"Dasar cowok kurang *jar kamu, Dam!" umpat Clarissa geram. Ia menyiram wajah Sadam dengan air dari gelas yang ia ambil dari meja.
Sadam tak mengira kalau Clarissa akan sampai hati melakukan hal itu. Ia hanya mengelap wajahnya dengan telapak tangan tanpa perlawanan sedikit pun meski jelas mimik dan gesturnya terlihat tak suka dengan perlakuan itu.
"Maaf, Ris. Tapi, aku benar-benar harus pergi." Dengan wajah masih tertunduk, Sadam lalu berdiri dan berbalik meninggalkan Clarissa yang masih diliputi amarah.
"Dam, kamu enggak bisa berbuat seperti ini kepadaku!" teriak Clarissa.
Namun, Sadam tetap melangkah pergi tanpa pernah berbalik lagi.
"Sadam! Kamu jahat! Tega-teganya kamu melakukan ini kepadaku!" Clarissa kembali berteriak, tetapi Sadam tetap melangkah pergi meninggalkan dirinya.
"Sadam! Kamu jahat! Jahat! Tega! Ngeselin, hiks!" Teriakan itu, kini berubah menjadi raungan yang menyedihkan. Clarissa kembali terduduk dengan air mata yang menderas.
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan tak berhenti menangis sesenggukan. Hal itu membuat beberapa pasang mata sempat menengok iba kepadanya.
"Kamu tega, Dam! Bener-bener enggak punya perasaan!" rengek Clarissa terdengar memilukan demi menelan kekecewaan yang teramat dalam.
Rasanya, bagai sudah berada di puncak tertinggi lalu harus terempas jatuh ke lembah terdalam.
Bagaimana tidak? Hari ini merupakan momen yang amat bersejarah bagi Clarissa. Ia akhirnya berhasil meraih gelar sarjana dalam acara wisuda yang telah dinanti-nantikan sekian lama.
Demi tampil sempurna pada hari ini, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan bergegas mempersiapkan diri. Ia mulai dari menyetrika kebaya yang khusus dijahit sesuai dengan pesanannya.
Rok, sepatu, semua sudah dirancang agar senada dengan kebayanya. Bahkan, untuk urusan riasan wajah, ia sudah membuat janji dengan pemilik salon langganannya.
Pagi sekali ia berangkat ke salon untuk menyempurnakan penampilan. Sebelum wajahnya dirias, ia telah lebih dulu mengenakan kebaya berbahan sutra merah muda. Dengan bagian atas sedikit terbuka memperlihatkan tulang selangka dan bagian atas dadanya.
Kebaya dengan hiasan brokat itu, bagian atasnya berbahan tile tipis dan berbayang sehingga siapa pun bisa melihat bagian pundak Clarissa. Roknya bermotif batik dengan hiasan payet yang simpel dan tidak berlebihan.
Rambut lurus sepunggungnya dibiarkan ditata terulur di pundak kanan. Make up natural dan simpel sungguh pas dengan penampilannya yang memberikan kesan muda, ceria, cantik, simpel, anggun, dan tidak berlebihan.
Saat ia sudah tiba kembali di rumah, sang ibu langsung memuji penampilan anak gadisnya itu.
"Wah, masya Allah. Cantiknya putri Mama yang mau diwisuda hari ini," puji Berliana, ibu Clarissa, dengan wajah semringah.
"Iya, dong! Siapa dulu mamanya?" canda Clarissa dengan senyum mengembang.
"Bisa aja kamu, Ris," respon Berliana seraya mecolek lengan sang putri. "Tapi ... kelihatannya, kok, kayak ada sesuatu yang tersembunyi, nih, yang bikin kamu dandan secantik ini. Hayo ngaku, sebenarnya ada apa, sih?"
Clarissa langsung tersenyum malu mendengar perkataan ibunya. Wajahnya berubah tampak kemerahan.
Ia teringat Sadam, sang kekasih, meneleponnya tadi malam. Katanya, ia ingin membicarakan hal yang serius berkaitan dengan masa depan mereka.
Clarissa langsung merasakan desiran kebahagiaan di dalam hatinya. Ia teringat Sadam pernah berjanji akan segera melamar dirinya begitu lulus kuliah S-1.
Hal serius berkaitan dengan masa depan? Mungkinkah itu berkaitan dengan pernikahan? Apakah nanti Sadam akan melamarku seusai acara wisuda? Wah, rasanya benar-benar seperti mimpi yang menjadi kenyataan! Pikir Clarissa laksana terbang ke awang-awang.
"Hayo! Kok, malah bengong? Ini sudah pasti ada sesuatu, nih!" goda Berliana sambil menjawil pipi Clarissa lembut.
"Ah, Mama. Nanti, deh, Claris ceritakan. Sekarang kita berangkat dulu, yuk, ke acara wisuda. Nanti terlambat lagi," kilah Clarissa dengan menahan perasaan berbunga-bunga di dalam hatinya.
Sampai akhirnya, saat yang dinanti Clarissa tiba. Usai wisuda, sesuai janji, Sadam mengajaknya makan di restoran favorit mereka.
"Ris, aku ingin bicara serius sama kamu," ucap Sadam seraya menggenggam tangan kanan sang kekasih.
"Oh, iya. Emm ... mau bicara apa, Dam?" tanya Clarissa dengan wajah merona dan tertunduk malu. Diselipkannya anak rambut ke telinga kiri.
"Aku ... engg ... aku ... aku ingin tanya kesediaan kamu. Apakah kamu bersedia kalau kita ... putus?"
"Ya! Aku bersedia!" ucap Clarissa lantang bersamaan dengan kata "putus" yang diucapkan oleh sang kekasih.
Seketika Clarissa terperanjat ketika menyadari apa yang sesungguhnya Sadam ucapkan. Ia sontak melepaskan tangan Sadam yang tengah menggenggam tangannya.
"A ... apa, Dam? Putus? Ini ... kamu lagi bercanda, ya?" tanya Clarissa dengan perasaan tak menentu.
Sadam menggeleng. "Enggak, Ris. Kamu enggak salah dengar. Saya memang ingin kita putus," lanjut lelaki bertubuh tinggi tegap itu dengan rasa bersalah.
"Enggak! Kamu pasti bercanda! Ini hari wisudaku, Dam. Hari yang sangat bahagia untukku. Enggak mungkin, kan, kamu mutusin aku di hari seperti ini?" lirih Clarissa.
"Maaf, Ris. Tapi ... aku sungguh sudah tak ada waktu lagi. Besok-besok, kita sudah tak perlu bertemu lagi."
"Apa?! Kamu mutusin aku dengan mendadak seperti ini padahal kita enggak ada masalah apa pun. Dan kamu ingin kita enggak akan bertemu lagi? Kamu udah gila, ya?"
"Maaf, Ris. Tapi--"
"Kenapa? Kenapa kamu mutusin aku padahal kita enggak ada masalah apa-apa? Kenapa, Dam?!" tanya Clarissa dengan suara meninggi.
"Itu ... karena ... ibuku yang memintanya. Dia ingin aku untuk lebih serius mencari jodoh karena sudah waktunya bagiku untuk menikah. Dia ingin aku mencari calon istri seorang perempuan yang berhijab," jelas Sadam dengan wajah tertunduk. Ia sungguh tak sanggup menatap wajah Clarissa saat ini.
Clarissa merasa begitu tersentak. Rasa nyeri menjalari hatinya. Untuk beberapa jenak, ia hanya sanggup terdiam. Rasa sesak dan kekecewaan yang begitu dalam, membuat air mata meluncur begitu saja mengaliri pipinya.
"Jadi, seperti itu kamu menilai hubungan kita selama ini? Tidak serius? Hanya karena aku enggak berjilbab lalu pantas dibuang begitu saja seperti ini?" tanya Clarissa lirih.
"Maaf, Claris. Tapi ... aku tak punya pilihan lain. Aku hanya menuruti keinginan orang tuaku. Aku harap kamu bisa mengerti. Sekali lagi, maaf."
"Kamu pengecut, Dam. Kamu bukan laki-laki! Kalau kamu benar-benar mencintaiku, bukankah seharusnya kamu memperjuangkan aku? Memperjuangkan cinta kita? Kenapa kamu malah mudah sekali menyerah seperti ini?!" bentak Clarissa.
Namun, Sadam seakan-akan sudah tak memiliki hati dan telinga lagi. Ia benar-benar mengabaikan gadis yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidupnya. Sadam seperti benar-benar telah lupa bahwa ia pernah berjanji akan menikahi Clarissa jika waktunya sudah tepat.
Kekecewaan mendalam yang dirasakan Clarissa, membuatnya marah, kesal, dan sangat benci. Bukan hanya kepada sosok Sadam yang mencampakkan dirinya, melainkan juga pada sebuah benda yang bernama jilbab.
**
Ada cerita baru lagi, nih! Mohon dukung cerita ini, ya.
Jangan lupa subscribe, love, dan beri komentar di setiap bab cerita ini, yaa... 😊
***
Kunjungi juga cerita saya lainnya:
1. Bukan Salah Jodoh
2. Mendadak Menikahi Nona Muda
3. Dinikahkan Sejak Kecil
4. Pengantin Ramadhan