Selepas jam kantor, Ayana ikut Bas ke rumah untuk dipertemukan dengan istrinya.
“Duduklah di depan,” Bas memerintah Ayana duduk di samping Yudis, sopirnya, sementara ia sendiri duduk di kursi belakang.
“Langsung ke rumah tuan?” tanya Yudis ketika Bas dan Ayana sudah duduk di mobil.
“Ya,” jawab Bas singkat.
Dengan ekor matanya Yudis melirik wanita yang duduk di sampingnya. Penasaran, tapi tak berani bertanya ini siapa.
“Dia yang akan merawat istriku di rumah,” ucap Bas, seolah tahu rasa penasaran Yudis terhadap gadis yang dibawanya.
“Oh iya tuan,” Yudis menarik napas lega. Sudah seminggu ini, ia membantu mencari orang untuk merawat Amanda, istri Bas yang mengidap penyakit kanker otak stadium empat. Hampir putus asa. Semua yang ia tawari pekerjaan ini menolak, padahal yang ia tahu mereka butuh pekerjaan.
“Wah aku ndak bisa Yud, kalo merawat orang sakit. Ehm kalo merawat Pak Bagas sih mau,” begitu jawaban salah satu dari mereka. Asem!
“Katanya lagi cari pekerjaan, begitu ditawari nolak,” Yudhis bersungut-sungut.
“Diterima atau tidak kau bekerja, kuserahkan pada istriku, biar dia yang memutuskan, “ kata Bas memecah keheningan sore di mobil. Sebelumnya ia sudah menceritakan pada Ayana kondisi kesehatan istrinya dan pekerjaan apa saja yang harus dilakukan sebagai perawat istrinya. Bas memang tidak secara khusus mencari perawat sungguhan yang benar-benar paham dunia medis. Dia tahu itu susah. Kebanyakan perawat tentu saja lebih suka bekerja di rumah sakit atau membuka tempat praktek sendiri. Ia hanya butuh orang yang sabar dan telaten menemani istrinya ketika ia tidak di rumah. JIka dibutuhkan ia bisa memanggil dokter untuk home visit.
“Saya sudah biasa mendampingi orang sakit kok Pak. Waktu SMP, mbahkung yang sudah tua dan sakit-sakitan tinggal di rumah. Sepulang sekolah dan mengerjakan PR saya yang menggantikan ibu merawat mbah kung. Menuntunnya ke kamar mandi, menyuapinya, bahkan membersihkan bekas ompolnya. Begitupun waktu Ayah sakit sampai beliau meninggal,” dengan semangat Ayana menceritakan pengalamannya merawat orang sakit di ruangan bosnya pagi tadi.
Ia memang benar-benar membutuhkan pekerjaan. Tahun depan Ayana berencana mendaftar kuliah. Ia harus mengumpulkan uang yang banyak. Pekerjaan ibunya di tempat laundry kiloan sudah sangat pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari, bagaimana mungkin ia tega meminta uang lagi untuk bayar kuliah. Ia hanya perlu bersabar dan sedikit bekerja keras untuk mencapai cita-citanya, tak apa, begitu ia selalu menguatkan hatinya.
Bas lega mendengar cerita Ayana. Sepertinya Ayana bisa merawat Manda dengan baik, begitu pikirnya. Sebenarnya Amanda sudah menolak dicarikan perawat khusus. Menurutnya kehadiran Mbok Nem di rumah sudah cukup untuk menemaniya. Tapi menurut Bas, harus ada seorang lagi yang benar-benar fokus mengurus Amanda. Lagipula Mbok Nem sudah tua, bagaimana kalau tiba-tiba Amanda terjatuh seperti tempo hari, sementara ia dan Yudis tidak di rumah. Ia juga tidak mau mbok Nem kelelahan, sudah mengurus pekerjaan rumah masih harus mengurus istrinya lagi. Kalau Mbok Nem sakit, ia malah tambah repot. Jaman sekarang mencari asisten rumah tangga itu susah. Jadi kesejahteraan dan kesehatan ART harus benar-benar diperhatikan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah terasa begitu membosankan, tidak ada perbincangan. Bas hanya diam, sambil sesekali melihat ponselnya. Ayana, tentu saja tidak berani membuka obrolan, takut dianggap lancang, apalagi teman-temannya bilang, kalau bos mereka yang tampan itu seperti es, dingin. Bicaranya irit sekali.
Sebelum lnjut subs, love, dan komen dulu yuk.
*******Bersambung******