BAB 7
Aku Belum Siap Dipoligami
BAB 7
#ABSD

Sandal Mas Abi? Benar ... Itu sandal Mas Abi. Kenapa ada di rumah Mbak Afifah???

Aku yang sudah panik langsung saja nyelonong masuk rumah Mbak Afifah.

"Mas Abi," teriakku memanggil nama Mas Abi.

"Eh tante," ucap Nisa anak Mbak Afifah. Nisa anak kedua Mbak Afifah. Umurnya sekitar 15tahunan. Sedangkan anak pertamanya di bawa Mbah Putrinya ke Kampung Halaman.

"Mana ibumu, Nis?" tanyaku yang mulai menahan emosi. Aku tau, hatiku panas saat ini. Namun tak elok jika aku harus marah di depan anak kecil seperti Nisa. 

"Di dapur, tante. Tadi gas habis, terus minta Om Abi buat pasang."

Tidak lama, Mas Abi dan Mbak Afifah keluar bersamaan dari arah dapur.

"Ada apa Nabil? Ko teriak-teriak," ucap Mas Abi sambil menghampiri.

"Aku pulang dulu ya Ma," 

"Apa Mas? Ma?"

"Mbak, Nabil. Mbak Afifah kan."

Aku tidak salah mendengar ko, tadi Mas Abi memanggil Mbak Afifah dengan sebutan, Ma.

Mas Abi membawaku pulang, dan berpamitan kepada Mbak Afifah. Tak lupa Mas Abi meminta maaf karena aku sudah mengganggu Mbak Afifah malam-malam.

"Maaf, Mbak." 

Aku pun meminta maaf, namun dengan sedikit keterpaksaan. Karena aku merasa mereka berdua memang tidak beres.

Meskipun Mbak Afifah seperti biasa saja, tapi aku bisa merasakan bahwa dia kesal dengan sikapku.

Awas, kalian. Coba-coba bermain api. Rasakan akibatnya.

"Dek, kamu kenapa? Dari pagi tadi rasanya aneh sekali. Mas rasa kamu keterlaluan."

"Keterlaluan bagaimana, Mas?"

"Kamu berlebihan. Tadi pagi Mbak Afifah gak boleh masak, sore hari kamu sudah pulang dari toko seolah mengusir Mbak Afifah, sekarang teriak-teriak cari Mas ke rumah Mbak Afifah."

"Kenapa memangnya Mas?"

"Gaenak saja Dek sama Mbak Afifah."

"Huuuuh ... Mas Abi hanya memikirkan perasaan Mbak Afifah, tapi tidak memikirkan perasaan aku, istrinya."

Mas Abi marah dan hanya diam seribu bahasa. Gara-gara asisten itu, Mas Abi marah dan tidak menyapaku.

Malam ini, Mas Abi tidur dengan posisi membelakangi. Sakit bukan!

Mas, kenapa kamu? Berubah seketika, padahal yang sakit hati itu bukan hanya Mbak Afifah Mas, aku juga, Mas.

Baiklah. Benar kata Risma, aku tidak boleh berperasangka terlebih dahulu sebelum ada bukti. Baik Mas. Aku salah kali ini. 

Entah sejak kapan aku tertidur, namun ketika aku bangun tidak ku dapati Mas Abi disampingku, kemana dia?

Ku lihat jam dinding di kamar tidurku. Baru pukul 02.00, tidurku mungkin tidak nyenyak.

Aku terbangun dan mencari Mas Abi, ke arah dapur, namun tidak ada, lalu mencarinya ke ruang televisi. 

"Mas? Sedang apa?" tanyaku dan langsung saja menghampiri.

Aku melihat Mas Abi seperti sedang menelpon. Tapi kenapa Mas Abi tidak kaget dan mematikan handphonenya ketika aku memergokinya.

Aku tahu, seseorang di seberang sana sudah mematikan ponselnya. Dan, entah kenapa tiba-tiba ponsel Mas Abi mati.

"Telponan sama siapa Mas?"

"Jawab!"

"Siapa yang telponan, Dek?"

"Aku tahu ko, Mas barusan telponan kan! Sama siapa Mas?"

Mas Abi tidak menjawab pertanyaanku, dia malah menarik tubuhku dan aku terduduk tepat di sampingnya.

"Kamu kenapa sih, Dek! Dari kemarin sensitif banget sama Mas?"

"Sadar aja Mas, sudah ngelakuin apa di belakang Adek!"

"Ngelakuin apa maksud Adek?"

"Mas, jangan pura-pura ya. Ingat Mas, sepandai-pandainya Tupai melompat, ia akan jatuh juga. Dan sepandai-pandainya Mas menyimpan rahasia pasti akan terbongkar. Paham Mas!"

"Kamu tenang dulu, Dek. Jangan sensi terus. Kamu apa benar hamil?"

"Mungkin, bawaan bayi ya."

"Enggak, aku enggak hamil, Mas. Jangan berharap dan jangan memberikan harapan."

Aku melengos, membiarkan Mas Abi menyendiri. Menuju kamar, menutup pintu, lalu menguncinya.

Sebetulnya, aku penasaran dengan siapakah Mas Abi tadi menelpon.

Ku coba membuka email, semoga saja Faisal sudah bisa membantuku. Namun ternyata belum ada email masuk dari Faisal.

Lalu, aku membuka aplikasi WhatsApp, dan melihat kontak Mas Abi.

Online!

Penasaran, aku juga membuka kontak Mba Afifah, Online juga!

Fix! 

Mereka memang ada apa-apa di belakangku. Semoga saja, Faisal segera membantuku membuktikan kelicikan mereka berdua.

Mungkin, belum tentu mereka seperti yang kamu kira Nabil. Namun apakah mungkin kebetulan? Aku rasa tidak. Ini bukan kebetulan. 

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.00, dan ku dengar Mas Abi mencoba memutar gagang pintu, namun tidak berhasil.

Dia juga memanggil-manggil namaku, namun aku biarkan saja. Pura-pura tertidur dan tidak mendengarnya.

Biarlah Mas Abi tidur di sofa saja, toh sebentar lagi subuh. Aku merasa lelah sekali dan aku terlelap.

***

Alarm berbunyi, jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.00, Ya Allah aku kesiangan.

Bergegas ke kamar mandi, lalu bersiap-siap melaksanakan shalat subuh.

Aku segera membuka pintu, tidak ku temukan Mas Abi. Oh ya, mungkin dia belum pulang dari mushala.

Sebelum berangkat Mas Abi datang, aku segera menyiapkan sarapan untuk Mas Abi dan juga Farhan.

Tidak ada Mbak Afifah, syukurlah. Dia menuruti apa mauku.

"Assalamu'alaikum," ucap Mas Abi sepulang dari mushala.

"Wa'alaikumsalam, Mas," jawabku sambil menyiapkan teh hangat untuknya.

"Sudah tidak marah?" tanyanya sambil tersenyum semringah dan menggoda.

Mas, aku rindu, semoga Mas selamanya seperti ini, Mas.

"Tidak, Mas, jika Mas membuat hatiku tentram, untuk apa aku marah."

"Syukurlah."


🦋🦋🦋

Jangan Lupa Subscribe, Love, Ulasan baiknya dan Bintang Lima ya! Terimakasih sudah membaca dan juga memberikan kesan terbaiknya. Salam sayang dan peluk hangat dari author amatiran. Baca ceritaku yang lain juga ya. Semoga yang baca cerbungku selalu dalam keadaan sehat dan bahagia. Aamiiin. Love You All

🦋🦋🦋

Mohon Maaf jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan 🙏🙏🙏