Aku Belum Siap Dipoligami
BAB 1
#ABSD1
Malam ini aku terbangun dari mimpi buruk. Mimpi dimana suamiku sedang memadu kasih dengan seseorang yang amat sangat aku kenal. Bahkan kami sangat dekat.
Segera kutepis pikiran burukku itu, karena tidak mungkin suamiku berkhianat. Selama ini aku selalu patuh kepadanya.
Perasaanku yang semakin resah, membuat rasa kantukku menjadi hilang.
Suamiku, Mas Abidzar tertidur lelap sekali tanpa selimut bahkan dengan posisi handphone yang masih berada di genggamannya.
'Mungkin dia ketiduran' batinku berkata.
Padahal udara malam ini sangat dingin sekali, tapi Mas Abi tidak terganggu sama sekali dengan gerakan-geraganku yang menimbulkan suara.
Sesekali kuusap pipinya dan kukecup keningnya sambil mengatakan sesuatu yang selalu mengganjal di hatiku atas perubahan Mas Abi yang selalu asyik dengan handphonenya sebelum tidur.
"Mas, jangan pernah meninggalkan aku ya, Mas. Aku tak bisa hidup tanpamu." Bisikku di telinganya.
Setelah menyelimuti tubuh Mas Abi, aku mengambil handphonenya untuk mematikan dan menyimpannya di atas nakas, namun tanpa sengaja ada pesan masuk dari Mbak Afifah yang membuatku sangat penasaran sehingga merubah suasana hatiku menjadi semakin tak menentu.
[Papa, kenapa pesan Mama engga di balas lagi? Sudah tidur ya? Oke baiklah.]
Papa? Mama? Maksudnya Papa Mama apa? Siapa Papa dan Mama itu? Apakah Mas Abi dan Mba Afifah?
Aku yang semakin penasaran dengan isi pesan yang lainnya, tanpa berpikir panjang langsung saja******setiap pesan yang masuk di aplikasi tersebut.
Hanya ada pesan di hari ini saja, apa pesan-pesan sebelumnya sudah Mas Abi hapus?
Pesan pertama adalah pesan dari Mas Abi untuk Mbak Afifah. Aku sangat yakin, tidak sedang bermimpi, bahkan mataku tidak salah membaca percakapan mereka di aplikasi hijau itu.
[Mama sayang, sudah tidur?] Begitulah pesan pertama Mas Abi.
[Belum dong papa, kan nungguin papa chatt dari tadi. Lama banget sih chatt mama. Padahal dari tadi online kan.]
[Iya mama, maafin papa ya. Nabilah baru tidur. Jadi papa baru chat Mama.]
Sungguh aku tidak kuat meneruskan membaca isi chatt itu, tapi sisi lain hatiku, ada dorongan yang besar untuk membaca setiap chatt yang ada, semakin aku membacanya, semakin sesak membuncah di dalam dada.
"Astaghfirulloh."
Pipiku memanas, dadaku sesak, sakit, dan buliran-buliran airmata sudah membasahi kedua pipiku.
Selama ini, aku tidak pernah ingin tahu isi yang ada pada handphone Mas Abi karena menurutku itu adalah hal yang sifatnya privasi. Dan aku tidak mau karena hal kecil dan sepele hingga akhirnya dia memarahiku. Namun malam ini, atas izin Allah SWT., aku mengetahui rahasia Mas Abi selama ini. Entahlah, semoga ini semua hanya lelucon.
Lelucon? Lelucon yang sangat tidak lucu. Ataukah memang sebuah kenyataan pahit yang akan terungkap.
Apakah selama ini Mas Abi berselingkuh di belakangku? Dari kapan?
Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Aliran darah seakan berhenti secara tiba-tiba. Degupan jantung berdebar cepat seolah baru menyelesaikan ujian lari dengan dengan jarak tempuh puluhan kilometer.
Air mata menjadi saksi kebisuanku, saat mulut tak mampu berkata-kata namun ia seolah mengerti akan perasaanku saat ini.
Mas kenapa ini mas?
Sakit ... Rasanya aku sakit hati dengan puluhan isi chatt Mbak Afifah di Handphone Mas Abi.
***
Mbak Afifah adalah ibu dari anakku Farhan. Ya, dia Farhan anakku yang sudah kubesarkan selama 5 tahun. Namun bukan akulah yang mengandung Farhan melainkan Mbak Afifah-lah yang mengandungnya.
Setelah Mbak Afifah melahirkan Farhan, satu bulan kemudian Mas Gunawan suaminya meninggal karena penyakit komplikasinya yang sudah akut.
Aku yang sudah sepuluh tahun belum memiliki keturunan, teramat bahagia ketika Mbak Afifah memintaku untuk mengagngkat Farhan, hingga akhirnya dengan mudah aku memiliki anak yang lucu, ya itu Farhan. Lalu kubesarkan Farhan dengan kelembutan dan kasih sayang.
Aku dan Mbak Afifah sangat dekat. Sehingga aku sudah menganggap Mbak Afifah seperti keluargaku sendiri. Ditambah aku yang hanya anak tunggal. Tak ada kakak ataupun adik.
Farhan adalah anak keempat Mbak Afifah. Karena berat tanpa kehadiran suami, Mba Afifah memutuskan untuk memberikan Farhan kepadaku untuk dijadikan anak.
Bahagia bukan main ketika aku mempunyai seorang anak yang sudah lama aku idamkan. Bagiku, pemberian kasih sayang akan sama. Walau mungkin akan berbeda ketika aku menimang anak kandungku sendiri.
Sebetulnya, aku sudah mempunyai anak angkat sedari lama. Namanya Azkiya, namun Azkiya tidak aku rawat dari semenjak bayi merah. Sehingga aku tidak begitu merasakan rasanya mempunyai bayi.
Semenjak aku merawat Farhan, aku menjadi semakin dekat dengan Mbak Afifah. Karena aku kasihan melihat Mbak Afifah yang sudah tidak mempunyai tulang punggung, aku pun memberikan pekerjaan untuk Mbak Afifah, yaiyu membantu pekerjaan rumah yang tidak bisa aku kerjakan. Mengingat aku ingin lebih banyak merawat Farhan.
Aku sering kali pergi berdua dengan Mbak Afifah untuk berbelanja makanan, membeli kebutuhan rumah tangga, tas, sepatu, pakaian, bahkan hanya untuk sekedar memanjakan mata.
Namun ternyata kebaikanku selama ini tidak berarti untuknya. Dia bermain api di belakangku dengan Mas Abi, suamiku.
Aku benci pikiranku sekarang. Aku lelah. Program kehamilanku terasa sia-sia jika suamiku tidak setia sama sekali.
Aku mengharapkan lelaki setia. Namun nyatanya dia mungkin bukanlah lelaki yang setia. Aku sudah menilainya.
Mas Abizar memang bertanggunjawab untuk nafkahku tapi untuk apa jika tidak setia?
Bukankah kesetiaan adalah pondasi utama rumah tangga. Tapi kenapa Mas Abi seakan ingin merobohkan rumahnya langsung dari pondasi itu.
Dan kenapa harus Mbak Afifah? Jika dia bermain api di belakangku dengan perempuan lain rasanya mungkin tidak akan sesakit ini.
Allohuakbar ... Hati ini begitu sakiiiit mengetahui semua yang telah dilakukan dua orang terdekatku. Apa salahku Tuhan?
Apa salah jika aku sebagai wanita belum mempunyai keturunan dari rahimku sendiri? Aku tahu rahimku tidak bermasalah, aku tahu rahimku sehat. Tapi kenapa Mas Abi begitu tega.
🦋🦋🦋