''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TERSESAT DALAM CINTA
Bab 5: Gaun dari ...?
A Novel By. Ester Shu
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Pagi ini gerimis membasahi bumi Jakarta. Kulihat Mia masih melingkar di balik selimut tebal berwarna merah muda. Aku turun dari ranjang, kakiku menapak keramik marmer warna cokelat. Terasa sangat dingin. Setapak demi setapak melangkah menuju jendela.
Tanganku meraih tirai jendela dan membukanya perlahan. Percikan air membentuk beberapa titik pada kaca. Titik-titik air itu berlomba dan saling berkejaran meluncur ke bawah.
Tak berapa lama, mataku pun menatap lurus ke depan. Yah, mencuri pandang akan aktivitas tetangga depan rumah.
Rasa penasaran menyeruak dalam hati. Secara, kemarin Mbak Nia memergoki sifat asli Mas Aris.
Aku mulai tersenyum simpul saat menyebut nama Mas Aris. Walau dia, sudah memintaku menyebut dengan sebutan kakak, tapi aku tak sanggup merubahnya.
Kakiku jinjit, melongok lebih dalam ke arah rumah itu. Tapi sepertinya tak ada aktivitas yang berarti. Sunyi dan sepi, seperti tak berpenghuni.
Kubalikkan badan dan melangkah menuju kamar mandi. Tanganku menyambar handuk dari samping pintu kamar mandi dan masuk. Selesai mandi dan memakai baju, aku duduk sebentar di meja rias. Merapikan tampilan wajah dan rambutku. Mataku menoleh ke arah Mia, sahabatku itu masih tidur pulas.
Kuambil ponsel dan melangkah menuju dapur untuk membuat segelas kopi. Kubawa kopi menuju teras depan. Gerimis pagi ini membuat suasana makin syahdu. Udaranya sejuk dan segar.
Hari ini hari Minggu. Aku masih amat santai, karena masih libur kerja. Badanku menyandar pada kursi dan jempolku mulai berselancar pada papan kaca layar datar. Memainkan sebuah game favorit masa kini, apalagi kalau bukan game ular.
"Key, nggak bikin sarapan, ya?" ucap Mia dari pintu dengan suara serak. Mataku menoleh ke arahnya. Matanya masih terlihat sedikit merem. Ada handuk melingkar pada lehernya. Seperti bocah yang sedang minta makan sama emaknya.
"Lo mandi dulu sono. Nyawa belum kumpul pun, dah nyari makan aja," ledekku sedikit manyun kearahnya.
Anak itu pun ngeloyor pergi masuk kamar mandi. Mataku terfokus pada ponsel dan melanjutkan main game ular.
"Key!" Suara lirih dari balik pagar besi.
Mbak Nia, ada Mbak Nia disebelah sana dengan mata sembab dan suara parau. Aku menghampirinya dan membukakan gerbang pintu.
"Ayo Mbak, masuk," ajakku sambil menggandeng tangannya masuk kedalam rumah.
Sorot matanya hampa, nyaris seperti tak ada semangat dari dalam sana. Aku memintanya duduk di ruang tamu dan menggenggam erat tangannya.
"Dugaan Mbak, ternyata benar, Key." Air mata Mbak Nia meluncur deras. Tanpa aba-aba kupeluk, berharap Mbak Nia sedikit santai.
Mia yang melihat kami memberi kode dari mata, jari dan mulutnya. Jari telunjukku menempel pada bibir, memberi isyarat agar Mia diam. Dan mengibas menyuruhnya masuk lagi ke dalam kamar.
Saat Mbak Nia tenang, perlahan tanganku mulai melepaskan pelukan. Kami saling tatap dalam diam.
"Mbak, mungkin bukan Mbak saja yang terluka. Keyla yakin Mas Aris juga pasti merasakan hal yang sama." Aku mencoba menetralkan suasana hati Mbak Nia, walau itu sangat sulit.
Sampai sekarang saja, aku masih belum bisa menerima kenyataan, kalau laki-laki itu ternyata gemulai.
"Key, boleh nggak Mbak tidur disini?" tanyanya pelan. Sekali lagi tanganku menggenggam erat tangan Mbak Nia.
"Mbak, rumah kita berhadapan. Alangkah baiknya Mbak Nia mencari solusi untuk masalah yang Mbak hadapi bersama Mas Aris. Menghindar bukanlah solusi yang baik," terangku. Mbak Nia mengangguk-angguk paham.
"Paket," teriak kurir dari luar gerbang.
Aku bingung karena aku nggak ada pesan apa-apa.
"Mia!" seruku kuat. "Lo ada pesan barang, ya?" lanjutku sembari bertanya.
"Kagak!" jawab Mia mendekat dan duduk di sofa sambil menyalakan televisi.
Aku bergegas ke teras menemui pak kurir.
"Dengan Ibu Keyla?" tanya kurir itu memastikan namaku.
"Iya, Pak," jawabku sambil menerima kotak paket. "Dari manakah ini, Pak?" tanyaku, tapi Pak Kurir tak menjawab karena tak ada di daftar pengirim.
"Tolong tanda tangan di sini, Bu," ucap Pak Kurir sambil menunjukkan tempat buat tanda tangan penerima. Setelah selesai tanda tangan Bapak itu pergi.
Kotak tanpa pengirimnya. Mencurigakan. Kakiku pun melangkah masuk dalam rumah. Mbak Nia sama Mia masih duduk cantik di sofa sambil menikmati acara televisi.
"Apa tu, Key?" tanya Mia mendekat dan mulai membuka kado yang kuletakkan di meja.
"Wihhh ... keren. Gaun, Key?" ucap Mia sambil meregangkan gaun warna putih selutut. Mataku melotot melihat gaun super indah itu. Simpel tapi sangat berkelas.
Kuambil kotak kosongnya dan benar ada kartu ucapan dari sang pengirim kado.
'Nanti jam tujuh malam, aku jemput.'
Vandi.
O my God, Vandi yang kirim. Gaun sebagus ini? Untuk acara apa?
Ada banyak hal yang jadi pertanyaan dalam benakku.
"Duh ... dari Sang Bos, ya? Romantis banget?" Mia mulai meledekku.
"Lo tu, Mia. Gara-gara ulah lo, nih!" Mbak Nia yang mendengar pertarungan suara antara aku dan Mia ketawa ngikik. Senang bisa lihat Mbak Nia ketawa lagi.
Mia pun lari masuk kamar dan mengambil alat tempurnya.
"Sini ...!" Mia mulai menyeret tanganku dan duduk di lantai.
Dengan sigap tangannya menarik rambutku dan di ikatnya kuat. Mulai jari-jemarinya membersihkan wajah dan meletakkan sebuah masker pada mukaku.
"Diam, jangan tersenyum," perintahnya.
Mbak Nia pun mendekat dan kami mulai mengacak-acak alat tempur Mia. Kami saling menyematkan masker secara bergantian. Setelah itu memakai lulur bareng.
Suasana kembali ceria. Mia memang paling bisa memecah suasana menjadi lebih ceria. Kami melepas tawa riang bertiga.
Selang sejam, kami membasuh muka, tangan dan kaki bersama. Rasanya segar. Setelah itu kembali duduk di sofa sambil menikmati acara TV.
"Lapar ...!" seru Mia keras.
"Mbak tadi ada masak. Mbak ambil dulu, yah?" ucap Mbak Nia membuat kami melongo, sungkan.
"Jangan, Mbak. Nanti Mas Aris makan apa?" jawabku ngasal.
Terlihat Mbak Nia mulai murung, seakan kecewa.
"Ambil saja, Mbak. Lapar, nih!" seru Mia nyablak. Spontan tanganku mencubit pinggangnya.
Mata Mbak Nia mulai berbinar dan melangkah keluar. Mataku melotot tajam ke arah Mia.
"Orang murung tu harus diturutin, Key. Lo mau, dia tambah stress." Penjelas Mia mulai menyadarkan aku.
Benar juga sih, apa yang Mia bilang. Buktinya wajah Mbak Nia kembali ceria mendengar ucapannya. Aku pun tersenyum menatap sahabatku itu.
Tak berapa lama Mbak Nia datang membawa lauk yang lumayan banyak. Kami pun menikmati sarapan yang sudah kelewat siang. Yang penting perut terisi.
Bersambung ....
Subscribe, yuk!