-3- Makin Keruh
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TERSESAT DALAM CINTA
Bab 3: Makin Keruh
A Novel By. Ester Shu
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Keringat dingin mulai menjalar dari telapak tangan, saat Aris masuk dalam rumah. Aku terdiam, terpaku. Bagaimana ini Aku mencoba mengatur rasa yang mulai sesak oleh keadaan. Antara suka, jijik, cinta, geli jadi satu. Sulit diutarakan.

Aku harus bagaimana?

Tak lama, Mbak Nia menjawab salamnya. Selang sekian detik Aris masuk rumah.

"Key," sapanya.

"I--iya, Mas," jawabku gugup. Suara detak jantungku mulai tak beraturan. Rasa ini sungguh sangat menyiksa.

Aris pun ngeloyor pergi menuju kamar yang tak jauh dari ruang tamu. Sesekali mataku mencuri pandang. Tak berapa lama sarung sudah tersemat di pinggangnya dan peci hitam terpakai rapi di kepalanya. Duh!  ganteng maximal, sholeh lagi. Ya, aku terpesona. Sangat terpesona.

Aris pun berlalu sambil mengucap salam dan disambut oleh Mbak Nia. Ya, hari ini hari Jum'at, wajib hukumnya seorang laki-laki dewasa pergi ke masjid guna menunaikan salat Jum'at.

"Baik dan sholeh, kurang apalagi, Mbak?" tanyaku membuka percakapan.

"Kriteria idaman 'kan, Key?" Mbak Nia berbalik menanyakan pertanyaan yang tak bisa aku jawab. "Ada 'sesuatu yang salah' yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata," lanjutnya sambil menjentikkan ibu jari dan jari tengah secara bersamaan.

"Dipikirkan lagi, Mbak?" ucapku sambil memegang punggung tangannya.

"Yah ..., akan aku usahakan," desisnya yang tak bersemangat sembari menghela nafas panjang.

Aku bersandar pada sofa ruang tamunya. Sekitar sejam kemudian bunyi pagar halaman terbuka, sepertinya Aris sudah pulang.

Aku pamit pulang, karena mungkin mereka mau beristirahat. Sampai di teras rumah, aku dan laki-laki yang selalu berpakaian rapi itu hampir saja tabrakan. Aku lewat jalur kiri begitu pun dia, ke sebelah kanan dia pun begitu.

Rasa gugup membuat otakku tak mampu bekerja lebih baik. Seketika badanku mematung dan berhenti, mempersilahkan Aris untuk jalan duluan. Kami sama-sama berdiri mematung saling berhadapan. Dari gestur dan mimik wajahnya, sepertinya ... Aris sedang menyuruhku jalan duluan. Sejenak tatapan mata kami saling bertemu dalam diam.

'Ya, Alloh. Kutukan apa yang aku rasakan saat ini!' Hati dan jiwaku bergolak hebat.

Dengan cepat, aku jalan menuju rumah. Langkah kakiku kian cepat sampai di halaman rumah, nafasku tersengal dan lelah. Rasanya seperti habis jalan jauh. Padahal rumah kami saling berhadapan.

Berhenti sejenak di pekarangan mencoba mengatur nafas dan mulai jalan dengan gontai menuju pintu. Tangan mulai menggapai handle pintu dan membukanya perlahan, kemudian menutup lagi. Membalikkan badan dan bersandar pada pintu yang terbuat dari kayu jati berukir.

Aku terdiam, menatap setiap sisi dinding dan ruang tamuku dengan hampa. Kedua telapak tanganku bersilang di dada merasakan detak jantung yang kian cepat.

'Ingat, Key. Dia itu pria cantik. Inget itu!' Aku mencoba menyadarkan diri supaya tak larut pada rasa cinta yang salah.

Debaran jantung ini nyaris membuatku gila. Gila, karena telah terjebak pada pesona yang salah.

Tak berapa lama, tanganku meraih gorden jendela dekat pintu, mencoba mengintip sosoknya. Entah kenapa sosok itu terus membuatku penasaran. Padahal aku tahu dia seorang pria cantik.

Andai kamu normal, Ris ....

Aku jalan ke arah kamar untuk mengambil tas dan kunci mobil. Ya, aku harus melihat dunia luar. Di rumah saja tanpa ada kegiatan, bisa membuatku gila.

Kali ini roda mobilku membelah kota Jakarta. Tak tau mau kemana dan mau ngapain. Yang pasti, aku harus bisa mencari kesibukan. Mengelilingi Jakarta seorang diri. Berteman dengan rasa yang hancur oleh kenyataan. Harusnya aku bahagia saat Mbak Nia berencana minta cerai. Tapi, kenapa aku makin kalut dan takut.

Mobil pun berhenti di sebuah taman kota. Sore ini taman begitu ramai. Ramai dengan orang yang sedang melakukan aktivitas santainya. Ada yang berolah raga, ada yang tengah asik duduk-duduk dengan pasangannya dan ada juga yang sedang bercengkerama  dengan keluarganya.

Ramai, tapi terasa sepi.

Aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi dan menikmati angin segar.

"Key," sapa seorang laki-laki yang duduk di sampingku.

"Pak," jawabku kaget sambil menundukkan wajah.

Vandi. Dia pimpinan di perusahaan elektronik tempatku bekerja. Aku terdiam sungkan, karena tadi pagi aku bolos kerja. Beliau memang terkenal dengan keramahannya. Sama siapapun.

Dilihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya Vandi sedang berolah raga. Andai aku tau, pasti aku memilih tempat lain untuk bersantai ria.

"Tadi pagi nggak masuk kerja, ya?" tanya Vandi sambil menyilang kakinya.

"I--iya, Pak," ucapku gugup. Mati aku bisa kena Surat Peringatan, nih besok. Aku mulai memejamkan mata sedikit takut.

Rasanya pengen cepat pergi dari sini, tapi, itu sangatlah tidak sopan. Secara ada Bos yang duduk di sampingku. Aku terus menundukkan wajah.

"Santai saja, Key. Di luar jam kerja, kita tak ada ikatan atasan dan bawahan." Seakan Vandi bisa membaca perasaanku.

Aku mulai santai dan melihat keceriaan sekelilingku. Ada kembang gula warna merah muda mencuri perhatian. Mataku terus tertuju pada jajanan rakyat itu. Makanan kesukaan saat kecil.

Vandi beranjak dari tempat duduknya membuatku lega.

'Aman,' desahku sambil mengelus dada.

Saat hendak beranjak dari tempat duduk, Vandi kembali lagi membawa dua buah kembang gula, aku melongo, syok. Satu buah di serahkan padaku dan sebuah lagi dia nikmati sambil duduk di sampingku.

Aku terdiam sambil memegang kembang gula di tanganku.

"Nggak suka, ya?" tanyanya sambil menoleh ke arahku

"Su--suka, Pak," jawabku gugup sambil menikmati kembang gula yang lembut seperti kapas. Rasanya manis, mampu menenangkan hati yang saat ini bagai puzzle yang tak tersusun rapi.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seseorang di ujung sana. Laki-laki  gemulai itu sangatlah familiar di mataku. Aris. Pakaiannya biasa saja, tanpa lipstik dan tanpa sepatu berhak tinggi.

Gestur tubuhnya meliuk seperti tak ada tulang. Tangan lentik sering menyisir rambutnya yang masih rapi saat mulut berbicara.

O ... my ghost!

Sontak aku berdiri dan terus memandang tingkah laku Aris dari kejauhan. Rasanya sakit dan nggak bisa terima dengan kenyataan ini.

"Ada apa, Key?" tanya Vandi membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar, aku telah mengabaikan keberadaan laki-laki yang dari tadi duduk di sampingku.

"Maaf Pak, Keyla harus pergi," ucapku sambil melangkahkan kaki mendekati sosok Aris.

Aku yakinkan hati untuk terus melangkah mendekatinya. Mengayunkan kaki, terasa amat berat, tapi aku harus berani.

Aku berdiri tepat dibelakangnya. Memandang tingkah polah Aris yang nggak jelas. Teman-teman Aris seakan tengah memberi kode, tentang keberadaan aku, yang tengah berdiri di belakangnya. Aris mulai balik badan dan kami benar-benar saling berhadapan.

"Mas Aris," ucapku lirih mampu membuatnya terkejut. Terlihat matanya membulat dengan wajah pucat pasi, persis seperti mayat hidup.

"K--Keyla," jawabnya gugup sambil menutup mulut dan terlihat kaget

Mataku berkaca-kaca melihat sosok Aris yang 'tak biasa'.

Kami berhadapan dengan mata saling menatap. Diam. Seakan roda waktu terhenti begitu saja.

Aku melangkah mendekat. Terlihat jelas matanya berkaca-kaca saat kita bertatap muka. Ada rasa panik dari raut wajahnya.

"Duduk di mobilku, yuk, Key?" Aris mengajakku dengan logat kemayu.

Kulangkahkan kaki mengikuti langkahnya. Mataku tak bisa lepas dari penampakannya. Kami duduk di kursi tengah. Mataku menatapnya lekat, berharap ada penjelasan yang keluar dari bibirnya.

Hening.

Aris mulai mengatur nafasnya dan menggenggam tanganku.

Kaget. Tentu saja aku kaget, karena ini kali pertama kami bersentuhan.

Tak berapa lama air mata membasahi pipinya. Sepertinya Mas Aris hendak mengatakan sesuatu tapi bingung mau mulai dari mana.

"Jelaskan pada Keyla," pintaku lirih.

Walau aku tak punya hak untuk meminta penjelasan, tapi aku sungguh ingin tau, masalah apa yang membuatnya jadi begitu.

"Aku terlahir memang seperti ini. Ada sisi feminim dari dalam diri. Awalnya bagaimana, aku sendiri tidak tau. Aku merasa nyaman dan senang saat aku jadi seperti sekarang," ucapnya sambil menghapus air matanya lembut.

"Mbak Nia tau?" tanyaku. Pria cantik itu menggelengkan kepala. Seketika nafasku meluncur dengan cepat.

Hening.

"Orang tua yang memaksaku menikah. Kami menikah tanpa cinta." Suaranya serak.

"Mas, nggak kasian sama Mbak Nia?"

"Jangan panggil Mas dong, panggil Kakak saja. Biar lebih akrab. Aku kan begini, masa dipanggil mas, 'kan nggak lucu," pintanya nyaris membuatku sesak nafas. Aku terbatuk, seperti ada sesuatu mengganjal dalam kerongkongan.

Hening.

"Kakak hanya menunggu ...."

"Untuk ...?" potongku.

"Untuk menyudahi semuanya," ucapnya pasrah.

Aku menyandarkan badan pada jok mobil dan mencoba mengatur perasaan. Mataku beralih pandang pada pepohonan dari balik kaca mobil.

"Key, tolong simpan rahasia ini," ucapnya sambil memegang tanganku, spontan mataku menoleh ke arahnya.

"Kakak nggak mau, Nia malu dengan  kondisiku yang begini," jelasnya gemulai.

Aku mulai menganggukkan kepala. Perlahan namun pasti, tangannya lepas dari tanganku. Disandarkan badannya, Aris pun memejamkan mata.

'Kakak!' ucapku dalam hati menertawakan permintaannya. Antara tertawa dan mau nangis rasanya mendengar pintanya yang kelewat ekstrem. Aku terus mencuri  pandang saat Aris memejamkan mata.

"Mas, Keyla pulang dulu, ya?" ucapku seraya membuka pintu.

"Hati-hati ya, Key," ucapnya sok perhatian.

Kulangkahkan kaki menuju mobil yang terparkir di seberang sana. Isi dalam otakku terlalu penuh dengan objek yang bernamakan 'Aris'.

Sampai di mobil, aku masuk dan men-starter mobil dengan segera, langsung pulang ke rumah. Niat hati ingin melepas lelah, tapi justru aku merasa sangat lelah. Sampai rumah tak banyak aktivitas yang kulakukan selain menuju kamar tidur.

Aku mulai merebahkan tubuh, sambil menatap langit-langit kamar.

Dert ... dert ....
Ponselku bergetar. Ada SMS dari Mia, sobatku.

[Key, gue tinggal sama lo, ya? Bosen gue di rumah sendiri.]

[Ntar, Daddy lo nyariin lagi.]

[Kaga', dia lagi ke Luar Negeri bersama keluarganya.]

[Ya sudah. Jangan lupa bayar bulanannya, ya?]

[Aman itu mah.]

Mia sahabatku, walau dia simpanan om om, tapi itu adalah masalah pribadinya. Setiap orang punya alasan kenapa melakukan hal itu. Aku melemparkan ponsel, lalu memejamkan mata berharap malam ini bisa tidur lelap.

Bersambung .... 

Komentar

Login untuk melihat komentar!