Kedatangan yang tak diduga.
Jangan lupa di Subcribe ya, kakak 🌹
Makasiiih banyak 🙏

"Kenapa kamu kaget gitu, Fer? Kayak lihat hantu!" Ibu berjalan masuk meski tanpa kupersilahkan.

"Hayo, Sayang, masuk. Ini kan rumah suami kamu, berarti itu rumah kamu juga." Lanjut Ibu lalu menarik tangan Andira.

"Bener kan, Fer?" Tanya Ibu lagi.

Aku yang masih merasa antara mimpi dan kenyataan itu terpaku.

"Eh, kenapa bengong. Ibu sama istri datang, bukannya disambut malah didiamin begitu." Ibu menepuk lenganku kencang.

"Anu, iya! Iya Bu, bener!" Jawabku.

Ibu dan Andira duduk di sofa mewah itu dengan santai. 

"Enak rumah kamu, Mas. Kamu bilang masih ngontrak. Pasti mau ngasih kejutan buat aku, ya!" Seloroh Andira dengan takjub.

Tiba-tiba Tika datang dari dalam.

"Siapa, Ma...!" Aku bergegas menutup mulut Tika dengan tangan.

"Siapa ini, Mas?" Tanya Andira, terlihat tak suka. Pakaian Tika yang ketat dan seksi mungkin mengganggu pandangan matanya.

"Tika, ini Andira, istri saya. Nyonya rumah ini. Dan beliau adalah Ibu saya, kamu harus layani keduanya dengan istimewa, ya!" Aku secepat mengatur rencana. 

"Dek, ini Mustika pembantu disini. Kebetulan rumahnya jauh di Jawa sana, dan punya seorang anak yang tinggal disini juga." Ucapku agar Ibu dan Andira percaya.

"Owalaah, pembantu, toh. Kalau pembantu ya, harusnya sewajarnya. Pakai baju kayak kurang bahan gitu. Kamu gimana sih, Fery. Kamu punya istri bisa-bisanya serumah dengan perempuan yang bukan mahram begini! Bisa-bisa terjadi fitnah!" Sungut Ibu sengit.

"Ma...!" Gegas aku memotong ucapan Tika.

"Iya Bu, Fery salah. Tika kamu buruan ganti baju. Jangan pakai baju ini lagi. Sudah berkali-kali saya bilang sama kamu!" Bentakku. 

Tika memandangku, aku tahu dia tak punya baju longgar untuk dipakai.

"Eh, aku kebetulan punya daster longgar, Mas. Mbak Tika boleh pake." Andira membongkar koper gedenya dan mengeluarkan beberapa lembar daster batik berlengan panjang lalu menyerahkan kepada Tika. Lagi-lagi Tika melirik ke arahku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyuruh Tika menurut saja.

Tika berjalan ke arah kamar utama.

"Eh, eh! Pembantu kenapa masuk kamar utama?" Tanya Ibu heran.

"Tika, mau membereskan kamar Fery dan Andira, Bu. Kan nanti kami tidur disana, ya kan Tik?"

Tika menatapku nyalang, dengan menghentakkan kaki dia berlalu dengan beberapa lembar daster ditangannya.

"Pembantu ga tau diri. Dapat dimana sih, kamu Fer? Kalau ibu punya pembantu kayak gitu, udah lama Ibu kasih makan buaya!" Rutuk Ibu. 
Ah, andai Ibu tahu itu adalah menantunya, entah gimana reaksi Ibu.

"Ibu udah capek, ya? Andira antar ke kamar ya?" Ucap Andira lembut.

"Maaf ya, Nak. Ibu merepotkan kamu. Seharusnya Ibu tak memaksa mengajak kamu ke sini." Ibu memegang pundak Andira dan berkata dengan tulus.

"Ibu, jangan bilang begitu. Ibu tidak merepotkan kok. Malah Andira senang bisa melihat Ibu hari ini begitu bersemangat." 

Aku memperhatikan dua orang perempuan yang begitu kusayang itu, takjub. Jika selama ini selalu terdengar kabar hubungan mertua dan menantu yang tak akur, disini aku melihat seorang mertua yang begitu menyayangi menantu, begitu juga sebaliknya.

"Fery senang melihat Ibu dan Andira disini." 

"Ibu, sebenarnya tak ingin merepotkan kalian. Tapi, Ibu sudah tua. Umur siapa yang tahu. Menunggu kamu mengijinkan, takut usia Ibu tak sampai lagi." Ibu terkekeh.

"Ibu jangan bilang begitu lagi, Ibu InsyaAllah akan sembuh dan sehat seperti sediakala." Ucap Andira penuh optimis.


"Ibu beruntung punya menantu seperti kamu, Nak. Entah jika tak ada kamu, mungkin Ibu memilih untuk mati saja."

"Astaghfirullah, Ibu!" Sahutku dan Andira serentak.

"Ibu tak boleh ngomong begitu!" Seruku.

"Fer, mana ada menantu yang mau merawat mertua sakit-sakitan seperti ini. Lihat kaki Ibu, lukanya masih terus basah. Kalau tidak dirawat kemungkinan Ibu ini tak punya kaki lagi." Suara Ibu bergetar.

Andira menggenggam tangan Ibu kuat. Aku langsung melihat ke arah kaki Ibu. Kaki kanan Ibu bengkak, dan terlihat kasa yang menutupinya basah. Menurut Andira kaki Ibu pernah kena beling, dan luka. Sejak itu, lukanya tak pernah sembuh, pengaruh dari penyakit Ibu juga.

"Sekarang Ibu sudah disini, nanti Fery akan membantu Dira untuk merawat Ibu." 

Ibu memeluk Andira dan meraih tanganku.

"Kalian harapan Ibu. Ibu sangat menyayangi kalian, dan untuk Dira kasih sayang ibu melebihi kasih sayang kepada anak Ibu sendiri."

Aku terdiam, dada ini terasa sesak. 

"Ehem!" Kami mengurai pelukan itu. Tika datang membawakan empat cangkir teh. Kini pakaian Tika sudah berubah memakai daster longgar bercorak batik. Penampilan persis Ibu-ibu dikampung yang hendak ke sawah. Karena baju itu sudah ditambal sana sini.

"Lho kenapa ada empat?" Kata Ibu sewot.

"Buat saya, Bu!" Jawab Tika lalu duduk di sofa. Aku menarik nafas panjang, aduh Tika, nyari perkara saja, Nih.

"Buat kamu? Selama ini kamu selalu begitu dengan tamu? Dimana adab kamu kepada majikan, ha! Kalau mau minum silahkan, tapi kamu lancang namanya jika duduk bersama tuan rumah. Bawa teh kamu itu masuk!" Aku menunduk dalam, kasian sekali Tika. Sepertinya Ibu tak menyukai Tika dari pertemuan pertama.

Tika mengambil kembali teh itu lalu beranjak ke dalam.

"Mbak Tika, tolong barang-barang kita dibawa ke kamar ya. Sekalian Raihan anak saya angkat ke kamar." Titah Andira yang membantu Tika tampak sangat kesal, tapi aku memberi kode agar mengikuti perintah mereka berdua.

Tika sedang ngos-ngosan membawa barang-barang Ibu dan Andira masuk. Sementara aku tak bisa membantu biar ga dicurigai.

"Dek, kok tahu rumah Mas disini?" Pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Aku tak pernah memberi tahu alamatku disini kepada Andira maupun Ibu.

"Oh, itu dari Ibu nanya Adnan, kemarin dia pulang, katanya dia tahu alamat kamu disini, jadi Ibu mendesak dia membawa serta Ibu dan Andira." Sahut Ibu cepat.

"Adnan? Jadi Ibu sama Andira kesini bersama Adnan?" Tanyaku dengan suara meninggi.

"Iya, memang kenapa? Adnan kan sepupu kamu! Katanya kantornya juga dekat dengan kantor kamu!" Jawab Ibu lagi.

Andira hanya diam sambil menyesap teh yang dibuat Tika.
Aku menyugar rambutku, emosiku seakan mau meledak. Jadi Andira dan Adnan satu mobil dari Bandung ke Jakarta. 

Aku dan Adnan pernah berantem memperebutkan Andira. Adnan masih sangat mencintai istriku, karena itu sampai sekarang dia belum juga menikah, begitu pengakuannya padaku saat dia mengetahui aku menikah lagi. Kini dia mulai mendekati Andira lagi! Awas kau Adnan.

"Aaaa...!" Suara teriakan mengangetkanku begitu juga Ibu dan Andira.

"Suara siapa itu, Mas?" Tanya Andira.

Tanpa menjawab aku berlari ke arah dapur, aku hafal betul suara itu. Itu pasti Mustika. Kenapa dia?


Bersambung.

Komentar

Login untuk melihat komentar!