Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar Amanda menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.
“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.
Ayana membuka pintu, “Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam… Oh kau Ayana,” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan Quran ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.
“Besar sekali Al-Qurannya bu.”
Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.
“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil,” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.
“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.
“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku biasa saja, asal benar tajwid dan makhroj, semua orang pun bisa jika hanya seperti ini,” ucap Amanda sambil melipat mukena yang dikenakannya untuk sholat Dhuha dan mengaji barusan.
“Tapi saya ngga bisa bu,” ujar Ayana.
“Kau tidak bisa mengaji?” tanya Amanda
Ayana mengangguk, “Emm… Bagaimana kalau saya belajar mengaji pada bu Amanda?”
“Benarkah kau mau belajar Ayana?” permintaan Ayana, seperti menumbuhkan semangat baru pada diri Amanda. Semenjak sakit ia lebih banyak dilayani karena keterbatasannya. Kadang kala ia merasa sedih menyadari bahwa hidupnya sekarang lebih banyak merepotkan orang lain, tidak lagi bisa memberikan manfaat untuk orang lain.
“Benar bu. Saya kesel diledekkin muluk sama anak tetangga yang masih kelas satu SD gara-gara nggak bisa ngaji. Anak tetangga saya itu udah hampir khatam Qur’an bu!”
“Hahaha jadi kamu belajar ngaji biar ngga diledekkin? Ayana.. Ayana.. ada-ada saja.”
Ayana nyengir, menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Ya ngga sih bu, biar dapat pahala juga.”
“Kau tahu Ayana, aku gembira mendengar ini. Aku rindu sekali mengajar.” Amanda memang pernah menjadi dosen di salah satu kampus ternama di kota ini.
Semenjak sakit, ia menuruti permintaan Bas untuk resign. Bas sesungguhnya tahu betapa cintanya Amanda pada dunia kampus, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia tak mau kejadian Amanda pingsan di kampus terulang lagi. Amandapun tahu diri. Bukan kondisi kesehatannya yang semata-mata ia kuatirkan, tapi ia tak mau membuat orang lain menjadi kerepotan karenanya.
“Tolong ambilkan ponselku, Ayana!” Amanda menunjuk ponselnya di atas meja. Segera Ayana mengambilkannya.
“Assalamualaikum, Bas!” sapanya pada sang suami melalui sambungan telepon. Sepasang suami istri ini memang biasa saling memanggil nama. Tanpa embel-embel mas, bang, dek, atau apapun yang biasanya berlaku dalam rumah tangga orang lain. Mereka berdua adalah teman semenjak kecil, teman semasa Sekolah Dasar yang bertemu lagi ketika dewasa.
“Sepulang kantor nanti, tolong belikan buku iqro ya, di toko buku dekat kantormu itu. Ayana mau belajar mengaji.”