Keinginan Ibu.

Jangan lupa disubcribe ya, Kak 🌹🌹

Hari ini gajian, aku berniat ingin pulang. Mumpung uangku utuh. Apalagi setelah baca pesan dari Andira tadi pagi. Kalau Ibu mendadak drop. Ibu mengalami hiperglikemia, gula darah tinggi sehingga harus dirawat. Dan membutuhkan suntik insulin. Insulin berfungsi menyebarkan gula dari darah ke seluruh sel-sel tubuh agar bisa diproses menjadi energi, itu yang dikatakan Andira kepadaku.

"Mendadak begini, Mas?" Tika terus mengikutiku yang sedang berkemas.

"Iya, Dek. Mas khawatir Ibu kenapa-kenapa." Jawabku singkat.

Tiba-tiba Ghibran menangis, Tika keluar dari kamar pasti ke kamar sebelah menenangkan Ghibran. 

Aku membuka lemari pakaian Tika, dan mengambil sebuah kalung, yang dia simpan disalah satu rak. Tumpukan perhiasan yang hampir tiap bulan dia minta. Diambil satu pasti dia tak akan curiga. Aku ingin memberikan kepada Andira, jangankan kalung. Cincin saja Andira tak punya.

"Eh, Mas. Kamu ngapain?" Tiba-tiba Tika sudah berada didepan pintu kamar dan bergegas menghampiriku. Ghibran dalam gendongannya sudah tidur kembali.

"Mas hanya ngechek perhiasan kamu, Mas kira kamu jual. Ternyata masih utuh." Kilahku canggung.

"Itu, kalungku mau diapain?" Tanyanya dengan nada ketus.

"Oh, Mas ingin kamu memakai ini. Mas bosan lihat yang kamu pakai sekarang."


Tika tersenyum saat aku melangkah kebelakang nya dan melepaskan kalung yang sekarang dia pakai lalu diganti dengan kalung yang aku pegang. Niatku gagal biarlah masih ada waktu nanti.

"Sayang, bulan ini aku mau beli gelang berkepala ular seperti milik Fani." Rajuknya.

Aku mendesah, selalu wanita ini tak mau kalah dengan Fani, pacar Alex.

"Bulan ini ga beli perhiasan dulu ya, sayang. Ibu Mas sakit. Mas khawatir nanti butuh dana banyak untuk pengobatan Ibu." 

"Hiks, Mas tega." Wanita itu mulai merajuk.

Aku meraih tubuh langsing itu dan mengecup puncak kepalanya.

"InsyaAllah bulan depan ya. Lagi pula gelang kamu kan ada banyak, pakai yang ada aja dulu." Bujukku.

Bibir Tika maju beberapa senti, selalu bikin gemas.

Jam sudah menunjukkan angka delapan malam, sengaja aku berangkat agak malam biar tidak terjebak macet.


Perjalanan ke Bandung memakan waktu lima jam, bersyukur jalanan tak macet. Mungkin karena aku berangkat Jum'at malam. Biasanya jalanan akan sangat padat ketika akhir pekan.

Rumah besar itu tampak gelap. Aku bergegas meraih telepon dan men-dial nomor Andira.

"Sayang, dimana?" Tanyaku terburu.

"Masih di rumah sakit, Mas." Jawab Andira dengan suara terdengar lelah.

"Kenapa, Mas?" Andira memang tak aku beritahu jika akan pulang.

"Tak apa, sayang. Ibu dirawat di kamar berapa?" Walau Andira sedikit curiga, aku tetap tak memberitahu jika sudah berada di Bandung malam ini.

Setelah mendapat alamat kamar dimana Ibu dirawat, dengan cepat aku melajukan mobilku kesana.

Sejam perjalanan, aku tiba didepan rumah sakit.

"Maaf Pak, jam besuk sudah habis. Bisa kembali besok." Kata security yang sedang berjaga.

"Pak, saya baru datang dari Jakarta, Ibu saya hari ini masuk rumah sakit. Istri sendirian menjaga."

Dengan memohon pengertian laki-laki tegap itu, akhirnya aku berhasil masuk.

Dari kejauhan aku melihat Andira tengah duduk dipinggir ranjang sambil memijit tangan Ibu. Entah apa yang mereka bicarakan hingga saat aku datang keduanya seperti bergegas menghapus air mata.

"Alhamdulillah, Mas datang." Andira menghambur dalam pelukanku.
Berbeda dengan Ibu. Ibu seperti membuang muka, tak seperti biasanya. Pun saat aku mencium tangan Ibu, Ibu bergeming.

Andira menarikku keluar.

"Ibu sedang tak enak hati. Biarkan beliau istirahat." Ujarnya lembut.

Memang Andira selalu mengatakan, sejak Ibu di vonis menderita penyakit diabetes, Ibu lebih sensitif. Andira begitu memahami Ibu, yang notabenenya adalah mertuanya bukan Ibu kandung.

Dua hari Ibu dirawat, selama itu aku melihat Andira yang begitu telaten merawat Ibu. Raihan terpaksa dititipkan kepada Ibu dan Ayahnya. Rumah mereka yang tak begitu jauh dari rumah dimana Andira tinggal, memudahkannya untuk bolak-balik melihat keadaan Raihan. Raihan juga sangat dekat dengan Nini dan Aki-nya sehingga saat Andira menginap di rumah sakit, Raihan tak mempermasalahkan.

Sementara denganku, Raihan terasa begitu jauh. Dia tak peduli saat aku datang hendak menjemput. Bahkan saat aku hendak pergi lagi. 

"Dek, makasih ya, sudah ikhlas merawat Ibu." Bisikku saat Andira mau merebahkan badan disampingku.

"Sama-sama, Mas." Jawabnya.

"Ibu sudah tidur, tadi sehabis minum obat. Ibu bilang mau ikut kamu ke kota. Ibu ingin merasakan tinggal bersama disana. Aku tak bisa berkata apa-apa, semua terserah padamu, Mas." Lanjut Andira yang membuatku tersentak.

"Tapi, kalau kamu keberatan, nanti aku yang akan memberi pengertian kepada Ibu." Sepertinya Andira memahami apa yang aku pikirkan.

"Makasih ya, sayang. Kamu begitu pengertian." Aku mengecup pipinya sesaat.

"Nanti kalau keadaan sudah membaik, kalian pasti akan Mas bawa ke kota."

Andira kemudian tersenyum dan memejamkan mata sambil membelakangiku.

"Dek, sudah lama kita tidak melakukannya, apa Adek tak ingin Raihan punya adik?"

Kalau kuingat, setahun ini Andira selalu menolak saat aku ajak berhubungan. Alasannya selalu banyak. Apalagi aku hanya pulang tiga bulan sekali. Rasanya aneh, jika Andira sanggup bertahan selama itu.

"Aku sangat lelah, Mas." Ujarnya lalu menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuh.

Aku menghela nafas dalam, dengan terpaksa memahami istriku lagi kali ini, walau aku rindu dengan Andira yang dulu. Saat aku menginginkan dirinya, dia selalu ada. Tak ada bantahan, tak ada alasan, meski aku tahu dia lelah. Mungkin saat ini Andira benar-benar kelelahan merawat Ibu.

****

Aku kembali ke Jakarta. Rutinitas kembali seperti semula. Walau kali ini rumah bagai neraka, karena Tika selalu mengungkit-ungkit pemberianku untuk Ibu dan Andira yang menurutnya berlebihan. Padahal baru kali itu aku menyerahkan hampir separuh gajiku untuk mereka. Dan hanya membagi Tika untuk kebutuhan sehari-hari sewajarnya.

"Kamu manjain istri pertamamu itu, Mas! Padahal aku yang melayani kamu disini, aku yang mencuci pakaianmu, memasakkan makanan untukmu, tapi uangnya kamu kasih ke dia, wanita kampungan itu!" Bentak Tika.


"Sudahlah Dek, dia juga istriku!" Belaku, tak terima juga rasanya Andira dihina seperti itu.

"Mending kamu ceraikan saja istri kamu itu, Mas. Kamu ga malu kalau teman-teman di kantor tahu kamu punya istri kampungan seperti si Andira itu." 

Aku terdiam, Andira memang kampungan, mungkin dia tak tahu cara memakai maskara atau eyeliner seperti Tika, tapi dia cantik.

"Sudah bahas yang lain saja." Pungkasku lalu masuk ke kamar merebahkan diri.

Hari berlalu, Tika juga mulai manis sejak keinginannya selalu aku turuti. Terpaksa keadaan kembali seperti dulu. Uang jatah Andira dan Ibu disunat lagi.

Aku baru saja hendak ke ruangan Pak Hari mau menyerahkan laporan. Ketika tak sengaja aku melihat wanita yang mirip Andira sedang berjalan bersama bos-ku, mereka tampak sangat akrab.

Aku menepuk mukaku, memastikan bahwa itu mimpi. Mana mungkin Andira ada disini. Tapi, wanita itu nyata. Sambil tertawa renyah mereka terus mengobrol.

"Kenapa balik, Pak?" Tanya Erik, staffku, heran.


"Hmm.. ada yang kelupaan, Rik." Jawabku ngeles.

"Pak, lihat cewe yang sedang jalan sama Pak Hari tidak? Cantik banget ya, Pak. Semoga masih jomblo."

Mendengar ucapan Erik entah kenapa hatiku memanas.

"Kerja aja yang bener!" Ketusku, kemudian masuk kembali ke ruanganku. 

Tak peduli Erik yang kebingungan, biasanya aku asik diajak becanda. Entah kenapa aku cemburu Erik berkata seperti itu. 

Astaghfirullah, perempuan itu bukan Andira kenapa aku yang cemburu.

Lekas aku menelepon Andira, tapi yang menjawab Ibu.

"Andira sedang ke apotek beli obat, Ibu. Ada apa Fer?" Jawab Ibu saat aku menanyakan keberadaan Andira.

Syukurlah, berarti perempuan tadi bukan Andira. Tapi, mirip sekali dengan Andira, aneh sekali. 

"Pak, dipanggil Pak Hari ke ruangannya." Kata Erik.

"Oke!" Jawabku singkat, kejadian yang tadi masih agak membuatku tak enak hati pada Erik.

Sesampainya diruang Pak Hari, ternyata wanita itu masih ada disana.

Keringat dingin mengucur, aku grogi. Wanita itu tersenyum ramah, bahkan senyumnya pun sama dengan senyum Andira.

Apa mungkin Ibu berbohong?

Bersambung



    

Komentar

Login untuk melihat komentar!