''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TERSESAT DALAM CINTA
Bab 2: Masih Syok
A Novel By. Ester Shu
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Gemerlap lampu kota tak bisa menerangi gelapnya hati yang telah tercabik oleh kenyataan. Kenyataan pahit yang nyaris membuatku mual. Dadaku terasa sesak, melihatnya dengan tingkah polah yang terlalu ekstrim itu. Kehadirannya sudah mendobrak paksa, masuk ke dalam hatiku.
Hatiku beku dan gelap. Perasaan sudah tertawan oleh keadaan. Kini, aku sudah berada pada lingkaran setan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sosok pria cantik. Nggak habis pikir, rasa ini mengakar dan tak jua pergi menjauh setelah melihat kenyataan.
Setelah mobil sampai rumah aku turun dan berlalu dengan langkah kaki lunglai.
"Gue langsung pulang ya, Key!" teriak Mia dari dalam mobil.
"Ya! Hati-hati di jalan, ya!" seruku balik sambil melambaikan tangan.
Tin ....
Bunyi klakson Mia menyahut, mobilnya pun berlalu.
Aku langsung masuk kamar dengan lesu, seakan duniaku runtuh. Rasa kaget masih menggelayut dalam dada. Melihatnya dengan lipstik merah menyala mampu memporak porandakan perasaan.
Mataku menyisir tiap sudut kamar yang temaram oleh cahaya lampu dari luar jendela. Kulangkahkan kaki menuju jendela, sebelum akhirnya tangan meraih tirai dengan gemetar. Aku berdiri terpaku, menunggunya pulang.
Lama.
Berdiam diri menikmati rasa. Air mataku mulai menetes, rasa sesal dan kecewa ini tak mampu membunuh perasaanku akan sosoknya.
Aris ...! Kenapa kamu bisa seperti itu?
Aku mulai mengacak-acak rambut, mencoba menyadarkan diri akan sosoknya yang bisa berubah wujud. Terdengar bunyi mobil datang dan terparkir di halaman rumah Aris. Sontak aku melongok ke jendela, membuka tutup jendela dengan cepat. Aku ingin melihatnya. Ya, aku ingin melihat sosoknya.
Tidak ada yang aneh.
Aris kembali seperti biasanya. Tidak ada lipstik pada bibirnya, tidak memakai kardigan lagi dan tidak ada alas kaki yang berhak tinggi lagi pada tumitnya. Semua seperti sedia kala. Laki-laki tampan yang mampu membuat jantungku berdebar. Aku berpaling dan menyandarkan punggungku pada dinding samping jendela, berangsut turun dan duduk dengan lemas.
Aris ...! Sebenarnya kamu normal apa 'nggak, sih!
Jeritku dalam hati, memekik rasa sunyi. Aku meringkuk di bawah jendela, menyesali rasa yang telah tersesat jauh. Mimpi buruk ini sangat menakutkan.
*
Tok tok tok.
Suara pintu rumah diketok dari luar. Mataku masih terasa sangat berat untuk terbuka lebar. Cahaya sinar pagi masuk dari cela jendela membuat mataku silau. Tertegun sebentar, mencoba mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih berkelana.
Mata beralih pandang, melihat jam yang tersemat di dinding. Pukul 09:00 WIB. Aku berdiri menapaki lantai marmer berwarna cokelat, menuju kamar mandi, mencuci muka dan gosok gigi.
"Key...!" teriak Mbak Nia dari depan pintu sambil ketok-ketok.
"Ya, Mbak," jawabku dengan suara serak.
Kubuka pintu dan mengajak Mbak Nia masuk rumah. Kami duduk di sofa ruang tamuku. Mbak Nia menyodorkan rantang berisi opor ayam dan nasi. Aku meletakkan rantang di atas meja, tepat di hadapanku. Tatapan mataku kosong, memandanginya dengan penuh rasa sesal.
"Hey ...!" Tangan Mbak Nia menepuk pundak nyaris membuat detak jantungku berhenti. Kaget luar biasa.
"Melamun aja!" lanjutnya.
Wajahku menoleh kearahnya dan tersenyum.
"Terimakasih, Mbak, sudah repot-repot bawain Keyla sarapan," ucapku ringkas.
Aku masih heran dengan Mbak Nia. Apakah dia tau tentang kondisi suaminya yang bisa berubah jadi makhluk lain?
"Key ...," ucap Mbak Nia lirih.
"Mbak kepengin cerai aja!" Mataku membulat, syok.
"Kenapa, Mbak? Bukankah Mas Aris laki-laki yang baik?" tanyaku bertubi-tubi sambil mencondongkan badan kearahnya penasaran.
"Huft ...!" Mbak Nia menghela napas panjangnya. Aku tetap menatap wajahnya dan menanti jawaban yang pasti.
"Apakah Mbak Nia tau, kalau suaminya pria cantik?" bisikku dalam hati mereka-reka.
"Aku sama Mas Aris bisa dibilang pengantin baru ...." Aku menganggukkan kepala tanda tau. "Kita menikah sekitar enam bulan yang lalu. Sepertinya ada sesuatu yang aneh dari sikap Mas Aris, deh! Apa itu, Mbak nggak tau!" Mbak Nia merubah posisi duduknya, sekarang kami benar-benar saling berhadapan.
Aku paham kenapa itu terjadi, tapi mulutku terkunci rapat demi sebuah jati diri yang sulit diungkapkan. Aku saja syok, apalagi dengan Mbak Nia. Aku memilih diam, mengubur kenyataan.
"Maaf nih, Mbak, Keyla mau tanya?" wajahku berubah serius saat mata kami saling tatap dan menyentuh punggung tangannya.
"Mbak menikah dengan Mas Aris atas dasar cinta atau ...." Mbak Nia menggelengkan kepala memotong pertanyaanku.
"Tidak, mbak menikah karena dia ganteng. Mungkin lebih tepatnya kagum saja. Mbak dan Aris menikah karena perjodohan. Kami tidak melewati masa pacaran." Tatapan mata Mbak Nia mulai menerawang kosong ke depan.
"Sungguh!" lanjutnya sambil menatap mataku. "Dibalik kegantengannya ada sesuatu yang janggal, yang dia sembunyikan. Entah apa itu, aku tak tahu." Mbak Nia menundukkan wajahnya.
'Masa sih menikah tanpa cinta?' Hatiku mulai berbisik.
"Aku meninggalkan pacarku, demi Mas Aris," terang Mbak Nia, membelalakkan mataku.
"Dia masih sering memberi kabar dan menungguku," lanjut Mbak Nia sedikit tersenyum.
Ada binar cinta di mata tetangga depan rumahku ini saat membahas masa lalunya. Tetangga yang telah menjerumuskan aku ke dalam lingkaran syetan. Tetangga yang mampu membuatku jatuh cinta pada suaminya. Tetangga yang dulu sering memuji suaminya, sampai benih cinta ini tumbuh subur dalam hatiku.
Nafas panjangku berhembus cepat, berharap mampu membuang mimpi buruk ini.
"Key, mbak pulang dulu, ya?" ucap Mbak Nia, menyadarkan aku.
"I--iya, Mbak. Btw, makasih opornya. Rantang biar disini dulu, ya?"
"Santai ja, Key," ucapnya sambil berlalu.
Aku tertegun sesaat.
Ari ... s! Hatiku menjerit lagi dan lagi.
Rasa sesal menggunung dalam hati. Sangat berharap, aku tak pernah melihat wujudnya yang seperti itu.
Kakiku melangkah masuk kamar, hendak mandi. Hari ini rasanya sangat malas beraktifitas. Aku merebahkan diri di ranjang, sambil menatap langit-langit kamar dengan hampa.
Dert ... Dert ....
Ponselku bergetar, ada SMS masuk dari Andi. Teman kerjaku di kantor.
[Kagak masuk lu, Key?]
[Kagak.]
[Napa? Sakit?]
[Iya.]
Setelah itu ponsel kulempar, lalu meringkuk malas. Tanganku menggapai remote air conditioning, menyalakannya lalu melingkar di balik selimut bed cover warna pink.
Aku bekerja di perusahaan elektronik bagian akuntansi. Kami kerja dari hari Senin sampai dengan Jum'at. Sepertinya, aku sudah ada niat untuk resign dari tempat kerja. Rasa semangatku tiba-tiba hilang dalam waktu semalam.
Kulangkahkan kaki mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Selesai mandi dan mengenakan pakaian aku duduk di meja rias, menatap kasian pada sosok wanita di hadapanku.
'Mencintai suami orang saja udah salah! Apalagi sekarang, laki-laki yang lo cinta ternyata pria cantik. Puas ... lo!' bentakku keras pada pantulan sosok diri.
Aku mulai melangkah ke ruang tamu mengambil rantang yang berisi opor dan nasi lalu membawanya ke meja makan. Memindahkan nasi dan opor pada piring dan melahapnya sedikit demi sedikit.
Setelah selesai mencuci rantang kosong, aku membawanya ke rumah Mbak Nia. Langkah kakiku terhenti sesaat, rasa tak karuan mulai berkecamuk dalam hati. Aku mulai menghela nafas dalam-dalam lalu memberanikan diri melangkah memasuki pekarangannya. Mbak Nia sedang duduk di ruang tamu sambil nonton televisi.
"Mbak!" Aku menyapanya. Wanita cantik itu menoleh ke arahku.
"Masuk, Key?" ajaknya ramah.
Bismillah, aku masuk dengan menghela nafas lagi. Langkah kakiku menuju dapurnya dan meletakkan rantang kosong di meja dapur.
"Mbak, makasih opornya. Aku pulang dulu, ya?"
"Eh, duduk dulu. Main pulang aja!" seru Mbak Nia. Kakiku pun berbelok ke sofa dan duduk di sampingnya. Perasaan dag, dig, dug nggak karuan menyeruak dalam dada.
"Assalamu'alaikum."
Sontak mataku membulat. Suara itu ....
Bersambung ....
Subscribe, yuk!