Beberapa detik kami saling berpandangan. Aku ingin waktu dihentikan beberapa jam agar bisa memandangi wajah suamiku yang memabukkan hati ini.
"Ehem, a-ku mau berangkat kerja," lirihnya setelah berdehem.
Apa suamiku tergagap?
Aku menggulingkan badan ke samping dan tersenyum mengingat kejadian tadi. Kenapa sesingkat ini sih? Coba aja aku tadi mencuri kecupan di pipinya seperti tidak disengaja. Duh, aku bisa mencobanya lain waktu.
"Maaf ya, Mas. Kakiku kesandung kursi. Aku memang ceroboh!" ujarku dengan wajah bersalah.
"Iya, gapapa," balasnya singkat. Aku merapikan kemejanya dari belakang dan hampir khilaf ingin memeluk kalau tidak melihat jam dinding yang sudah merangkak meninggalkan angka 7.
Mas Satya memakai sepatunya yang hampir membuatku terbahak-bahak. Aku membekap mulut dan berjongkok di depan Mas Satya.
"Coba aku lihatin apa kaki Mas gak seperti orang normal? Kiri jadi kanan gak?" kekehku sambil menunjuk sepatu yang kebalik.
"Pantas saja gak bisa masuk," lirihnya, lalu buru-buru menunduk untuk memasang sepatunya.
"Awww," seruku. Kepala kami berbenturan.
"Duh, sakit ya?" ujarnya sambil mengusap-usap kepalaku. Rasanya damai sekali.
"Sakitnya cuma sedikit, senengnya yang banyak," balasku asal.
"Maksudnya?"
"Biar aku yang pasang sepatunya," tuturku, tersenyum sekilas.
"Harusnya kamu …."
"Jangan membantah!" titahku. Mas Satya menurut.
Aku memakai jilbab instan dan mengantar Mas Satya sampai ke teras, meraih tangannya untuk kucium dengan takzim.
"Kamu terlalu totalitas pura-puranya, Zi," kekeh suamiku.
Perasaan ini tak pura-pura, Mas. Aku ingin kamu menyadari kalau hubungan kita ini harus lanjut sampai menua sebagai suami istri.
"Mas juga menjiwai kok. Tangannya sampai dingin gitu," balasku.
Seketika senyumnya pudar, lalu langsung masuk ke mobil. Mungkin rasa cintanya pada Ranti lebih besar dan menolak perasaanya yang mulai terbentuk padaku. Aku yakin dia berusaha setia pada Ranti, tapi sepertinya yang diperjuangkannya tidak lah seindah yang ia harapkan.
***
Karena aku sudah mulai jualan online, waktuku banyak tersita menggunakan ponsel. Aku mulai menyortis daftar pertemananku dan mencari target pasar yang sesuai dengan produk yang akan kujual.
Produk kecantikan dengan kualitas bagus tentu lebih banyak diminati para wanita di usia produktif. Gak bakal laku sama cabe-cabean yang masih mengharapkan uang dari orang tua. Akun laki-laki juga aku hapus karena bukan target pasar. Mungkin ada suami yang romantis mau membelikan sesuatu yang bisa membuat istrinya cantik. Tapi aku yakin jumlahnya cuma seuprit.
Aku mulai meng-add akun-akun dengan gaya sosialita maupun yang bekerja di ruang publik.
Mataku menyipit kala melihat foto Ranti di aplikasi berlogo huruf f. Asli aku kepo dan sayangnya list pertemanan disetting privat, begitu juga dengan postingan.
Jadi aku harus membuat akun fake dan berteman dengannya. Gak mungkin aku menggunakan akun yang ini karena pake nama asli dan juga foto diriku. Namanya juga mau dijadikan akun jualan. Untung saja aplikasi yang satu ini bisa mendaftar akun yang berbeda dalam satu ponsel.
Dengan gerak cepat, aku mencomot foto lumayan cantik tapi tidak terkenal dari google dan mulai membuat akun baru.
Kanaya Amaira, nama itu yang kujadikan sebagai akun baruku. Beberapa foto berlian yang kucomot dari google kujadikan foto sampul dan menuliskan di bio kalau aku ratu arisan berlian secara online. Moga saja dia mau menerima pertemananku.
Klik. Aku meng-add akunnya setelah lebih dahulu menambah daftar pertemanan dengan memilih akun dengan foto profil yang mengesankan kaya.
Beberapa menit, belum ada respon. Semoga saja bukan tak berminat berteman denganku, tapi cuma karena dia belum aktif. Aku menutup akun itu dan beralih ke akun asliku.
Alhamdulillah, beberapa teman mengomentari postinganku. Ada yang menanyakan tentang produk yang kujual, ada juga yang ngajak bernostalgia.
Satu pertanyaan yang membuatku tertawa miris.
[Udah isi belum?] ujar salah satu temanku.
Isi angin iya. Tidur saja, Mas Satya membelakangiku. Soal menghabiskan malam, dia lebih sering bersamaku di sini. Tapi aku tidak bisa menggenggam hatinya dan juga memeluk raga suamiku. Hatinya masih kukuh berlabuh dengan wanita lain.
[Doain ya] balasku di komentarnya. Kolom menyesakkan itu kutinggalkan dan beralih ke jalur prubadi, membalas beberapa pesan calon customer.
Ada beberapa orang yang langsung transfer dan sebagian katanya mau tanya suami dulu.
[Nia, aku dapat orderan nih] tulisku ke sahabatku.
[Masya Allah, kamu memang jago jualan sejak dulu. Pinter banget nyari market yang pas. Kata-katanya juga sangat menggoda. Ibarat kata, yang buah mengkal pun bisa jadi ranum] balas Nia disertai emoticon mata keluar love-love.
[Rejeki anak soleha] tulisku.
[Istri soleha, Zia. Saat masih lajang baru anak soleha] protes Nia. Jeli banget dia memeriksa semua kosa kataku.
[Iya, istri soleha sekaligus anak soleha] tandasku, lalu meletakkan ponsel. Aku merebahkan diri dan memandang foto pernikahan kami yang terpajang di dinding. Foto yang bersikeras kupajang di sana. Senyum Mas Satya terlihat natural dan tulus, tapi hatinya yang tidak menginginkan pernikahan ini.
Ya Robb. Pantaskah aku dilabeli istri soleha, sedangkan suamiku tak pernah mengganggap diriku sebagai istrinya. Perih. Berkali-kali mencoba kuat, ada saja hal yang membuat hati ini meratapi nasib. Tak terasa sudut mata telah meneteskan bulir bening.
Aku kembali senyum dan menyusut air mata. Aku wanita yang kodratnya suka menangis, bukan karena rapuh. Aku siap meraih hakku dan bersama-sama bahagia dengan suamiku.
Aku meraih ponselku dan kembali ke akun baru. Alhamdulillah, Ranti menerima pertemananku. Aku begitu penasaran apa saja informasi yang bisa kudapat dari akunnya ini.
Berhasil gak, ya?