Permohonan Amanda

Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.


Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.


Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon buah juga tumbuh subur di di sana.


Ayana biasanya akan menuntun Amanda berjalan kaki berkeliling. Setelah 10-15 menit, atau saat Amanda sudah merasa lelah berjalan, ia mengembalikan Amanda ke kursi rodanya.


Sembari berjalan-jalan, Ayana suka mengajak Amanda bercerita tentang apapun, ia seperti tak pernah kehabisan bahan pembicaraan.


“Kau tahu Ayana, mengapa aku suka sekali menanam?” tanya Amanda sembari menghirup aroma bunga melati di hadapannya dalam-dalam. Harum sekali.


“Karena ibu suka melihat bunga-bunga yang cantik?” tebak Ayana.


“Bukan hanya itu, aku ingin sepeninggalku nanti, cintaku tetap tumbuh bermekaran di rumah ini.”


Amanda lalu menarik napas panjang. Pandangannya menerawang jauh seperti memikirkan sesuatu yang berat untuk diungkapkan. Ia lantas menggenggam tangan Ayana erat.


“Berjanjilah Ayana, jika aku sudah tidak ada nanti, kau akan tetap merawat bunga-bunga ini, jangan biarkan ia mati, karena cintaku tumbuh bersama mereka.”


Ayana tersenyum. Antara terharu dan merasa lucu dengan ucapan Amanda.


“Ibu, apa ibu lupa, saya itu perawat ibu. Jika ibu sudah tidak ada, tentu saja saya juga tidak akan ada lagi di sini,” ujarnya.


Amanda tertawa,  ia memang semakin banyak tertawa semenjak ada Ayana. “Hahaha, ya ampun aku sampai lupa. Aku selalu menganggapmu bagian dari keluarga ini. Akan selalu tinggal di rumah ini. Maafkan aku Ayana.”


Ayana tersenyum, ia merasa bahagia dianggap sebagai keluarga. Setiap hari ia selalu berdoa agar Amanda sehat dan panjang umur, bukan semata-mata demi mempertahankan gaji dan pekerjaannya, tapi rasa sayang terhadap Amanda telah tumbuh di hatinya.


Lalu sejenak hening terjadi diantara mereka.


“Ayana, boleh aku bertanya?” tanya AManda memecah keheningan diantara mereka.


“Ya bu?”


“Bagaimana Bas di kantor?”


“Pak Bas? Hmm…" Ayana berpikir sejenak. Ia baru sekali bertemu Bas di kantor tentu ia tak tahu banyak. "Kalau kata teman-teman saya Pak Bas itu tak banyak bicara, apalagi kepada wanita. Pak Bas dingin, hanya pada ibu saja Bapak bucin.” Ayana tergelak, Amanda pun ikut tertawa.


“Menurutmu, apakah suamiku tampan?”


“Tampan? Tentu saja. Bu Amanda kan cantik pastilah bersuamikan lelaki tampan, hukum alamnya begitu Bu."


“Ohya?” Amanda tersenyum mendengar pujian Ayana.


“Apakah kau lihat ada yang menyukainya di kantor Ayana?”


Ayana memandang majikan wanitanya, tak biasanya Amanda bertanya seperti ini. Apakah ia tengah mencurigai Bas bermain wanita di belakangnya?


“Wah bukannya ada lagi bu. Hampir semua wanita berlomba-lomba mencari perhatian Bapak. Tapi satupun tak ada yang berhasil mendapatkannua.”


“Termasuk kau Ayana, apakah kau juga seperti mereka yang mengejar-ngejar suamiku?”


“Astaghfirulloh. Nggak lah Bu, saya tahu diri. Amit-amit suka sama suami orang.” Ayana mengetuk-ngetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanan.


“Mending Ibu jodohin aja saya sama sopir ibu yang ganteng itu," sambung Ayana setengah bercanda, setengahnya lagi serius. Yudis memang tampan, juga menyenangkan. Ayana suka, tapi ia juga masih belum tahu rasa suka seperti apa yang bersemayam di hatinya untuk pemuda itu.


“Yudis maksudmu?” tanya Amanda mempertegas. “Ah tidak. Tidak.”


Ayana menatap heran pada Amanda, mengapa wanita itu tak mau menjodohkannya dengan Yudis? Toh mereka berdua sama-sama asisten di rumah ini. Kalau menurut Ayana, sudah sekufu.


“Ayana, aku punya satu permintaan. Mungkin aku akan lebih tenang di sisa hidupku jika kau mau memenuhi permitaanku ini.”


“Apa itu bu?” Amanda sudah memiliki segalanya dalam hidup. Kekayaan berlimpah, suami yang sangat mencintainya, dan para pembantu yang setia. Apalagi yang diinginkannya? Selain kesembuhan tentu saja.


“Aku ingin…” Amanda terdiam, tampak ragu mengatakannya.


“Aku ingin… kau menikah dengan Bas. Suamiku…”