“Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?” Bagas mengecup lembut kening seorang wanita yang duduk di atas kursi roda. Sudah semenjak tadi wanita itu duduk di ujung pintu ruang tamunya, memandang pekarangan rumah yang cukup luas dan ditumbuhi beraneka ragam bunga, sambil menunggu kepulangan suami tercintanya.
Ayana takjub. Bosnya yang di kantor begitu dingin, di rumah menjadi sosok yang sangat lembut dan hangat.
Amanda tersenyum pada Bas, “Baik, hari ini aku sehat sekali,” jawabnya. Tapi sesaat kemudian ia terbatuk-batuk.
“Kau batuk sayang? Sudah minum obat? Aku telpon apotik ya atau kita ke dokter saja?” Bas nampak panik, dengan cepat ia mengambil ponsel di saku celananya.
Amanda tertawa, “Kau ini, berlebihan sekali, aku hanya batuk kecil saja.” Sementara Ayana hanya tersenyum geli melihat bosnya bertingkah laku bucin seperti ini. Jauh berbeda dengan karakter Bagas yang ia lihat selama di kantor atau yang diceritakan oleh kawan-kawannya sesama office girl di kantor.
“Aku terbatuk karena melihat perempuan muda cantik yang kau bawa kemari,” ujar Amanda sambil menatap Ayana dengan senyuman. Sedari tadi suaminya belum memperkenalkan seorang gadis itu.
Bas menoleh pada Ayana, “Oh, ia kubawa untuk merawatmu selama aku tidak di rumah.”
Ayana mengangguk hormat pada Amanda sambil tersenyum, ia lalu mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Amanda, “Selamat sore bu, saya Ayana,” katanya memperkenalkan diri.
“Kalian ngobrollah dulu, kalau cocok ia akan bekerja di sini merawatmu, jika tidak, ia akan kembali bekerja sebagai office girl di kantor.”
Bas berlalu, masuk ke dalam rumah.
“Berapa umurmu?” tanya Amanda setelah mempersilakan Ayana duduk di ruang tamu rumahnya.
“19 tahun bu.”
“Muda sekali, kenapa kau malah mau bekerja merawat orang sakit?”
“Saya… ingin kuliah bu. Saya butuh uang, tidak peduli pekerjaan apapun itu yang penting halal,” Ayana menjawab jujur.
“Memangnya apa cita-citamu Ayana?”
“Cita-cita? Emm Apa ya bu?” sejenak Ayana berpikir. Sewaktu kecil ia pernah bercita-cita ingn jadi guru, dokter bahkan polisi. Tapi sekarang ia malah bingung ketika ditanya tentang cita-cita.
“Saya hanya ingin mengangkat derajat keluarga saja sih bu. Ngga mau terus-terusan miskin. Teman-teman saya pada kuliah, jadi saya pikir, mungkin kalau saya kuliah, nanti bisa jadi orang kaya. Bener ngga bu?”
Amanda tertawa mendengar jawaban polos Ayana.
“Lalu, mau kuliah jurusan apa?” tanyanya lagi.
“Hmm, masih saya pikirkan bu, apa ya bu kuliah yang biayanya murah, terus bisa cepat dapat kerjaan bergengsi, gajinya banyak.” Pertanyaan Ayana kembali membuat Amanda tergelak.
“Ah lagipula rencana kuliahnya kan masih tahun depan bu, saya bisa sambil mikir mau kuliah di mana,” sambungnya.
“Hmmm baiklah kalau begitu, sambil menunggu mendaftar kuliah tahun depan, kau bisa menemaniku di sini.”
“Maksud ibu?” tanya Ayana, ia takut salah tangkap dengan ucapan calon majikannya.
“Kau kuterima bekerja di sini,” jawab Amanda.
“Wah beneran bu?” mata Ayana berbinar.
Amanda mengangguk, “Semoga kau betah menemaniku ya Ayana,” katanya sambil tersenyum.
Ayana spontan memeluk Amanda saking gembiranya, “Aaaak… Terimakasih bu,”
Amanda tertawa, “Sudah, sudah, lepaskan aku.”
Segera Ayana melepaskan pelukannya, “Oh maaf bu, saya lupa kalau belum mandi.”
“Bukan itu, kau memelukku terlalu erat, bisa-bisa aku mati bukan karena kanker, tapi karena sesak napas,” jawab Amanda berseloroh. Lalu mereka tertawa bersama.