim pesan ke Nia untuk mengabarkan kalau suamiku telah pulang. Suaminya Nia juga telah siap jadi mata-mata kemana dan sedang apa Ranti dan pria yang sering menginap di rumah Ranti setelah suamiku pulang.
***
Aku dan Mas Satya sedang duduk bersandar di ranjang sambil menonton televisi. Malam ini jadwal menonton film kesukaanku, yaitu drama korea. Meski dia terkantuk-kantuk, yang penting ikut menemani.
Begitu lah kami ganti-gantian menonton film kesukaan masing-masing. Walaupun aku tak suka film horor, aku akan tetap mengikuti kesukaan suamiku.
Aku tak mengalihkan pandangan dari layar televisi saat mendengar suara ponsel suamiku. Sekilas kulirik sambil tersenyum, dia begitu serius memandang layar ponselnya, lalu mengetik balasan.
Dia mulai gelisah, tapi ku tetap bersikap cuek.
"Zia, aku pergi sebentar dulu ya!" tuturnya canggung.
"Loh, ini gak adil, Mas. Masa baru lima belas menit nonton sudah ditinggal? Apa ada hal darurat dengan Ranti?" tanyaku
"Kamu kok kepikiran Ranti?" selidiknya.
"Yang paling penting bagimu dalam hidup ini kan Ranti. Jadi apa lagi? Gak mungkin juga soal kerjaan malam-malam begini," tegasku.
Eh, Mas Satya malah bergeming. Aku tidak bermaksud menghalanginya pergi. Tujuanku memang agar dia tahu segalanya lebih cepat.
"Aku tidak marah kok, Mas. Pergilah, tapi janji harus pulang. Kalau gak bisa, kabarin aku," ujarku dengan senyuman tipis.
"Makasih ya, Zi. Kamu baik-baik di rumah," balasnya, lantas berjalan terburu-buru.
Ya Alah, andai saja kata-kata itu keluar dari seorng suami yang mencintaiku dengan tulus, mungkin aku akan sangat bahagia. Tapi sayang, baginya aku tak lebih dari sekedar teman yang sedang membantu pura-pura sakinah di depan keluarga. Saat waktu yang disepakati, dia akan menalakku dengan harta gono-gini yang lumayan.
Ah, aku tak buruh harta, Mas. Yang kubutuh adalah cintamu.
***
Jarum jam sudah merangkak meninggalkan angka 10, tapi suamiku belum juga pulang. Aku tidak mungkin keluar karena bila kami berselisih jalan, Mas Satya kan menginterogasiku dari mana. Ia tak pernah mengijinkan aku keluar malam sendirian.
Dimana janji suamiku tadi? Bila memang tak bisa pulang, kenapa tak kasih kabar? Aku terus bersepekulasi tentang apa yang terjadi di rumah Ranti karena Nia tadi mengabarkan kalau sudah mengirim bukti ke suamiku dengan nomor baru. Mas Satya sempat ngotot tak percaya, sampai akhirnya penasaran dan memilih ingin membuktikan.
Sendirian di rumah sebesar ini, aku merasa jenuh. Mungkin segelas teh hangat bisa membasahi kerongkongan.
Baru saja aku menyeduh teh, kudengar suara mobil yang sangat kukenal berhenti di halaman. Mobil suamiku dan di belakangnya mengekor Nia keluar dari mobil suaminya.
"Mas, kamu kenapa?" pekikku.
Mas Satya tertawa dan menangis. Bau alkhol menguar dari mulut dan bajunya yang basah. Tangan kanannya juga dibalut perban putih.
"Satya udah tahu segalanya, Zi. Dia memergoki Ranti sedang bercinta dengan Doni yang mengaku sepupu jauhnya di kamar. Ibunya Ranti juga tak bisa berkata apa-apa. Mereka hanya memanfaatkan suamimu. Untung saja Satya belum sempat membalik nama rumah itu atas nama Ranti. Sekarang mereka sudah diusir Satya dari sana dan sempat memukuli Doni juga. Dia juga memukul pintu untuk melampiaskan rasa kecewanya dan menenggak minuman keras di bar. Kamu harus bisa menenangkannya, Zi. Suamimu tidak baik-baik saja." Nia menjelaskan panjang lebar duduk perkaranya. Air mataku luruh. Kebenaran ini pasti menyakitkan hati suamiku. Tapi lebih baik sekarang sakit daripada terlambat menyadari.
Suaminya Nia telah membawa suamiku ke kamar, lalu pamit pulang. Mereka menatapku iba dan menepuk bahu ini yang terguncang.
Ya Allah, kasihan sekali suamiku. Dia sampai menyakiti diri sendiri karena kecewa pada wanita yang tak pantas dikasihi. Aku juga terluka melihat keadaannya seperti ini.
Aku beringsut ke kamar untuk mengganti baju suamiku dan mengelapnya terlebih dahulu dengan air hangat. Dia masih terus mengigau menyebut nama Ranti.
Menyakitkan. Seperti menumis luka yang sudah dikucuri perasan jeruk nipis. Perih sampai menusuk ke ulu hati.