Ayana berlari-lari kecil menuju rumah Bas. Di halaman ia bertemu dengan Yudis yang sedang mencuci mobil tuannya.
“Hai,” sapanya.
“Kamu sopirnya Pak Bagas ya? Kemarin kita belum sempat kenalan. Aku Ayana,” katanya seraya mengulurkan tangan.
Yudis meyambut uluran tangan Ayana, “Yudishtira,” ia menyebutkan nama.
“Beneran sopir?” Ayana melihat Yudis dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Penampilan kamu keren, tidak seperti sopir.”
Hari ini Yudis mengenakan kemeja lengan pendek berwarna krem pas badan, celana mirip jins berwarna gelap dan sepatu kets.
“Kau memuji atau mengejek?” Yudis tertawa. “Memang penampilan sopir seperti apa?” tanyanya lagi.
“Supir bos yang kulihat di drakor itu, biasanya memakai, emmm..” Ayana nampak berpikir, mengingat-ingat penampilan sopir di drama Korea yang sering ditontonnya. “Ah ya, seragam safari berwarna gelap.”
“Kalau kamu… penampilanmu lebih mirip seperti… mahasiswa..” ujarnya.
“Sedikit benar, tapi kurang tepat,” jawab Yudis.
“Aku memang supir Pak Bagas, tapi aku juga diberi kesempatan oleh Pak Bagas untuk tetap bersekolah,” ia menjelaskan.
“Jadi bener kamu anak kuliahan?” Ayana takjub, sungguh beruntung jadi supir di keluarga Pak Bagas, batinnya.
“Bukan anak kuliahan, tapi aku mengambil kursus bahasa asing. Bahasa Jepang.”
“Waah hebat. Ohayo gozaimas…” Ayana mengucap kalimat Jepang yang paling dihapalnya, sambil menundukkan kepala, mengikuti gesture khas orang Jepang jika mengucap salam.
“Hahaha apa artinya itu?” tanya Yudis.
“Mana kutahu. Aku hanya sering mendengarnya, hehehe” Ayana terkekeh.
“Ohya, kenapa kau tidak belajar bahasa Korea saja?” tanya Ayana yang memang gemar menonton drama Korea.
“Bahasa Korea? Kenapa harus bahasa Korea?” Yudis malah balik bertanya.
“Supaya aku tidak harus menunggu lama drama Korea bersubtitel Indonesia, kan ada kamu yang bisa terjemahin.”
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
Ayana ada-ada saja. Ah, gadis ini, sungguh mempunyai pribadi yang menyenangkan, batin Yudis. Baru kenal tapi sudah bisa membuatnya tertawa.
“Mbak sendiri, kenapa mau jadi perawat orang sakit?” tanya Yudis ketika tawa mereka mulai mereda.
“Kenapa memanggilku mbak, aku jadi merasa tua. Umurku baru 19 tahun. Kamu?”
“Aku 21.”
“Nah, kalau begitu kita saling memanggil nama saja, oke?”
“Baiklah. Lalu, pertanyaanku tadi, apa jawabannya?”
Belum juga Ayana menjawab pertanyaan Yudis, Bas datang, “Ehem!”
Bak adegan di film horror, secara slow motion, mereka berdua menoleh ke arah pemilik suara.
“Ngapain kamu masih di sini? Cepat temui istriku,” hardik Bas pada Ayana.
“Oh baik Pak. Bapak sudah mau berangkat ya?”
“Menurutmu? Saya jadi terlambat ke kantor karena menunggu perawat istriku datang.”
“Maaf Pak,” Ayana membungkukkan badan di depan bosnya.
“Kalau begitu saya masuk dulu,” ia lalu meraih tangan Bas, lalu mencium puggung tangannya.
“Hei apa-apan kamu!” cepat-cepat Bas menarik tangannya.
“Oh, ma-maaf Pak, kebiasaan sih cium tangan orang tua kalo berangkat kerja. Tadi saja saya hampir cium tangan sopir angkot,” jawab Ayana polos.
“Sudah-sudah masuk sana! Banyak bicara kamu!” Bas murka sementara Yudis setengah mati menahan tawa melihat kelakuan absurd Ayana.
Sebelum berlari masuk, diam-diam Ayana melambaikan tangan pada Yudis, “Sampai jumpa nanti,” ucapnya di dalam hati.