PoV Author (Membeli perhiasan imitasi)
_______

Bude Ulya dan Nenek Sasmita-- ibu kandung dari ibu Riris, pulang kerumah mereka dengan tangan hampa. Mereka berpikir akan dengan mudah merebut sertifikat tanah yang sudah berpindah alih menjadi milik Riris. Ternyata menghadapai Riris tidak semudah yang mereka bayangkan. Gadis yang dulunya terkenal penurut dan pendiam, kini berubah menjadi singa yang siap menerkam mangsanya.

"Haduh! Pusing kepalaku, Bu! Pakai cara apa lagi agar Hanum mau memberikan sertifikat tanah itu?" Bude Ulya menghempaskan bokongnya disofa.

Nenek Sasmita yang merasa pening, hanya bisa diam dan memijit pelipisnya naik turun.

"Minta sama Heru, kalau tidak, kita bakal jadi gunjingan orang sekampung!" Nenek mendengkus kesal melihat Bude Ulya yang hanya bisa mengeluh.

"Ibu kan tau, Heru sedang pasang tender gede-gedean. Manalah mau dia menanggung biaya pernikahan yang belum lunas!" Bude Ulya mengambil kutek di meja dan mulai memolesi kuku-kukunya dengan warna pink. "Lagian aku nggak mau ya, Bu, kalau sampai sertifikat tanah milikku dan rumah ini yang harus digadaikan!" Ucapnya dengan santai.

"Trus maumu gimana, Ul?! Kamu mau kita jadi bahan omongan orang-orang gara-gara nggak bisa bayar biaya pernikahan Anggi?!" Nenek mengeluarkan suaranya dengan nada tinggi.

"Ya ibu cari ide dong! Gimana caranya biar Hanum mau nyerahin sertifikat tanah itu!" Anak kesayangan Bu Sasmita berlalu menuju kamar dengan bibir cemberut.

Nenek Sasmita menghela nafas kasar. Dia tau, yang sedang dihadapinya saat ini bukan Riris 15 tahun silam, yang dengan mudahnya bisa dia bodohi meskipun Hanum-- ibu Riris mendapat bagian warisan yang tidak adil. Saat itu usia Riris baru saja 10 tahun, dia tak ubahnya anak-anak yang sedang disibukkan dengan bermain rumah-rumahan dari tanah, masak-masakan dari segala tumbuhan yang ada disekitar rumah. Tapi kali ini dia sedang berhadapan dengan Riris yang sudah mempunya pemikiran cerdik. 

Masih dipijitnya pelipis yang sudah mengkerut itu. Ulya yang mengadakan pesta pernikahan untuk anaknya, tapi dirinya yang harus menanggung beban.

Tiba-tiba dia teringat dengan ucapan Riris. "Akan aku potong jari dan pergelangan tangan anak kesayangan nenek untuk mengambil emas-emasnya!" 

Ya! Ulya memiliki emas yang bisa dijual untuk menutup kekurangan biaya pesta pernikahan Anggi.

"Ulya!" Nenek Sasmita berteriak memanggil nama anak kesayangannya. "Ulya! Cepat kesini, buruan!" Teriak nenek Sasmita lagi, ketika sang anak tidak kunjung menghampiri ibunya.

"Apa sih Bu?! Aku sibuk selfie nunjukin emas-emasku di tangan ini loh! Biar teman sosmed ku pada ngiri tau nggak!" 

Bu Sasmita mendengkus kesal. Bukannya bingung memikirkan cara membayar kekurangan biaya pesta, anaknya malah sibuk memamerkan emas hasil dari uang kondangan para tamu.

"Lepasin semua emas-emas kamu, sekarang!" Pinta nenek Sasmita.

Sang anak mendelik, tidak paham dengan arah pembicaraan ibunya.

"Apa maksut ibu? Kenapa aku harus melepaskan perhiasanku?" 

"Untuk bayar kekurangan biaya pesta anakmu, memangnya untuk apalagi!" 

"Ya nggak bisa gitu dong! Enak aja! Ini emas aku beli pakai hasil dari uang kondangan tamu-tamuku! Enak aja mau dibuat bayar pesta Anggi!" Ucap Bude Ulya bersungut-sungut.

"Heh, Ulya! Kamu pikir Anggi itu anak siapa, hah?!" Nenek Sasmita membentak dan menjitak kepala Bude Ulya.

"Auh, sakit Bu!" Ucap Bude Ulya mengadu.

"Makanya, cepat kamu lepas semua perhiasan kamu, sekarang juga kita ke pasar, biar besok bisa kita lunasin kekurangan biaya pesta Anggi!" Nenek Sasmita menarik kasar tangan Bude Ulya dan melepas semua perhiasan yang terpasang di sana.

"Lalu, apa kata orang nanti kalau seorang Ulya tidak memakai perhiasan mahal, Bu!" Dia merengek dan menampik kasar tangannya dari cengkeraman ibunya.

"Untuk sementara, jangan keluar rumah sampai anakmu Anggi bisa mengeruk harta suaminya dan kamu bisa membeli perhiasan baru lagi!" Sebuah ide keluar dari mulut seorang ibu untuk anak tersayangnya.

"Ah iya, ibu betul juga. Lagian Anggi kenapa nggak datang nengok kita ya, Bu? Anak nggak tau diuntung! Udah tau ibu dan neneknya pusing mikirin biaya pernikahan dia, eh, dia malah enak-enakan hidup di rumah mewah!" Bude Ulya ngedumel mengingat Anggi yang seolah enggan tahu-menahu tentang biaya pesta yang dia selenggarakan. "Awas saja besok kalau pulang!" Ucapnya lagi.

"Jangan banyak ngomong, udah buruan ambil surat-suratnya, keburu siang!" Pinta Nenek Sasmita.

Bude Ulya berlari menuju kamar, membuka laci tempat penyimpanan surat-surat penting termasuk surat dari berbagai perhiasan yang menempel di jari dan lehernya, juga di pergelangan tangannya.

Ada kurang lebih 5 cincin masing-masing seberat 5 gram, kalung seberat 10 gram dan beberapa gelang dengan masing-masing berat kurang lebih 7 gram. Nenek Sasmita berpikir, uang hasil dari penjualan perhiasan milik anaknya, mampu menutup kekurangan biaya untuk pesta Anggi.

Nenek Sasmita dan Bude Ulya tidak tau, jika pelaminan yang Anggi pilih pada sang WO seharga 50 juta, belum lagi makanan yang sengaja dipesan dengan jasa catering mencapai 15 juta, yang terlihat murah hanya jasa Henna Art, itupun dulu Anggi menawar habis-habisan. Dan akhirnya mendapat harga terjangkau sebesar 500 ribu. Harga teman pikir sang pemilik jasa Henna Art.

Uang hasil penjualan emas milik bibi Sasmita terkumpul sebesar 50 juta. Nenek Sasmita dan Bibi Ulya berpikir uang itu akan ada lebihnya.

"Gimana kalau sementara kamu beli emas sepuhan aja, Ul?" Tanya sang ibu.

"Bener juga ya Bu? Yang penting kan para tetangga taunya aku pakai emas." Senyuman terbit di bibir Bude Ulya.

Sebuah ide brilian pikirnya. Tidak ada salahnya jika harus memakai emas imitasi, toh, para tetangga tidak akan tau perbedaan emas imitasi dan emas asli. Yang terpenting di hadapan orang lain, dia terlihat kaya dengan banyak emas yang tergulung di jari dan pergelangan tangannya. Juga kalung besar yang menjuntai hingga ke dada.

Ibu dan anak yang sedang membawa uang sebesar 50 juta itu, kembali masuk kedalam pasar. Mencari penjual emas imitasi dengan harga murah.

Semua perhiasan sudah terkumpul. Dimasukkannya ke dalam tas yang melingkar di pundak Bude Ulya. Sepanjang perjalanan mereka tersenyum lega, membayangkan sebentar lagi akan terbebas dari hutang, dan tetangga akan melihat betapa kayanya keluarga mereka.





Bersambung












Komentar

Login untuk melihat komentar!