Istriku Celamitan
"Bang, beli kolaknya cuma satu? Buatku mana?" Aku yang tengah menikmati buka puasa dengan satu gelas cup kolak pisang campur kolang-kaling, merasa terganggu dengan pertanyaan Anna istriku.
Aku menghentikan suapanku dan meliriknya sekilas.
"Kamu kan tidak puasa, An. Untuk apa minta dibeliin kolak?" kataku, lalu melanjutkan menikmati buka puasaku.
Anna yang tadinya berdiri di belakangku, kini pergi entah kemana. Mungkin ke kamar lagi atau beli kolak ke depan? Ah, masa bo*oh.
Anna istriku memang tidak puasa karena menyusui bayi berusia dua bulan. Aku sengaja tidak membelikan makanan manis itu untuk dia. Toh, tidak puasa, pasti dari pagi juga makan dan minum terus dia.
Kolak yang aku makan kini tinggal kuahnya saja. Aku beranjak pergi untuk menunaikan sholat mahgrib terlebih dulu sebelum nanti makan makanan berat.
Di dalam kamar, Anna sudah bersiap untuk sholat, dia menungguku dengan membentangkan sejadah untuk kami sholat berjamaah.
Setelah selesai, aku bermain terlebih dahulu dengan bayiku yang semakin hari semakin gemuk. Sedangkan Anna, pasti dia sedang menghidangkan makanan di dapur.
"Bang, makanannya sudah siap," ucap Anna.
Aku pun pergi menghampiri istriku dengan Syakir di gendonganku.
"Ini, anakmu. Sepertinya dia ngantuk, dari tadi nguap terus."
"Sini, biar aku makannya sembari gendong dia, Bang. Abang makan saja," ujarnya mengambil alih anakku.
"Kamu makannya nanti saja, tidurkan dulu Syakir. Biarkan aku makan sendiri. Pasti kamu tadi sudah makan, 'kan? Masa mau makan lagi."
Tanpa bicara, Anna langsung melangkah meninggalkan meja makan dengan tergesa. Kenapa dia? Aku benarkan, pasti pas masak tadi, dia nyobain masakannya dan makan juga. Terus kenapa sekarang mau makan lagi, dasar rakus.
Aku pun menikmati masakan yang Anna suguhkan buatku. Ini yang membuatku tidak kecewa, Anna selalu bisa membuat makanan yang pas di lidahku. Meskipun, kini aku merasa risih jika berdekatan dengan dia.
Entah kenapa, sejak dia melahirkan, aku jadi tidak berselera dengan dia. Jangankan untuk bermesraan seperti dulu, duduk berdua pun rasanya aku sangat muak.
Dulu, Anna adalah wanita paling cantik yang pernah dekat denganku. Kehadiran dia dalam hidupku menjadi anugerah terindah. Wanita cantik nan manis itu aku nikahi setelah melewati perjuangan yang panjang dan berliku. Memang tidak mudah meluluhkan hatinya. Tapi pada akhirnya, dia jatuh juga dalam pelukanku.
Tahun pertama pernikahan, aku dibuat buta olehnya. Dia mampu memuaskan segala kebutuhanku. Lahir maupun batinku. Tidak ingin aku jauh darinya barang sehari pun. Tidak aku ijinkan dia pergi sendiran, sekalipun itu ke rumah ibuku sendiri, karena Anna seorang yatim piatu.
Namun, semenjak dia hamil besar dan melahirkan, gairahku terhadapnya menjadi menghilang. Jangankan untuk menyentuhnya, melihat pun aku sudah tidak suka lagi.
Tubuhnya yang dulu langsing, kini bengkak dan berlemak. Kulitnya yang dulu mulus terurus, kini kusam dan ada bercak garis-garis panjang di bagian perutnya. Sangat menj*j*kan. Tidak enak dipandang.
"Mas, Syakir sudah bobok, boleh aku makan sekarang?" Tepukkan di pundak membuatku menoleh pada sumber suara. Anna berdiri tepat di belakangku.
"Memangnya tadi kamu gak makan?"
"Belum, Mas. Aku sengaja agar bisa makan bareng kamu," ujarnya.
Alsan saja dia. Memangnya aku akan tersentuh dengan rayuannya? Tidak sama sekali.
"Makanlah, aku sudah selesai. Daging ayam jangan kamu makan, itu buat lauk aku sahur nanti," ujarku seraya bangkit dan meninggalkan Anna.
Kuperhatikan dari jauh, Anna duduk dan mulai mengambil nasi serta sayur. Sesekali matanya melirik ayam goreng yang tersisa satu potong. Mungkin dia menginginkannya, tapi tidak berani membantah perintahku.
Lihat saja jika dia berani tidak patuh, akan aku buat dia kelaparan sekalian.
*
"Lan, kenapa tuh muka kusut amat?" tanya Andi temanku.
"Males pulang gue."
"Lah, kenapa males pulang? Harusnya, seneng, di rumah udah ada yang nungguin. Lah, gua boro-boro ada yang nunggu, Emak gue aja, kalau gue gak pulang, kagak pernah ada nyariin."
"Justru itu yang buat aku males pulang, males ketemu istri," ucapku jujur.
Andi mengerutkan kening mendengar jawabanku. Saat ini kami sedang berjalan saat pulang dari tarawih. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk aku bertemu dengan Anna.
Dulu, malam adalah waktu yang aku tunggu-tunggu, karena bisa menghabiskan waktu berdua dengannya setelah seharian bekerja. Namun, sekarang malam adalah waktu yang paling menakutkan, dimana aku harus tidur seranjang dengan Anna.
"Lo, ada masalah sama bini, lo?" tanya Andi.
Aku menggeleng, "Entahlah, gue sendiri bingung."
"Sejak dia lahiran, dia tuh jadi jelek, enek gue liatnya," sambungku lagi.
Andi terkekeh seraya menepuk pundakku.
"Kalau dia jelek, tugas lo jadi suami, bikin dia cantik kembali. Masa ... dulu cantik sekarang jadi jelek. Hati-hati, jelek di mata, lo, bisa jadi dia sangat cantik di mata pria lain yang menunggu jandanya, hahaha."
Andi membisikkan kata-kata terakhirnya dengan diikuti tawa, tapi aku tidak peduli sekalipun Anna meminta pisah dariku. Justru sebelum dia memintanya, aku akan mendahului untuk menceraikannya. Tapi nanti, setelah aku sudah mendapatkan gantinya.
*
Saat aku kembali ke rumah, rumah sudah dalam keadaan sepi. Anakku pasti sudah tidur. Aku pergi ke dapur mengambil mangkuk dan menuangkan bakso yang tadi aku beli saat pulang dari tarawih.
Sangat menggugah selera, aku mengambil sendok dan garpu, siap untuk menyantap bakso favoritku.
"Bang, beli bakso Mang Maman, ya. Kecium wanginya, aku minta ya?"
Anna datang dan langsung duduk di kursi tepat di sampingku. Selera makanku jadi hilang seketika saat melihat Anna.
"Kamu, tuh, celamitan An! Dikit-dikit minta, minta kolak, minta bakso. Emang gak bisa beli sendiri? Kamu kan sudah aku kasih uang, buat kebutuhan kamu, kenapa harus tetap minta sama aku?!"
Anna menunduk dalam diam, wajah yang tadinya sumringah saat melihat semangkuk bakso kesukaannya, kini berubah murung.
"Maaf," lirihnya.
"Kamu mau bakso ini?" tawarku.
Anna mengangguk dengan menggigit bibir bawahnya.
"Ok, akan Abang, kasih. Tapi, tunggu hingga selesai makan. Nanti ... sisanya akan aku kasih ke kamu, ok?"
"Iya, Bang. Aku tungguin kamu," ujarnya antusias.
Aku pun mulai menyantap bakso itu. Suapan demi suapan aku kunyah dan aku telan. Hingga akhirnya, perutku mulai terasa kenyang. Aku pun menggeser mangkuk dan beranjak pergi setelah meminum satu gelas air dingin. Meninggalkan Anna dan satu mangkuk yang berisi kuah bakso.
Seringai senyum mengejek aku berikan pada istriku sebelum meninggalkannya.
Siapa suruh dia celamitan. Makan tuh, kuah bakso Mang Maman.
______
Next??