Sejak melihat wanita yang mirip Andira di restoran kemarin, pikiranku tak tenang.
Bayang-bayang akan kehilangan Andira menari dalam benakku. Bagaimana nasib Ibu jika sesuatu terjadi dengan pernikahanku dengan Andira. Khawatir Andira tak terima aku menikah lagi, bahkan memanjakan istri mudaku dengan harta dari pada dia.
Aku harus melakukan sesuatu, pesan Andira kemarin belum aku balas. Karena aku benar-benar belum punya uang untuk dikirim kepadanya. Tabunganku semua dipegang oleh Mustika. Lagipula tabungan itu juga tinggal tak seberapa. Nafsu belanja Tika yang tak bisa direm membuat kandas cita-cita untuk memberi hadiah buat Andira. Tapi, rasa sayang kepada Tika membuat semua rasanya wajar-wajar saja.
"Lex, pinjam uang sepuluh juta dong. Sampai gajian nanti." Pintaku kepada Alex yang kebetulan sedang santai didepan rumah.
"Hahaha ga salah nih, juragan minjam uang?" Ledeknya.
Aku cuma nyengir, mau gimana lagi. Uangku habis untuk memanjakan Tika. Tapi, aku butuh uang untuk Andira, karena Ibu tak bisa berobat tanpa uang itu.
Alex mengutak-atik gawainya.
"Tuh sudah!" Ucapnya santai.
"Thanks, bro!" Kataku tulus. Alex memang teman sekaligus tetangga yang baik. Setiap meminjam uang pasti selalu dapat.
Alex mengacungkan jempolnya. Lalu kembali asik dengan rokok yang ada ditangan. Tak lama Fani keluar dari dalam rumah dan duduk disampingnya. Aku bergegas kembali ke rumah. Melihat mereka ada perasaan risih. Padahal dulu aku juga sempat merasakan hidup bebas bersama Tika. Efek LDR dengan Andira.
Aku segera mengirim semua uang itu untuk Andira.
[Sayang, uangnya sudah Mas kirim, ya. Maaf Mas telat. Karena sedang sibuk di proyek.] Pesan terkirim.
Aku menutup kembali gawai lalu mendekati Tika yang masih sibuk dengan alat-alat make-upnya.
"Sayang, sarapan belum ada?" Tanyaku pelan.
"Hari ini sarapan mie rebus aja ya, Mas? Aku belum sempat masak." Jawabnya acuh sambil mengoles gincu merah dibibir.
Seorang supervisor kesayangan bos, sarapan dengan mie rebus?
Aku menghela nafas panjang. Tika memang tak secekatan Dira. Jika aku dirumah, pagi-pagi sarapan sudah tersedia. Begitu juga dengan menu untuk makan siang. Dan yang menakjubkan Dira juga memasak menu khusus untuk Ibu yang seorang penderita diabetes, makanan yang tak banyak mengandung karbo dan gula.
"Mas! Ditanya malah bengong!"
"Ya, sudah. Cepatan masak ya, sayang. Mas takut telah berangkat kerja." Sahutku akhirnya mengalah.
"Aku belum selesai dandan, Mas. Tolong masakin, Mas." Rengeknya.
Aku yang sudah menahan lapar sedari tadi, mengebrak meja yang ada didepanku. Lalu tanpa kata meninggalkan Tika yang bengong melihatku yang emosi. Aku jarang marah, tapi kali ini aku sangat kesal dengan Tika. Tapi, tetap aku tak berani mengeluarkan kata-kata kasar kepadanya.
****
Hari ini setelah meeting dan mengontrol ke lapangan aku bergegas menuju warung makan yang tak jauh dari lokasi proyek. Sarapan dengan sepotong roti dan segelas teh manis yang dibawakan oleh Parman, office boy di kantor tak cukup mengisi lambungku yang sudah terlanjur melar.
Sepiring nasi dengan ayam geprek dan lalapan begitu membuatku semangat. Makanan ini makanan favorit Andira. Dulu kami sering hanya melihat makanan itu dengan nelangsa. Tapi, Andira selalu membesarkan hatiku.
"Tak usah berkecil hati, Mas. Hanya sepotong ayam suatu saat kita pasti Allah beri kemampuan untuk membeli banyak ayam geprek bahkan membagi-bagikan kepada tetangga-tetangga kita." Andira tersenyum Lalu dia menarik tanganku untuk menjauh dari lapak penjual ayam geprek itu.
Dan semua menjadi kenyataan, saat aku diangkat menjadi mandor hal yang pertama Andira lakukan adalah memborong dagangan seorang bapak-bapak yang menjual ayam geprek lalu membagi-bagikan kepada tetangga-tetangga kami yang rata-rata adalah orang yang kurang mampu, sebagai rasa syukur. Perempuan itu memang berhati malaikat.
Terkadang rasa menyesal muncul, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Tika hamil, aku tak mungkin lari dari tanggungjawab hingga terpaksa menikahinya.
Saat menyuap makanan itu mataku tertuju pada seorang wanita yang duduk tak jauh dariku. Wanita itu dengan lahap makan dengan menu yang sama denganku.
"Andira?" Desisku. Wanita itu mirip sekali dengan Andira.
Tapi, Andira tak mungkin memakai pakaian rapi seperti wanita kantoran. Wanitaku biasa memakai daster yang kadang sudah ditambal sana sini. Sering dia minta uang lebih untuk membeli pakaian, karena uang yang aku kirim sering habis untuk membeli obat Ibu. Namun, aku selalu menolak, uangku pas-pasan saat pulang kampung. Karena, Mustika yang selalu mengatur keuangan dengan apik. Alasannya untuk menabung biaya pendidikan ghibran nanti.
Wanita itu menyeruput jus jeruk yang ada didepannya dengan anggun. Sedikitpun dia tak terganggu dengan tatapanku yang lekat padanya. Tak lama dia keluar setelah sebelumnya membayar makanan yg dia makan.
Aku terkesima, wajah, tinggi dan putih kulitnya sama persis dengan Andira.
Gegas aku membayar makananku dan mengejar wanita itu. Tapi, baru saja keluar dari warung makan, wanita itu sudah masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang lewat didepannya.
Lagi-lagi aku gagal mencari tahu siapa perempuan itu.
"Assalamu'alaikum, Sayang!" Sapaku setelah menekan tombol dial disana.
"Wa'alaykumussalam Mas. Tumben Mas nelpon jam segini? Bukannya lagi di lapangan?" Sahut Andira.
Wanita itu sangat tahu jadwalku walau kami berjauhan.
"Mas kangen sayang." Rajukku entah kenapa setelah melihat perempuan mirip Andira tadi rasa rinduku memuncak. Hidupku terasa dibayang-bayangi oleh Andira.
"Hihi Mas, sih. Ga mau ngajak aku tinggal bersama, Mas. Tapi, tak apa-apa semua demi masa depan kita, Mas. Aku yakin kamu masih ingat harapan kita dulu, aku yakin kamu mampu mewujudkan cita-cita kita."
Aku terdiam.
"Nanti, kalau sudah bekerja Mas janji akan membahagiakan kamu, sayang. Mas akan menabung agar kita bisa punya rumah sendiri. Hidup bahagia bersama anak-anak kita."
Perkataan beberapa tahun lalu tergiang kembali. Andira sangat ingin punya rumah sendiri, karena rumah yang sekarang ditempati adalah rumah Ibuku. Walau luas tapi jika punya rumah sendiri tentu lebih puas.
"Mas?"
"Eh iya sayang. Mas tutup dulu ya, jam istirahat sudah habis. Mas mau lanjut kerja." Kilahku. Padahal rasa bersalah sedang bergumul dalam hati.
"Iya Sayang, Oya Ibu nitip salam." Ucap Andira.
"Iya, salam balik buat Ibu. Makasih ya, kamu sudah ikhlas merawat Ibuku."
"Ibuku Ibuku juga, asal kamu setia aku akan selalu berbakti." Sahutnya.
Ya Allah, maafkan hamba.
Setelah telepon ditutup, aku memijit keningku. Aku harus melakukan sesuatu agar Andira juga bisa punya rumah seperti rumah yang dimiliki Mustika.
Ting!
[Mas, aku mau belanja di Supi. Tolong bayarin ya.]
Dan sebuah invoice belanjaan terkirim setelahnya.
Mataku membulat sempurna melihat nominal belanja Mustika. Empat juta hanya untuk beli pakaian dalam dan keperluan pribadinya.
Lagi-lagi kepalaku terasa cenut-cenut, gimana mau menabung?
Mustika terasa seperti lintah yang tak pernah puas menghisap darahku.
Bersambung.
Jangan lupa Subscribe yaa... dan baca juga cerita Author yang sudah Tamat❤️❤️
1. Kejutan Untuk Suami Bertampang Alim Ternyata Tukang Kawin.
2. IPAR Adalah Maut.
3. Selingkuh Online.
4. Sihir Dalam Secangkir Kopi
5. Hadiah untuk suamiku dan Selingkuhannya.
6. Ulah Istri Polosku
7. Menghajar Wanita Kedua Suamiku
8. Kematian Istri-istri Kang Barja
9. OLSHOPKU DIVIRALKAN ANAK SUAMIKU
10. Mati Kutu Ketika Istri TKW-ku Kembali
Makasiiih 🌹